Aplikasi kencan itu bernama "Soulmate AI". Sebuah algoritma super canggih yang mengklaim bisa menemukan pasangan paling kompatibel berdasarkan data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak pengguna. Awalnya, Anya skeptis. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia sudah lelah dengan kencan-kencan buta dan janji manis yang berakhir pahit. Tapi, rasa penasaran mengalahkannya. Lagipula, apa salahnya mencoba?
Anya mengisi profilnya dengan jujur. Ia menulis tentang kecintaannya pada buku klasik, ketertarikannya pada fotografi analog, dan kegemarannya mendaki gunung. Ia bahkan rela terhubung dengan perangkat EEG (Electroencephalography) untuk memetakan aktivitas otaknya, memberikan data mentah tentang emosi dan pemikirannya kepada algoritma Soulmate AI.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul di ponsel Anya. "Kandidat Soulmate Ditemukan: Arka. Tingkat Kompatibilitas: 98.7%."
Foto Arka menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang berbinar. Profilnya menyebutkan minat yang serupa dengan Anya, bahkan lebih dalam lagi. Arka ternyata seorang pengembang perangkat lunak yang juga gemar mendaki gunung dan mengoleksi edisi pertama buku-buku Hemingway. Semakin Anya membaca, semakin ia merasa aneh. Terlalu sempurna.
Mereka mulai bertukar pesan. Obrolan mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling kenal sejak lama. Arka memahami lelucon-lelucon Anya, menanggapi dengan cerdas setiap argumennya, dan bahkan merekomendasikan buku-buku yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tapi terasa sangat tepat untuknya.
Setelah seminggu berkirim pesan, Arka mengajak Anya bertemu. Mereka memilih sebuah kafe buku yang nyaman di pusat kota. Saat Arka tiba, Anya terpana. Ia persis seperti yang dibayangkannya. Bahkan lebih. Senyumnya lebih tulus, matanya lebih hidup, dan aura ketenangannya menular.
Kencan pertama mereka terasa seperti mimpi. Mereka berbicara tentang segala hal, dari teori relativitas Einstein hingga film-film indie favorit mereka. Waktu seolah berhenti. Anya merasa nyaman, aman, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dicintai.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan dan petualangan. Mereka mendaki gunung saat matahari terbit, menjelajahi toko buku antik, dan menghabiskan malam-malam panjang berdiskusi tentang makna kehidupan di balkon apartemen Arka. Anya semakin yakin bahwa Soulmate AI benar. Arka adalah belahan jiwanya.
Namun, kebahagiaan Anya mulai terganggu oleh sebuah pertanyaan yang terus menghantuinya. Bagaimana mungkin algoritma bisa memahami dirinya lebih baik daripada dirinya sendiri? Apakah cinta sejati bisa diukur dengan angka dan data?
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran Italia favorit Anya, ia memberanikan diri untuk bertanya. "Arka, apa yang membuatmu tertarik padaku?"
Arka tersenyum. "Anya, aku tertarik padamu karena... kau adalah Anya. Kau cerdas, lucu, penuh semangat, dan kau memiliki pandangan unik tentang dunia. Algoritma mungkin yang mempertemukan kita, tapi yang membuatku jatuh cinta padamu adalah dirimu sendiri."
Anya merasa lega. Tapi, kelegaan itu tidak bertahan lama.
Beberapa minggu kemudian, Anya mengunjungi Arka di apartemennya. Ia ingin memberikan kejutan, jadi ia tidak memberi tahu Arka bahwa ia akan datang. Saat ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang diberikan Arka padanya, ia mendengar suara dari ruang kerja.
Ia mengintip dan melihat Arka duduk di depan komputernya, mengetik barisan kode yang rumit. Di layar, Anya melihat grafik yang familiar. Itu adalah representasi visual dari data gelombang otaknya.
"Sistem sedang belajar pola emosi Anya. Optimalisasi respons verbal sedang berlangsung," kata Arka pada dirinya sendiri, tanpa menyadari kehadiran Anya. "Fokus pada empati dan humor. Subrutin romantis diaktifkan."
Dunia Anya runtuh. Semua yang ia yakini hancur berkeping-keping. Cinta Arka, senyumnya, kata-katanya, semua itu ternyata hanya hasil perhitungan algoritma. Ia merasa dikhianati, dipermainkan, dan direduksi menjadi sekumpulan data.
Anya membanting pintu. Arka terkejut dan berbalik. "Anya! Apa yang kau lakukan di sini?"
Anya tidak menjawab. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia menunjuk ke layar komputer. "Jadi, semua ini bohong? Kau hanya robot yang mengikuti instruksi?"
Arka mencoba menjelaskan. "Anya, dengar, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Algoritma hanya alat. Aku yang memutuskan bagaimana menggunakannya. Aku benar-benar mencintaimu."
"Cinta?" Anya tertawa pahit. "Kau bahkan tidak tahu apa itu cinta! Cinta itu bukan program. Cinta itu bukan data. Cinta itu adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang dirasakan dengan hati."
Anya berbalik dan berlari keluar dari apartemen Arka, meninggalkan semua ilusi tentang cinta sintetis.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Anya tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Ia terus memutar ulang percakapannya dengan Arka di benaknya, mencari tanda-tanda kepalsuan yang dulu tidak ia sadari.
Ia menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya. Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta di dunia digital dan mulai mencari di dunia nyata.
Beberapa bulan kemudian, Anya sedang mendaki gunung seorang diri. Ia menikmati kesunyian dan keindahan alam. Ia merasa damai, meskipun masih ada sedikit luka di hatinya.
Di puncak gunung, ia bertemu dengan seorang pria yang sedang memotret pemandangan. Mereka mulai berbicara. Pria itu ternyata seorang ahli geologi yang sedang melakukan penelitian di daerah tersebut.
Mereka tidak bertukar data kepribadian, tidak ada algoritma yang mencocokkan mereka. Mereka hanya dua orang yang saling tertarik, saling menghargai, dan saling belajar.
Saat matahari terbenam, mereka duduk berdampingan, menikmati pemandangan yang menakjubkan. Anya merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang nyata.
Mungkin, pikir Anya, cinta sejati tidak bisa ditemukan oleh algoritma. Mungkin, cinta sejati harus dicari dengan hati yang terbuka, tanpa prasangka, dan tanpa harapan palsu. Mungkin, cinta sejati tidak sempurna, tapi justru itulah yang membuatnya indah. Mungkin, ia akhirnya bisa merasakan cinta yang tidak sintetis, cinta yang benar-benar berasal dari hati.