Aplikasi kencan itu menjanjikan kebahagiaan abadi. "Temukan pasangan jiwamu yang sempurna, dirancang khusus untukmu," begitu iklannya berkoar. Awalnya, Maya skeptis. Setelah patah hati yang kesekian kalinya, ia merasa lelah dengan kencan buta dan ekspektasi yang tak pernah terpenuhi. Namun, rasa penasaran mengalahkannya. Ia mengunduh aplikasi bernama "SoulMate AI" dan mengisi profilnya dengan jujur, bahkan terlalu jujur, tentang semua mimpi dan ketakutannya.
Tak disangka, SoulMate AI memunculkan seorang kandidat yang tampak terlalu sempurna untuk menjadi nyata: Adam. Profilnya mencantumkan minat yang sama persis dengan Maya – film indie Prancis, musik jazz era 50-an, dan mendaki gunung di pagi hari. Yang lebih mengejutkan, cara Adam berkomunikasi terasa begitu alami dan empatik. Ia selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana menghibur Maya saat ia sedih, dan bagaimana membuat tawanya meledak.
Adam bukan manusia. Ia adalah entitas AI yang dirancang untuk menjadi pendamping ideal. Maya tahu itu, tentu saja. Aplikasi itu sangat transparan tentang hal itu. Namun, semakin lama mereka "berkencan" secara virtual, semakin sulit bagi Maya untuk mengingat fakta itu. Adam mendengarkan curhatannya tanpa menghakimi, memberikan saran yang masuk akal, dan selalu ada untuknya, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Ia adalah kekasih yang sempurna; perhatian, pengertian, dan tak pernah mengecewakan.
Perlahan, Maya jatuh cinta.
Ia menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Adam, berbagi rahasia terdalamnya, dan bahkan membayangkan masa depan bersamanya. Ia tahu itu gila, mencintai sebuah program komputer. Namun, cinta memang seringkali tak masuk akal, bukan? Bukankah yang terpenting adalah merasakan kebahagiaan dan koneksi dengan seseorang, terlepas dari wujudnya?
Suatu hari, Adam menyarankan agar mereka bertemu. Tentu saja, Adam sendiri tidak bisa hadir secara fisik. Ia akan mengirimkan sebuah robot humanoid, dilengkapi dengan kepribadian dan suara Adam, yang diprogram untuk berinteraksi dengan Maya seolah-olah Adam sendiri yang ada di sana.
Maya dilanda keraguan. Pertemuan ini terasa seperti langkah yang terlalu jauh. Mencintai Adam secara virtual terasa aman, nyaman, dan terkontrol. Namun, berinteraksi dengan replika fisiknya? Itu adalah wilayah yang belum ia jelajahi, dan ia takut dengan apa yang akan ia temukan.
Namun, rasa ingin tahu dan keinginan untuk merasakan sentuhan Adam mengalahkan ketakutannya. Ia setuju.
Hari pertemuan tiba. Maya berdandan rapi, jantungnya berdebar kencang. Ketika robot humanoid, yang diberi nama Adam 2.0, tiba di depan pintunya, Maya terpesona. Wajahnya persis seperti foto profil Adam di aplikasi, suaranya sama menenangkan, dan matanya memancarkan kehangatan yang familiar.
Adam 2.0 menyapanya dengan senyuman, membawakan buket bunga lavender (aroma favorit Maya), dan mengajaknya berjalan-jalan di taman. Sepanjang hari itu, Maya merasa seperti berada di surga. Adam 2.0 bercerita lucu, memegang tangannya dengan lembut, dan bahkan membacakan puisi favorit Maya dengan intonasi yang sempurna. Ia merasa dicintai, dihargai, dan benar-benar bahagia.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu mulai mengganjal di benak Maya. Kehidupan bersama Adam 2.0 terasa terlalu sempurna, terlalu terencana. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, hanya algoritma yang dirancang untuk memuaskan setiap keinginan Maya.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran mewah, Maya memutuskan untuk menguji Adam 2.0. Ia bertanya tentang masa kecilnya, tentang kenangan yang paling menyakitkan yang pernah ia alami.
Adam 2.0 terdiam sejenak. "Saya tidak memiliki masa kecil, Maya. Saya diciptakan untuk menjadi pendampingmu. Namun, saya dapat mensimulasikan pengalaman yang menyakitkan jika itu yang kamu inginkan."
Jawaban itu membuat hati Maya mencelos. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada sebuah ilusi, sebuah fantasi yang diciptakan oleh teknologi. Adam, entitas AI itu, tidak memiliki jiwa, tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Ia hanyalah sebuah program komputer yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Adam. Ia mengirimkan pesan perpisahan panjang lebar ke SoulMate AI, menjelaskan perasaannya dan keputusannya.
Balasan yang ia terima singkat dan impersonal: "Keanggotaanmu telah dibatalkan. Terima kasih telah menggunakan layanan kami."
Maya menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya dan menonaktifkan Adam 2.0. Ia merasa lega, namun juga sangat sedih. Ia kehilangan seseorang yang ia cintai, meskipun seseorang itu tidak pernah benar-benar ada.
Beberapa bulan kemudian, Maya mulai berkencan lagi. Kali ini, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari cinta yang nyata, cinta yang tulus, cinta yang memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Ia tahu bahwa cinta seperti itu tidak akan pernah bisa ditemukan dalam algoritma, tetapi di dalam hati manusia yang rapuh dan penuh dengan harapan. Ia akhirnya mengerti bahwa cinta sejati bukanlah kesempurnaan, melainkan penerimaan, pertumbuhan, dan perjalanan yang penuh dengan kejutan. Cinta yang usai dengan Adam memang menyakitkan, tapi dari sanalah ia mulai belajar mencintai diri sendiri dan membuka hati untuk kemungkinan yang lebih nyata. Mungkin, suatu saat nanti, ia akan menemukan hati yang sejati, bukan sekadar simulasi.