Hujan deras mengguyur Seoul malam itu, memantulkan lampu neon yang memendar di jalanan. Di dalam kedai kopi berornamen minimalis, Ara, dengan rambut hitam panjang yang disampirkan ke belakang telinga, menatap layar laptopnya. Barisan kode program memenuhi layarnya, sebuah algoritma kompleks yang ia beri nama “CintaSejati.ai”.
“Masih berkutat dengan itu, Ara?” sapa Jihoon, barista kedai kopi yang juga sahabat karibnya. Ia meletakkan secangkir Americano di depan Ara.
Ara menghela napas panjang. “Masih, Jihoon. Aku ingin algoritma ini benar-benar akurat. Aku ingin membuktikan bahwa cinta itu bisa dihitung, bisa diprediksi.”
Jihoon tertawa kecil. “Kau ini, selalu saja mencari jawaban logis untuk hal-hal yang irasional. Cinta itu buta, Ara. Algoritma secanggih apa pun tidak akan bisa menggantikannya.”
“Justru karena buta itulah aku membuatnya, Jihoon. Aku ingin menjadi mata bagi orang-orang yang tersesat dalam pencarian cinta.” Ara menyesap kopinya, matanya kembali fokus pada barisan kode.
CintaSejati.ai adalah obsesi Ara selama beberapa tahun terakhir. Algoritma ini dirancang untuk mencocokkan individu berdasarkan serangkaian parameter: minat, nilai-nilai, kepribadian, bahkan ekspresi wajah dan pola bicara yang dianalisis melalui data audio dan visual. Ara percaya, dengan data yang cukup, algoritma ini dapat memprediksi kompatibilitas antara dua orang dengan akurasi tinggi.
Selama ini, Ara hanya menggunakan CintaSejati.ai untuk membantu teman-temannya. Hasilnya beragam, ada yang berhasil menemukan pasangan yang cocok, ada pula yang gagal total. Namun, Ara tetap optimis. Ia terus menyempurnakan algoritmanya, belajar dari setiap kegagalan.
Suatu hari, seorang pria bernama Minho memasuki kedai kopi. Ia tinggi, dengan senyum yang ramah dan mata yang berbinar cerah. Minho adalah seorang arsitek yang sedang mengerjakan proyek renovasi di dekat kedai kopi. Ia mulai sering datang, memesan kopi yang sama setiap hari, dan sesekali terlibat percakapan ringan dengan Ara.
Awalnya, Ara tidak terlalu memperhatikan Minho. Ia terlalu sibuk dengan CintaSejati.ai. Namun, lama kelamaan, ia menyadari bahwa ia merasa nyaman berada di dekat Minho. Percakapan mereka selalu mengalir begitu saja, membahas berbagai hal mulai dari arsitektur hingga film indie.
Suatu malam, setelah kedai kopi sepi, Minho duduk di depan Ara dan menatapnya dengan tatapan yang intens. “Ara, aku… aku menyukaimu,” ucapnya pelan.
Ara terkejut. Ia tidak menyangka Minho akan menyatakan perasaannya. Selama ini, ia terlalu fokus pada algoritma cintanya sehingga ia lupa untuk membuka hatinya sendiri.
“Minho, aku…” Ara tergagap. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Tidak apa-apa jika kau tidak merasakan hal yang sama,” kata Minho, berusaha menenangkan Ara. “Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku.”
Ara terdiam. Di benaknya, ia mencoba memproses situasi ini. Haruskah ia menjalankan CintaSejati.ai untuk menganalisis kompatibilitasnya dengan Minho? Ide itu terlintas di benaknya, tetapi ia segera menepisnya.
“Minho, bolehkah aku jujur?” kata Ara akhirnya.
Minho mengangguk.
“Aku… aku tidak tahu. Selama ini, aku terlalu sibuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang cinta, sehingga aku lupa untuk merasakan cinta itu sendiri. Aku terlalu bergantung pada algoritma, sehingga aku lupa untuk membuka hatiku.”
Minho tersenyum. “Kau tidak perlu algoritma untuk merasakan cinta, Ara. Cinta itu datang secara alami, tanpa perhitungan.”
Malam itu, Ara memutuskan untuk mengambil risiko. Ia memutuskan untuk membuka hatinya untuk Minho, tanpa bergantung pada CintaSejati.ai. Ia memutuskan untuk mempercayai perasaannya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, Ara dan Minho semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman, menonton film, dan berbagi cerita. Ara menyadari bahwa ia merasa bahagia berada di dekat Minho. Ia merasa nyaman, aman, dan dicintai.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Ara memberanikan diri untuk menjalankan CintaSejati.ai. Ia memasukkan data dirinya dan Minho, dengan hati berdebar-debar.
Setelah beberapa saat, layar laptopnya menampilkan hasil analisis. Hasilnya menunjukkan tingkat kompatibilitas yang sangat tinggi, lebih tinggi dari pasangan manapun yang pernah dianalisis oleh CintaSejati.ai.
Ara tersenyum. Ia tidak terkejut dengan hasilnya. Ia sudah tahu bahwa ia dan Minho memiliki kompatibilitas yang tinggi. Namun, yang membuatnya bahagia adalah bahwa CintaSejati.ai telah mengonfirmasi apa yang sudah ia rasakan di dalam hatinya.
“Lihat, Minho,” kata Ara sambil menunjukkan layar laptopnya. “Algoritma cintaku mengatakan bahwa kita sangat cocok.”
Minho tertawa. “Aku tidak butuh algoritma untuk mengetahui itu, Ara. Aku sudah merasakannya sejak lama.”
Ara menggenggam tangan Minho. “Aku tahu. Aku juga. Terima kasih, Minho, karena telah membuka mataku. Terima kasih karena telah menunjukkan kepadaku bahwa cinta itu tidak selalu bisa dihitung, tetapi selalu bisa dirasakan.”
Hujan masih mengguyur Seoul malam itu, tetapi di dalam restoran Italia, hati Ara terasa hangat dan damai. Ia akhirnya mengerti bahwa algoritma cintanya hanyalah alat bantu, bukan penentu segalanya. Yang terpenting adalah membuka hati dan mempercayai perasaan sendiri. Karena sinyal cinta yang sebenarnya, algoritma hati tak pernah berbohong.