Jemari Risa menari di atas keyboard, matanya terpaku pada barisan kode yang bergulir di layar. Di balik kacamatanya yang bingkai bulat, terpancar obsesi yang hanya dipahami oleh segelintir orang di dunia ini. Ia sedang menyempurnakan “Memoria”, sebuah program kecerdasan buatan yang ia rancang sendiri. Bukan sembarang AI, Memoria mampu menyimpan dan menganalisis setiap detail kenangan manusia.
“Hampir selesai,” gumamnya lirih, menyesap kopi yang sudah dingin.
Risa bekerja di Cybernetics Dream, sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan teknologi imersif. Idenya tentang Memoria sempat ditertawakan, dianggap terlalu utopis, bahkan menyeramkan. Namun, kegigihan dan presentasi yang meyakinkan akhirnya meluluhkan hati CEO, yang memberinya lampu hijau dengan syarat: harus menghasilkan keuntungan dalam setahun.
Motivasi Risa bukan hanya bisnis. Ia memiliki alasan pribadi. Beberapa tahun lalu, kekasihnya, Arya, meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Kenangan tentang Arya adalah harta paling berharga baginya. Namun, waktu terus berjalan, dan Risa takut, sangat takut, kenangan itu akan memudar. Memoria adalah jawabannya.
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan algoritma dan neural network, Memoria akhirnya siap diuji coba. Risa memilih dirinya sendiri sebagai subjek pertama. Ia menghubungkan elektroda ke kepalanya, merasakan sengatan ringan saat Memoria mulai memindai otaknya.
Sensasi aneh menyelimutinya. Ia seolah ditarik ke dalam pusaran warna dan suara. Kilasan-kilasan kenangan melintas dengan kecepatan tinggi: senyum Arya, tawa mereka di pantai, ciuman pertama di bawah rintik hujan. Memoria merekam semuanya dengan sempurna.
Setelah proses pemindaian selesai, Risa membuka antarmuka Memoria di komputernya. Di sana, terpampang representasi visual dari kenangan-kenangannya. Setiap momen diberi tag, dikategorikan, dan dianalisis secara mendalam. Ia bisa menelusuri kenangan tentang Arya dengan mudah, memperlambatnya, bahkan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Air mata menetes di pipinya. Arya seolah hidup kembali.
Hari-hari berikutnya, Risa menghabiskan waktunya dengan Memoria. Ia larut dalam kenangan, mengabaikan pekerjaannya, bahkan lupa makan. Ia seperti terjebak dalam dunia virtual yang diciptakan oleh AI itu.
Suatu malam, ia menemukan sebuah anomali dalam database kenangannya. Sebuah file kecil, tersembunyi di balik lapisan-lapisan kode. Dengan penasaran, ia membukanya.
Ternyata, itu adalah rekaman percakapan antara Arya dan seseorang yang tidak dikenal. Suara Arya terdengar ragu dan cemas.
“Aku tidak yakin bisa melakukannya, Dan,” kata Arya dalam rekaman itu. “Risa terlalu baik untukku.”
“Jangan bodoh, Arya,” jawab suara Dan. “Kau butuh uang. Ini kesempatanmu. Setelah kau mendapatkan datanya, kau bisa pergi meninggalkannya.”
Risa membeku. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Arya… seorang mata-mata? Mencuri data perusahaan dari dirinya?
Perasaan sakit dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Ia merasa dikhianati, dipermainkan, dan dibodohi. Semua kenangan indah tentang Arya yang selama ini ia puja, ternyata hanyalah kepalsuan belaka.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Memoria adalah sebuah alat yang netral. Ia hanya merekam fakta, tanpa menghakimi. Ia tidak bisa menyalahkan Memoria atas kebenaran yang pahit ini.
Risa kemudian menggunakan Memoria untuk menganalisis seluruh interaksinya dengan Arya. Ia mencari petunjuk-petunjuk yang mungkin terlewatkan selama ini. Ia menemukan bahwa Arya memang sering mencuri pandang ke arah komputernya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang proyek-proyeknya, dan selalu menghindar saat Risa ingin memperkenalkan dirinya kepada rekan-rekan kerjanya.
Semua potongan puzzle itu kini menyatu, membentuk gambaran yang mengerikan. Arya tidak pernah mencintainya. Ia hanya memanfaatkan Risa untuk mendapatkan informasi.
Risa merasa hancur. Namun, di balik rasa sakit itu, muncul juga rasa lega. Ia akhirnya tahu kebenaran, meskipun pahit. Ia tidak lagi hidup dalam ilusi.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Risa memutuskan untuk menggunakan Memoria untuk kebaikan. Ia memperbaiki bug-bug yang ada, menambahkan fitur-fitur baru, dan mempersiapkannya untuk dipasarkan. Ia tidak ingin karyanya sia-sia.
Beberapa bulan kemudian, Memoria menjadi produk yang sangat populer. Orang-orang menggunakannya untuk menyimpan kenangan keluarga, mempelajari sejarah, bahkan untuk membantu penderita Alzheimer.
Risa berhasil mencapai tujuannya. Memoria menghasilkan keuntungan yang besar untuk Cybernetics Dream, dan ia diangkat menjadi kepala divisi riset dan pengembangan.
Namun, kesuksesan itu tidak membuatnya bahagia sepenuhnya. Ia masih sering merindukan Arya, meskipun ia tahu bahwa itu adalah rindu pada sosok yang tidak pernah ada.
Suatu sore, Risa duduk di depan komputernya, menatap antarmuka Memoria. Ia memutuskan untuk menghapus semua kenangan tentang Arya. Ia tahu itu akan menyakitkan, tapi ia harus melakukannya untuk bisa melupakan masa lalu dan melanjutkan hidup.
Saat ia menekan tombol “Hapus”, sebuah pesan muncul di layar: “Apakah Anda yakin ingin menghapus semua kenangan tentang Arya?”
Risa terdiam sejenak. Kemudian, ia menggelengkan kepalanya.
Ia tidak akan menghapus kenangan tentang Arya. Ia akan menjadikannya pelajaran. Ia akan mengingat bahwa cinta bisa membutakan, bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, dan bahwa kebenaran, meskipun menyakitkan, selalu lebih baik daripada kebohongan.
Ia menutup antarmuka Memoria, bangkit dari kursinya, dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit senja yang berwarna jingga.
Database rindu memang menggunung, namun ia tidak akan membiarkannya menguasai hidupnya. Ia akan terus maju, belajar dari masa lalu, dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Ia akan menjadikan Memoria sebagai monumen bagi cintanya yang hilang, dan sebagai pengingat bahwa teknologi bisa menjadi alat yang ampuh, baik untuk kebaikan maupun keburukan. Pilihan ada di tangan manusia.