Jari-jariku menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode yang rumit. Algoritma yang sedang kukembangkan, "SoulMate Finder," seharusnya bisa memprediksi kompatibilitas asmara berdasarkan data preferensi dan interaksi digital seseorang. Ironis, bukan? Aku, Ardi, seorang pakar AI yang menciptakan mesin pencari cinta, justru lebih sering berinteraksi dengan kode daripada dengan manusia.
Teman-temanku sering mengejek. "Cinta itu buta, Ardi. Mana mungkin bisa diprediksi dengan algoritma?" Tapi aku yakin, pola selalu ada. Setiap postingan, setiap like, setiap komentar, adalah jejak digital yang menceritakan siapa kita sebenarnya.
Suatu malam, di sela-sela debugging yang melelahkan, aku tak sengaja menemukan profilnya. Alya. Namanya muncul dalam data set yang kupakai untuk menguji SoulMate Finder. Dia bukan target uji coba, hanya pengguna acak yang datanya terekam. Tapi entah kenapa, profilnya menarik perhatianku.
Alya, 27 tahun, seorang fotografer lepas. Feed Instagramnya penuh dengan potret lanskap yang menakjubkan dan foto-foto kucing jalanan yang lucu. Dia sering menulis caption yang puitis, tentang keindahan dalam kesederhanaan, tentang menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.
Aku mulai mengamati jejak digitalnya lebih intens. Aku baca blognya, tempat dia berbagi pemikiran tentang seni, lingkungan, dan isu-isu sosial. Aku perhatikan lagu-lagu yang dia dengarkan di Spotify, film-film yang dia tonton di Netflix, buku-buku yang dia review di Goodreads. Semuanya terasa begitu...beresonansi denganku.
Semakin aku mempelajari jejak digitalnya, semakin aku merasa mengenalnya. Rasanya seperti membaca buku yang sangat bagus, yang setiap halamannya membuatku terpesona. Aku mulai membayangkan obrolan panjang dengannya, tentang filosofi hidup, tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud, tentang segala hal yang penting.
Tanpa sadar, aku mulai memodifikasi SoulMate Finder. Aku menambahkan fitur baru, metrik baru, yang secara khusus mempertimbangkan preferensi Alya. Aku ingin melihat, seberapa cocokkah aku dengannya menurut algoritma ciptaanku sendiri.
Hasilnya membuatku terkejut. Skor kompatibilitasku dengan Alya mencapai 98%. Tertinggi dari semua profil yang pernah diproses oleh SoulMate Finder. Ini konyol, aku tahu. Mencari validasi cinta dari sebuah algoritma. Tapi aku tak bisa menahan perasaan aneh yang menjalar di dadaku. Apakah ini...cinta?
Aku tahu, algoritma hanyalah alat. Ia tidak bisa merasakan, tidak bisa berpikir, tidak bisa mencintai. Tapi data yang diolahnya adalah representasi dari manusia, dari emosi, dari harapan. Dan jejak digital Alya, bagiku, adalah sebuah petunjuk. Sebuah kemungkinan.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menghubunginya. Aku mengirim pesan singkat lewat Instagram, memuji hasil karyanya. "Foto-foto Anda sangat indah. Saya sangat terinspirasi."
Dia membalas. Singkat, tapi ramah. "Terima kasih banyak! Saya senang Anda menyukainya."
Kami mulai bertukar pesan secara berkala. Awalnya hanya tentang fotografi, tentang teknik pengambilan gambar, tentang pameran seni yang sedang berlangsung. Tapi lama kelamaan, obrolan kami semakin personal. Kami berbagi cerita tentang masa kecil, tentang keluarga, tentang mimpi-mimpi yang belum tercapai.
Ternyata, Alya juga seorang yang kutu buku seperti aku. Dia juga punya rasa humor yang sama. Dia juga punya pandangan yang sama tentang banyak hal. Semakin aku mengenalnya, semakin aku yakin bahwa SoulMate Finder tidak sepenuhnya salah. Ada sesuatu yang istimewa di antara kami.
Setelah beberapa minggu saling bertukar pesan, aku memberanikan diri untuk mengajaknya bertemu. "Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi apakah Anda bersedia untuk minum kopi bersama suatu hari nanti?"
Dia menjawab, "Saya sangat ingin. Kapan Anda ada waktu?"
Pertemuan pertama kami di sebuah kedai kopi kecil di dekat galeri tempat dia bekerja. Dia lebih cantik dari yang kubayangkan. Matanya berbinar-binar ketika berbicara tentang passionnya. Senyumnya membuat jantungku berdebar kencang.
Kami menghabiskan sore itu untuk mengobrol, tertawa, dan saling mengenal. Kami berbicara tentang segala hal, dari film favorit hingga teori konspirasi. Rasanya seperti kami sudah saling kenal selama bertahun-tahun.
Setelah pertemuan itu, kami mulai berkencan secara teratur. Kami menjelajahi kota bersama, mengunjungi museum, menonton konser, dan mencoba makanan baru. Setiap momen bersamanya terasa seperti mimpi.
Aku akhirnya menceritakan padanya tentang SoulMate Finder, tentang bagaimana aku menemukan profilnya, tentang bagaimana algoritma itu memprediksi kompatibilitas kami. Dia tertawa terbahak-bahak.
"Jadi, kamu jatuh cinta padaku karena algoritma?" tanyanya, dengan nada menggoda.
"Bukan hanya karena algoritma," jawabku, menggenggam tangannya. "Algoritma hanya membukakan mataku. Tapi yang membuatku jatuh cinta padamu adalah dirimu sendiri, Alya. Jejak digital hatimu."
Dia tersenyum, lalu menciumku. "Aku juga, Ardi. Aku juga."
Aku tahu, cinta tidak bisa direduksi menjadi sekadar algoritma dan data. Cinta adalah misteri, adalah keajaiban, adalah sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Tapi mungkin, di era digital ini, jejak-jejak yang kita tinggalkan di dunia maya bisa menjadi petunjuk. Petunjuk menuju hati yang selama ini kita cari. Petunjuk menuju cinta sejati. Dan bagi Ardi, jejak digital Alya adalah petunjuk terbaik yang pernah ia temukan.