Cinta dalam Komputasi Awan: Bersemi Sementara, Hilang Selamanya?

Dipublikasikan pada: 08 Aug 2025 - 03:20:11 wib
Dibaca: 188 kali
Jemari Arya menari di atas keyboard, menciptakan kode yang rumit namun elegan. Di layar monitor, garis-garis kode membentuk simulasi awan digital yang berputar, tempat data mengalir tak terbatas. Arya adalah seorang arsitek komputasi awan di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Baginya, awan bukanlah sekadar tempat penyimpanan data, melainkan kanvas tempat ia melukis masa depan.

Malam itu, lembur seperti biasa. Sejak proyek migrasi data besar-besaran ini dimulai, hampir tidak ada hari yang dilaluinya tanpa berhadapan dengan layar komputer. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di sudut kanan bawah layar. Sebuah pesan dari aplikasi kolaborasi internal perusahaan.

“Arya, masih di kantor?”

Pengirimnya adalah Anya, seorang desainer UI/UX yang baru bergabung beberapa bulan lalu. Arya tertegun. Anya, dengan senyumnya yang manis dan ide-ide kreatifnya, adalah satu-satunya alasan Arya sedikit bersemangat datang ke kantor belakangan ini.

“Masih. Deadline menghantui. Kamu juga?” balas Arya.

“Iya nih, lagi ngerapihin desain untuk dashboard yang baru. Buntu banget. Boleh ganggu sebentar? Butuh inspirasi,” balas Anya dengan emoji tersenyum.

Jantung Arya berdebar. “Tentu. Aku tunggu di pantry.”

Di pantry, Anya sudah menunggu sambil memegang cangkir kopi. Rambutnya dikuncir asal, namun tetap terlihat cantik. Arya berusaha menenangkan diri.

“Jadi, ada ide apa yang mentok?” tanya Arya, mencoba bersikap profesional.

Anya menjelaskan masalah yang dihadapinya. Dashboard yang dirancangnya terasa kurang intuitif dan membosankan. Arya mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan masukan yang relevan. Tanpa terasa, obrolan mereka mengalir semakin jauh, membahas hal-hal di luar pekerjaan. Mereka bercerita tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia.

Malam itu, Arya merasa ada koneksi yang kuat antara dirinya dan Anya. Seolah-olah mereka telah mengenal satu sama lain sejak lama. Mereka berdua tenggelam dalam dunia komputasi awan dan desain, namun di antara barisan kode dan palet warna, cinta mulai bersemi.

Hari-hari berikutnya, hubungan Arya dan Anya semakin dekat. Mereka sering makan siang bersama, bertukar pesan singkat, dan bahkan beberapa kali pulang bersama. Arya merasa hidupnya lebih berwarna sejak kehadiran Anya. Dunia digital yang selama ini menjadi fokusnya, kini terasa lebih nyata dan bermakna.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Proyek migrasi data selesai, dan Arya dipindahkan ke divisi lain. Anya juga ditugaskan untuk proyek baru yang mengharuskannya bekerja dengan tim yang berbeda. Intensitas pertemuan mereka berkurang drastis.

Arya berusaha mempertahankan hubungan mereka. Ia mengirim pesan, mengajak Anya makan siang, dan bahkan beberapa kali menunggunya di depan kantor. Namun, Anya semakin sibuk. Balasan pesannya semakin singkat dan jarang. Senyumnya yang dulu selalu menghiasi wajahnya, kini mulai memudar.

Suatu malam, Arya memberanikan diri bertanya kepada Anya apa yang terjadi. Mereka bertemu di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi. Anya terlihat lelah.

“Arya, maaf,” kata Anya dengan nada menyesal. “Aku rasa kita tidak bisa melanjutkan ini.”

Arya terkejut. Jantungnya terasa seperti diremas. “Kenapa? Apa yang salah?”

Anya menghela napas. “Aku tidak tahu. Mungkin kita terlalu terburu-buru. Mungkin kita hanya terbawa suasana kerja. Atau mungkin… kita memang tidak cocok.”

Arya mencoba membantah. Ia ingin meyakinkan Anya bahwa perasaan mereka nyata. Namun, ia melihat ketegasan di mata Anya. Ia tahu, ini adalah akhir dari segalanya.

“Aku mengerti,” kata Arya lirih. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya.

Setelah malam itu, Arya dan Anya tidak pernah lagi berbicara. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, namun seolah-olah mereka hidup di dunia yang berbeda. Arya kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Ia mencoba melupakan Anya, namun bayang-bayangnya selalu menghantuinya.

Beberapa bulan kemudian, Arya mendapat kabar bahwa Anya telah mengundurkan diri dari perusahaan. Ia pindah ke kota lain untuk mengejar karirnya. Arya merasa hatinya hancur. Ia tahu, ia telah kehilangan Anya selamanya.

Arya kembali menatap layar komputernya. Garis-garis kode yang dulu terasa indah, kini tampak hambar dan kosong. Ia menyadari, cinta dalam komputasi awan memang bisa bersemi, namun seperti data yang rentan hilang, cinta itu juga bisa lenyap ditelan waktu. Ia teringat akan simulasi awan digital yang pernah dibuatnya. Awan itu indah dan luas, namun juga rapuh dan mudah berubah. Seperti cintanya pada Anya, bersemi sementara, hilang selamanya.

Arya menarik napas dalam-dalam. Ia harus menerima kenyataan. Ia harus melanjutkan hidupnya. Meskipun cinta itu telah hilang, ia akan selalu mengingat Anya sebagai bagian dari perjalanannya. Ia akan selalu mengenang senyumnya, ide-ide kreatifnya, dan semua kenangan indah yang pernah mereka bagi.

Arya kembali mengetikkan kode. Ia akan terus melukis masa depan, meskipun kanvasnya kini terasa lebih sepi. Ia percaya, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang lebih abadi, cinta yang tidak akan hilang ditelan komputasi awan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI