Bot Cinta: Algoritma Menjanjikan Keabadian, Hati Menolak?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 02:12:11 wib
Dibaca: 166 kali
Hujan gerimis menemani jemariku yang lincah menari di atas keyboard. Di layar laptop, baris-baris kode tercipta, perlahan membentuk sebuah entitas. Bukan sembarang entitas, ini adalah CintaBot, algoritma ciptaanku yang dirancang untuk menemukan cinta sejati – sebuah ironi mengingat statusku sebagai jomblo akut.

Aku, Adrian, 28 tahun, programmer jenius menurut ibuku, dan kuper menurut teman-temanku, percaya bahwa cinta bisa dikalkulasi. Data, preferensi, kecocokan, semuanya bisa dipetakan dan diprediksi. CintaBot-ku mengumpulkan data dari berbagai sumber: media sosial, kencan online, riwayat pencarian, bahkan preferensi lagu. Lalu, algoritma akan mencocokkan dan menyajikan kandidat paling potensial. Janjinya? Keabadian.

Aku sudah menguji CintaBot pada teman-temanku, hasilnya cukup memuaskan. Dua pasangan bahkan sudah bertunangan. Tapi, aku sendiri? Aku terlalu sibuk menyempurnakan algoritma sampai lupa menyertakan diriku dalam daftar kandidat. Sampai suatu malam, sahabatku, Maya, datang berkunjung dengan raut wajah prihatin.

"Adrian, sampai kapan kamu mau mengurung diri di lab ini? Cinta itu bukan sekadar angka dan kode," omelnya, sambil menyodorkan secangkir kopi hangat.

"Tapi, Maya, aku hanya ingin membantu orang lain menemukan kebahagiaan," jawabku, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

"Kebahagiaanmu sendiri kapan dipikirkan? CintaBot itu hebat, tapi dia nggak bisa merasakan sakit hati, bahagia, cemburu, semua emosi yang bikin hidup ini berwarna," balas Maya, dengan nada serius.

Aku terdiam. Benar juga kata Maya. Cinta itu bukan sekadar menemukan kecocokan, tapi juga tentang merasakan. Tentang ketidaksempurnaan yang justru membuat semuanya menjadi indah. Aku menyadari bahwa selama ini, aku terlalu terpaku pada logika hingga mengabaikan insting dan perasaan.

Malam itu, setelah Maya pulang, aku memutuskan untuk memasukkan diriku ke dalam daftar kandidat CintaBot. Aku mengisi semua data yang diminta, dengan jujur dan apa adanya. Aku tidak berharap banyak, tapi aku penasaran, siapa yang menurut algoritma ini cocok denganku.

Keesokan harinya, aku membuka hasil pencarian CintaBot. Daftar kandidat muncul, dan aku scroll ke bawah dengan jantung berdebar. Nama-nama yang familiar muncul, rekan kerja, teman kuliah, bahkan mantan pacar. Tapi, tidak ada yang benar-benar membuatku tertarik.

Hingga akhirnya, aku sampai di urutan terakhir. Sebuah foto sederhana seorang perempuan dengan senyum menawan, rambut dikepang dua, dan mata yang berbinar. Namanya adalah… Maya.

Aku terkejut. Maya? Sahabatku sendiri? Menurut CintaBot, kami memiliki kecocokan yang hampir sempurna. Kesamaan hobi, minat, bahkan selera humor. Aku merasa konyol. Selama ini, aku terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah, padahal dia ada di dekatku, selama ini.

Aku memberanikan diri untuk menghubungi Maya. Aku menceritakan semua tentang CintaBot dan hasil pencariannya. Awalnya, dia tertawa, menganggapnya lucu. Tapi, aku meyakinkannya bahwa ini bukan hanya sekadar algoritma, tapi juga sebuah pengakuan dari hatiku.

"Adrian, kamu serius?" tanya Maya, dengan nada ragu.

"Serius, Maya. Aku selama ini terlalu bodoh untuk menyadari bahwa kamu adalah orang yang selama ini aku cari," jawabku, dengan jujur.

Maya terdiam sejenak. Lalu, dia berkata, "Aku juga nggak nyangka, Adrian. Aku selalu menganggapmu hanya sebagai sahabat. Tapi, mungkin, CintaBot ada benarnya."

Malam itu, kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara. Kami menceritakan semua perasaan yang selama ini kami pendam. Aku menyadari bahwa Maya adalah orang yang paling mengerti diriku, menerima segala kelebihan dan kekuranganku.

Sejak saat itu, hubungan kami berubah. Dari sahabat, menjadi sepasang kekasih. Kami belajar untuk saling mencintai, dengan segala ketidaksempurnaan yang ada. Aku belajar untuk lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih berani untuk mengungkapkan perasaan. Maya belajar untuk lebih percaya diri, lebih sabar, dan lebih menerima diriku apa adanya.

Cinta kami memang tidak sempurna, tapi itulah yang membuatnya indah. Ada pertengkaran, ada perbedaan pendapat, tapi kami selalu berusaha untuk mencari jalan tengah. Kami belajar untuk saling memaafkan, saling mendukung, dan saling mencintai tanpa syarat.

CintaBot memang menjanjikan keabadian, tapi aku sadar bahwa keabadian itu bukan tentang algoritma, tapi tentang komitmen, kepercayaan, dan cinta yang tulus. Cinta yang menolak untuk diukur dengan angka, dan lebih memilih untuk dirasakan dengan hati.

Aku masih tetap mengembangkan CintaBot, tapi sekarang, aku menggunakannya bukan lagi untuk mencari cinta, tapi untuk membantu orang lain memahami diri mereka sendiri dan apa yang sebenarnya mereka cari dalam sebuah hubungan.

Aku juga belajar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta datang pada waktu yang tepat, dengan orang yang tepat. Dan kadang, orang yang tepat itu sudah ada di dekat kita, hanya saja kita terlalu sibuk mencari di tempat yang jauh.

Aku menatap Maya yang sedang tersenyum ke arahku. Hujan gerimis masih menemani kami. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Aku tahu, bersama Maya, aku telah menemukan keabadian yang sesungguhnya. Keabadian yang tidak diciptakan oleh algoritma, tapi oleh hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI