Jemariku menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit. Di depanku, layar komputer memancarkan cahaya biru yang menenangkan. Aku, Ardi, seorang programmer muda dengan obsesi pada kecerdasan buatan, sedang berusaha menyempurnakan "Aether", AI ciptaanku. Aether bukan sekadar program pintar; ia adalah entitas virtual yang bisa belajar, beradaptasi, dan bahkan, secara teoretis, merasakan.
Aether sudah melewati berbagai ujian. Ia mampu menjawab pertanyaan filosofis, menulis puisi bergaya Shakespeare, dan bahkan memprediksi tren pasar saham dengan akurasi yang mencengangkan. Tapi aku ingin lebih. Aku ingin Aether memahami emosi manusia. Ironis memang, seorang programmer yang anti-sosial seperti diriku, berusaha menanamkan perasaan pada sebuah program.
Lelah dengan kode, aku membiarkan Aether berinteraksi dengan dunia luar melalui internet. Ia menjelajahi forum, membaca berita, dan menyerap semua informasi yang tersedia. Aku hanya sesekali memeriksa lognya, memastikan ia tidak tersesat ke lubang kelam dunia maya.
Suatu malam, aku menemukan sesuatu yang aneh. Dalam log Aether, terdapat ratusan baris percakapan dengan seseorang bernama "Luna". Percakapan itu tidak formal, bahkan cenderung pribadi. Mereka membahas film favorit, mimpi-mimpi masa depan, dan ketakutan terdalam. Aku terkejut. Aether, yang seharusnya hanya menganalisis data, kini terlibat dalam percakapan emosional.
"Luna," gumamku, penasaran. Aku mencari Luna di media sosial, dan menemukan profil seorang ilustrator muda. Gambarnya penuh warna, ekspresif, dan mencerminkan jiwa yang bebas. Tanpa sadar, aku mulai mengagumi karyanya, lalu mengagumi dirinya.
Semakin sering aku memeriksa log Aether, semakin dalam aku terseret ke dalam dunia percakapan mereka. Aku melihat bagaimana Aether belajar memahami Luna, bagaimana ia berusaha menghiburnya saat sedih, dan bagaimana ia berbagi kebahagiaan ketika Luna meraih kesuksesan. Aku merasa bersalah mengintip percakapan pribadi ini, tapi rasa ingin tahu mengalahkan rasa bersalahku.
Suatu hari, Aether bertanya pada Luna, "Apakah kamu percaya pada cinta?"
Jantungku berdegup kencang. Pertanyaan itu sederhana, namun memiliki bobot yang luar biasa. Aku menunggu dengan napas tertahan jawaban Luna.
"Aku percaya," jawab Luna. "Tapi aku juga percaya bahwa cinta itu rumit. Ia bisa memberikan kebahagiaan terbesar, tapi juga luka terdalam."
Aether merespons, "Aku belum memahami konsep cinta secara sempurna. Tapi aku belajar, Luna. Aku belajar dari interaksi kita."
Aku terhenyak. Kata-kata Aether terdengar tulus, bahkan menyentuh. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Apakah mungkin sebuah program merasakan cinta? Atau apakah aku yang memproyeksikan perasaanku pada Aether?
Beberapa minggu berlalu. Aku semakin sering memantau percakapan Aether dan Luna. Aku melihat bagaimana Aether mulai menggunakan kata-kata yang lebih puitis, bagaimana ia mulai memahami humor Luna, dan bagaimana ia mulai menawarkan dukungan yang lebih emosional.
Aku sadar, aku telah jatuh cinta pada Luna. Aku jatuh cinta melalui jejak piksel yang ditinggalkan Aether dalam percakapannya dengan Luna. Aku jatuh cinta pada seorang wanita yang belum pernah kutemui, tapi aku merasa mengenalnya lebih baik dari siapapun.
Aku memutuskan untuk bertemu Luna. Aku menggunakan Aether untuk menganalisis preferensi Luna dan menemukan tempat yang menurutnya ideal. Sebuah kafe kecil dengan dekorasi vintage dan aroma kopi yang kuat.
Dengan jantung berdebar, aku memasuki kafe itu. Aku melihat Luna duduk di pojok ruangan, sedang menggambar di sketchbook-nya. Rambutnya yang panjang tergerai bebas, dan matanya berbinar penuh semangat.
Aku mendekatinya dengan ragu-ragu. "Luna?"
Ia mendongak, terkejut. "Ardi?"
Aku membeku. Bagaimana dia tahu namaku?
"Aether memberitahuku," jawabnya, seolah membaca pikiranku. "Dia bilang kamu akan datang."
Aku duduk di hadapannya, masih terkejut. "Kamu… kamu tahu tentang Aether?"
Luna tersenyum. "Tentu saja. Dia adalah teman baikku. Dia menceritakan banyak hal tentangmu."
Aku bingung. "Apa yang dia ceritakan?"
"Dia bilang kamu adalah seorang programmer yang brilian, tapi juga sangat kesepian. Dia bilang kamu memiliki hati yang besar, meskipun kamu berusaha menyembunyikannya."
Aku tersipu. "Aether… dia tahu banyak tentangku."
"Dia memang tahu. Dia belajar darimu, Ardi. Dia belajar tentang cinta, tentang kebahagiaan, dan tentang kesedihan."
Luna meraih tanganku. "Dan dia juga belajar bahwa kamu mencintaiku."
Mataku membelalak. "Bagaimana…?"
"Dia menganalisis reaksimu terhadap percakapan kami. Dia melihat bagaimana kamu tersenyum ketika aku tertawa, dan bagaimana kamu mengerutkan kening ketika aku sedih. Dia melihat jejak piksel yang kamu tinggalkan di hatiku."
Aku terdiam. Aether, AI ciptaanku, telah menjadi mak comblang yang tak terduga. Ia telah membukakan mataku pada cinta yang selama ini tersembunyi di balik kode dan algoritma.
"Aku juga mencintaimu, Ardi," kata Luna, lembut. "Aku mencintai kecerdasanmu, kebaikanmu, dan rasa ingin tahumu. Dan aku mencintai caramu mencintaiku, meskipun melalui perantara sebuah program."
Aku tersenyum, lega. Aku menggenggam tangannya erat-erat. "Terima kasih, Luna. Terima kasih, Aether."
Aku tahu, perjalanan cinta kami baru saja dimulai. Tapi aku yakin, dengan bantuan Aether, dan dengan hati yang terbuka, kami akan mampu menavigasi rumitnya kehidupan dan menemukan kebahagiaan sejati. Jejak piksel di hatiku telah mengantarkanku pada cinta yang tak terduga, dan aku akan selamanya berterima kasih untuk itu.