Algoritma Cinta: Memprogram Kebahagiaan, Membayar Kesepian?

Dipublikasikan pada: 08 Jun 2025 - 23:00:18 wib
Dibaca: 173 kali
Udara kafe yang bercampur aroma kopi dan kue cokelat terasa pengap. Di meja sudut, Anya mengutak-atik laptopnya dengan frustrasi. Layar memantulkan wajahnya yang lelah, lingkaran hitam di bawah mata menjadi saksi bisu begadangnya beberapa malam terakhir. Ia sedang berkutat dengan "Algoritma Cinta", aplikasi kencan yang dirancangnya sendiri.

"Sialan," gumam Anya, mengetik kode dengan lebih keras. Algoritma itu seharusnya menemukan pasangan yang sempurna berdasarkan data psikologis, minat, hobi, dan bahkan preferensi musik. Namun, hasilnya sejauh ini? Nol besar. Atau lebih tepatnya, nol yang cocok dengan Anya sendiri.

Anya adalah seorang programmer andal, seorang jenius di bidangnya. Di usia 28 tahun, ia sudah memimpin tim pengembangan aplikasi di sebuah perusahaan teknologi ternama. Ia nyaman dengan deretan kode, logika, dan angka. Namun, ketika berurusan dengan cinta, ia merasa seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Ia selalu gagal, patah hati, dan akhirnya kembali ke pelukan kode-kode yang tidak pernah mengecewakannya.

"Mungkin aku terlalu perfeksionis," pikirnya, menyesap kopi pahit. Algoritma itu terlalu rumit, terlalu banyak variabel, terlalu banyak kriteria. Ia ingin menemukan seseorang yang benar-benar ideal, seseorang yang mengerti dirinya, seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang teori string dan juga menikmati senja di pantai. Apakah itu terlalu berlebihan?

Tiba-tiba, notifikasi muncul di layar laptopnya. Sebuah pesan dari "Algoritma Cinta". Jantung Anya berdegup kencang. Mungkinkah? Mungkinkah algoritmanya akhirnya menemukan seseorang untuknya?

"Potensi Kecocokan: 98%. Nama: Rian. Profesi: Arsitek Lanskap. Minat: Fotografi, Mendaki Gunung, Musik Klasik, Kecerdasan Buatan."

Anya terpana. Rian terdengar terlalu sempurna. Arsitek lanskap yang menyukai kecerdasan buatan? Itu seperti karakter fiksi yang keluar dari novel favoritnya. Ia ragu, curiga, dan sekaligus penasaran.

"Baiklah," gumamnya, "Aku akan memberikan kesempatan padanya."

Mereka bertemu di sebuah taman kota yang rindang, hasil rancangan Rian sendiri. Rian ternyata lebih tampan dari fotonya. Rambutnya sedikit berantakan, matanya bersinar cerah, dan senyumnya menular. Anya merasa gugup, tidak seperti biasanya. Ia lebih terbiasa berhadapan dengan komputer daripada manusia.

Rian ternyata orang yang menyenangkan. Ia berbicara tentang kecintaannya pada alam, tentang bagaimana ia berusaha menciptakan ruang hijau yang menenangkan di tengah hiruk pikuk kota. Ia juga tertarik dengan pekerjaan Anya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas tentang kecerdasan buatan dan implikasinya bagi masa depan.

Anya merasa nyaman dan rileks. Ia bisa tertawa, berbagi cerita, dan bahkan berdebat tentang algoritma genetika. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa terhubung dengan seseorang.

Mereka berkencan beberapa kali. Mereka mendaki gunung, mengunjungi museum, dan menonton konser musik klasik. Anya mulai melupakan kesepiannya, mulai merasakan kebahagiaan yang selama ini hanya ia programkan dalam algoritmanya.

Namun, semakin dalam ia terlibat dengan Rian, semakin ia merasa tidak nyaman. Ia merasa bersalah karena Rian hanya mengenal dirinya yang diprogram, dirinya yang dipilihkan oleh algoritma. Rian tidak tahu tentang ketakutannya, tentang keraguannya, tentang sisi gelap dirinya.

Suatu malam, setelah makan malam romantis di sebuah restoran Italia, Anya memutuskan untuk jujur. Ia menceritakan tentang "Algoritma Cinta", tentang bagaimana ia menciptakan aplikasi itu untuk menemukan pasangan, dan bagaimana Rian adalah hasil dari algoritma tersebut.

Rian terdiam. Ia menatap Anya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Anya merasa jantungnya mencelos. Ia tahu ia telah melakukan kesalahan besar.

"Jadi, selama ini aku hanya produk dari algoritma?" tanya Rian, suaranya pelan.

Anya mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya. "Maafkan aku, Rian. Aku seharusnya memberitahumu sejak awal. Aku takut kau akan menolakku jika kau tahu yang sebenarnya."

Rian menghela napas panjang. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Anya. Aku merasa... aneh. Aku menyukaimu, sangat menyukaimu. Tapi sekarang aku merasa seperti bukan diriku sendiri. Aku merasa seperti karakter yang diprogram untukmu."

Anya menangis. Ia tahu ia telah merusak segalanya. Ia telah mencoba memprogram kebahagiaan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah kesepian yang lebih dalam.

"Aku mengerti," kata Anya, suaranya bergetar. "Kau berhak marah, kau berhak membenciku. Aku akan menghapusmu dari algoritma, aku akan membiarkanmu pergi."

Rian meraih tangan Anya. "Tidak, Anya. Aku tidak membencimu. Aku hanya... bingung. Aku butuh waktu untuk memikirkannya."

Rian pergi, meninggalkan Anya sendirian di restoran. Ia merasa hancur. Algoritma Cinta yang ia ciptakan untuk menemukan kebahagiaan justru menghancurkan kesempatan yang ada di depannya.

Beberapa hari kemudian, Rian menghubunginya. Ia mengajak Anya bertemu di taman kota tempat mereka pertama kali bertemu. Anya datang dengan hati yang berat.

"Anya," kata Rian, menatapnya dengan lembut, "Aku sudah memikirkannya. Aku tidak bisa membenci algoritma itu, karena berkat algoritma itu aku bisa bertemu denganmu. Aku tidak tahu apakah kita ditakdirkan untuk bersama, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, bukan hanya sebagai produk dari algoritma, tapi sebagai Anya yang sebenarnya."

Anya terisak. Ia memeluk Rian erat-erat. "Terima kasih, Rian. Terima kasih karena telah memberiku kesempatan kedua."

Anya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Mereka harus belajar untuk saling menerima, saling memahami, dan saling mencintai apa adanya. Algoritma Cinta mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi kebahagiaan sejati tidak bisa diprogram. Kebahagiaan sejati hanya bisa diraih dengan keberanian untuk membuka hati, menerima ketidaksempurnaan, dan memperjuangkan cinta. Mungkin, kesepian itu memang harus dibayar, bukan dengan algoritma, tapi dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI