Deretan angka dan kode memenuhi layar laptop Maya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menciptakan algoritma demi algoritma. Ia sedang dalam proses menyempurnakan "Amora," sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang dirancangnya sendiri. Amora bukan sekadar aplikasi perjodohan biasa. Ia mengklaim mampu memprediksi kompatibilitas cinta dengan akurasi mendekati sempurna, menganalisis data kepribadian, minat, bahkan pola bicara, untuk menemukan pasangan yang paling cocok.
Maya, ironisnya, justru sendiri. Ia terlalu sibuk dengan Amora hingga melupakan kehidupan cintanya sendiri. Teman-temannya sering mengejek, “Kamu menciptakan dewa asmara, tapi kamu sendiri jadi biarawati teknologi!” Maya hanya tertawa. Ia yakin, suatu saat Amora akan menemukan cinta sejatinya.
Suatu malam, ketika Maya sedang menguji fitur terbaru Amora, sebuah notifikasi muncul di layar. "Kandidat Potensial: Data 98.7% Cocok." Jantung Maya berdebar. Ia jarang sekali melihat angka setinggi itu. Biasanya, Amora hanya merekomendasikan kandidat dengan kecocokan di bawah 80%.
Dengan ragu, Maya mengklik profil tersebut. Muncul foto seorang pria dengan senyum menawan dan mata teduh. Namanya: Aksara. Deskripsi profilnya singkat namun menarik: "Penulis lepas, pencinta kopi hitam, dan pengagum senja." Maya tertegun. Deskripsi itu seolah ditulis khusus untuknya.
“Aksara,” gumam Maya. Nama itu terdengar seperti melodi yang belum pernah ia dengar. Ia mulai membaca lebih dalam profilnya. Aksara ternyata menyukai buku-buku klasik, film-film indie, dan musik jazz, sama seperti dirinya. Ia juga memiliki selera humor yang cerdas dan pandangan hidup yang idealis. Semakin Maya menggali informasi tentang Aksara, semakin ia merasa seperti sedang bercermin.
Tanpa sadar, Maya telah menghabiskan berjam-jam hanya untuk menelusuri profil Aksara. Ia bahkan lupa bahwa ia sedang menguji Amora. Ia terlalu terpesona dengan pria misterius di balik layar.
Keesokan harinya, dengan keberanian yang baru ia temukan, Maya mengirimkan pesan kepada Aksara melalui Amora. Pesannya singkat: "Hai Aksara, Amora bilang kita cocok. Mau mencoba membuktikannya?"
Beberapa menit kemudian, Aksara membalas: "Amora memang pintar. Tapi, aku lebih tertarik membuktikannya secara langsung. Kopi sore ini?"
Maya tersenyum lebar. Ini adalah pertama kalinya ia merasa bersemangat untuk berkencan. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian dan memastikan penampilannya sempurna. Ia gugup sekaligus bersemangat.
Pertemuan mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa seperti adegan dalam film romantis. Aksara ternyata jauh lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia pintar, lucu, dan memiliki pandangan yang luas tentang dunia. Mereka berbicara tentang buku, film, musik, dan impian mereka. Maya merasa nyaman dan mudah berbicara dengan Aksara. Ia merasa seperti telah mengenal pria ini seumur hidupnya.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Maya dan Aksara semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menonton film, membaca buku, atau sekadar menikmati senja di tepi pantai. Maya mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia jatuh cinta pada Aksara.
Namun, di balik kebahagiaan itu, Maya menyimpan keraguan. Ia merasa bersalah karena hubungannya dengan Aksara dimulai dari algoritma. Ia bertanya-tanya, apakah cinta yang ia rasakan ini nyata, atau hanya hasil dari prediksi kecerdasan buatan? Apakah Aksara benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai data yang telah dianalisis oleh Amora?
Suatu malam, Maya memberanikan diri untuk mengungkapkan keraguannya kepada Aksara. Ia menceritakan tentang Amora dan bagaimana aplikasi itu telah mempertemukan mereka. Aksara mendengarkan dengan seksama tanpa menyela.
Setelah Maya selesai berbicara, Aksara tersenyum. "Maya, aku tahu tentang Amora," katanya lembut. "Aku tahu bahwa aplikasi itu yang mempertemukan kita. Tapi, tahukah kamu? Aku tidak jatuh cinta pada data yang kamu berikan. Aku jatuh cinta pada dirimu. Pada kecerdasanmu, pada selera humormu, pada kebaikan hatimu. Aku jatuh cinta pada Maya, bukan pada data yang tersimpan di server."
Mendengar kata-kata Aksara, Maya merasa lega. Beban yang selama ini ia pikul seolah lenyap begitu saja. Ia sadar, cinta tidak bisa direduksi menjadi sekumpulan angka dan kode. Cinta adalah tentang perasaan, tentang koneksi, tentang kebersamaan.
“Jadi, kamu tidak keberatan kalau cinta kita ini dimulai dari algoritma?” tanya Maya, masih ragu.
Aksara menggenggam tangan Maya. “Justru itu yang membuatnya menarik. Kita membuktikan bahwa bahkan di era digital ini, cinta masih bisa tumbuh. Kita membuktikan bahwa hati manusia tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh data. Amora mungkin membantu kita bertemu, tapi cinta kita adalah hasil dari pilihan kita sendiri.”
Maya membalas genggaman Aksara. Ia menatap mata Aksara, dan ia melihat cinta yang tulus terpancar dari sana. Ia tersenyum. "Aku mencintaimu, Aksara," bisiknya.
"Aku juga mencintaimu, Maya," balas Aksara.
Malam itu, Maya menyadari bahwa Amora memang telah membantunya menemukan cinta. Tapi, Amora hanyalah alat. Yang terpenting adalah bagaimana ia dan Aksara memilih untuk memelihara dan mengembangkan cinta itu. Mereka telah membuktikan bahwa meskipun hati bisa dianalisis menjadi data, cinta tetaplah misteri yang tidak bisa sepenuhnya diprediksi. Cinta adalah tentang mengambil risiko, tentang membuka diri, tentang mempercayai hati. Dan terkadang, cinta memang bisa ditemukan dalam genggaman AI. Namun, cinta sejati selalu bersemi dari hati ke hati.