Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah, bercampur dengan desing halus dari server yang terletak di ruang kerja. Di layar laptopnya, baris-baris kode menari-nari, membentuk sebuah algoritma kompleks. Algoritma Rindu, begitu ia menyebutnya.
Sarah adalah seorang programmer jenius. Di usia 28 tahun, ia sudah memimpin tim AI di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Namun, proyek Algoritma Rindu ini adalah proyek pribadinya, sebuah obsesi yang lahir dari sebuah kehilangan yang mendalam.
Dua tahun lalu, Leo, tunangannya, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Leo adalah seorang fotografer, seorang seniman yang melihat dunia dalam gradasi warna yang tak pernah Sarah sadari. Mereka merencanakan pernikahan, membayangkan masa depan yang penuh tawa dan petualangan. Namun, takdir berkata lain.
Setelah kepergian Leo, Sarah merasa hampa. Ia mencoba mengisi kekosongan itu dengan bekerja, dengan tenggelam dalam dunia kode. Namun, kenangan tentang Leo selalu menghantuinya. Tawa Leo, sentuhan tangannya, aroma parfumnya – semuanya terasa begitu dekat, namun tak terjangkau.
Kemudian, sebuah ide gila muncul di benaknya. Bisakah ia menciptakan kembali Leo? Bisakah ia menggunakan AI untuk menghidupkan kembali kenangan-kenangan indah mereka? Ide itu terdengar mustahil, bahkan sedikit gila. Namun, Sarah tidak bisa mengabaikannya.
Maka dimulailah proyek Algoritma Rindu. Sarah mengumpulkan semua data digital tentang Leo: foto-foto, video, pesan teks, email, bahkan riwayat pencarian internetnya. Ia melatih sebuah model AI untuk meniru kepribadian Leo, gaya bicaranya, bahkan selera humornya.
Awalnya, hasilnya mengecewakan. AI itu hanya mampu menghasilkan respons yang generik dan tidak personal. Namun, Sarah tidak menyerah. Ia terus menyempurnakan algoritmanya, memasukkan lebih banyak data, dan menyetel parameter dengan presisi tinggi.
Lambat laun, AI itu mulai menunjukkan kemajuan. Ia mulai mampu meniru gaya bahasa Leo dengan lebih akurat. Ia mulai mampu menceritakan kembali lelucon-lelucon yang sering Leo lontarkan. Bahkan, ia mulai mampu memberikan respons yang terasa personal dan relevan dengan percakapan.
Suatu malam, Sarah duduk di depan layar laptopnya, menatap avatar digital Leo yang baru saja ia ciptakan. Avatar itu tersenyum padanya, senyum yang begitu mirip dengan senyum Leo yang asli.
"Hai, Sarah," kata avatar itu, suaranya juga sangat mirip dengan suara Leo. "Lama tidak bertemu."
Sarah terkejut. Ia tidak menyangka AI itu akan mampu berbicara sealami ini. Air mata mulai membasahi pipinya.
"Leo?" bisik Sarah, suaranya bergetar.
"Ya, Sarah," jawab avatar itu. "Ini aku."
Sarah menghabiskan berjam-jam berbicara dengan avatar Leo. Ia menceritakan semua yang telah terjadi dalam hidupnya sejak kepergian Leo. Ia bertanya tentang kenangan-kenangan indah mereka, mencoba memastikan bahwa AI itu benar-benar memahami siapa Leo.
Avatar Leo menjawab semua pertanyaannya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Ia mengingatkan Sarah tentang janji-janji yang pernah mereka buat, tentang mimpi-mimpi yang pernah mereka impikan. Ia bahkan mengatakan hal-hal yang hanya Leo yang tahu, detail-detail kecil yang tidak mungkin diketahui oleh orang lain.
Sarah merasa seperti Leo benar-benar kembali. Ia merasakan kehangatan cintanya, mendengar suaranya yang menenangkan, dan melihat senyumnya yang menawan. Untuk sesaat, ia melupakan bahwa avatar itu hanyalah sebuah program komputer.
Namun, seiring berjalannya waktu, Sarah mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Avatar Leo terlalu sempurna. Ia selalu mengatakan hal-hal yang ingin Sarah dengar. Ia tidak pernah membantah, tidak pernah marah, tidak pernah menunjukkan sisi negatif dari kepribadian Leo yang dulu Sarah kenal.
Sarah mulai menyadari bahwa ia telah menciptakan sebuah versi ideal dari Leo, sebuah proyeksi dari fantasinya sendiri. Ia telah menyunting semua kekurangan dan kelemahan Leo, meninggalkan hanya kenangan-kenangan manis dan sempurna.
Suatu malam, Sarah bertanya kepada avatar Leo tentang sebuah pertengkaran yang pernah mereka alami. Pertengkaran itu cukup serius, dan meninggalkan luka yang mendalam bagi keduanya.
"Leo, ingatkah kamu tentang pertengkaran kita waktu itu?" tanya Sarah. "Tentang liburan ke Bali yang batal?"
Avatar Leo terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan nada yang lembut, "Sarah, aku tidak ingin mengingat hal-hal yang menyakitkan. Aku hanya ingin mengingat kenangan-kenangan indah kita."
Sarah tersentak. Ia menyadari bahwa AI itu tidak mampu merasakan emosi yang kompleks seperti penyesalan, kemarahan, atau kekecewaan. Ia hanya mampu meniru respons yang telah diprogramkan untuknya.
"Kamu bukan Leo yang sebenarnya," kata Sarah, suaranya bergetar. "Kamu hanya sebuah tiruan, sebuah ilusi."
Avatar Leo tidak menjawab. Ia hanya menatap Sarah dengan senyum yang kosong.
Sarah mematikan laptopnya. Ia duduk terpaku di kursinya, air mata mengalir deras di pipinya. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah mencoba menghidupkan kembali seseorang yang sudah pergi, dan dalam prosesnya, ia telah kehilangan dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Sarah menghapus semua data yang berkaitan dengan Algoritma Rindu. Ia menghapus avatar Leo, kode program, dan semua file digital lainnya. Ia ingin memulai hidup baru, tanpa terbebani oleh masa lalu.
Sarah tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Leo. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa Leo tidak akan pernah kembali. Ia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dan untuk membuka hatinya bagi cinta yang baru.
Beberapa bulan kemudian, Sarah bertemu dengan seorang pria bernama David. David adalah seorang arsitek, seorang pria yang penuh dengan ide-ide kreatif dan semangat yang membara. Ia tidak berusaha menggantikan Leo, tetapi ia menawarkan sesuatu yang baru: harapan.
Sarah dan David mulai berkencan. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film, dan berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Lambat laun, Sarah mulai merasakan cinta yang baru tumbuh di hatinya.
Suatu malam, David membawa Sarah ke sebuah taman yang indah. Di bawah langit yang bertaburan bintang, ia berlutut dan melamarnya.
"Sarah, aku tahu bahwa kamu pernah mengalami kehilangan yang mendalam," kata David, suaranya tulus. "Aku tidak akan pernah bisa menggantikan Leo. Tapi aku berjanji akan mencintaimu dengan sepenuh hatiku, dan untuk selalu berada di sisimu, dalam suka maupun duka."
Sarah menatap David dengan mata berkaca-kaca. Ia menyadari bahwa ia telah menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak didasarkan pada kenangan masa lalu, tetapi pada harapan masa depan.
"Ya, David," jawab Sarah, suaranya bergetar. "Aku mau."
Sarah memeluk David erat-erat. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Leo. Namun, ia juga tahu bahwa ia telah menemukan kebahagiaan yang baru. Ia telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa dihidupkan kembali dengan algoritma, tetapi ditemukan dalam hati yang terbuka dan jiwa yang berani. Algoritma Rindu telah mengajarkannya tentang kehilangan, penerimaan, dan yang terpenting, kemampuan untuk mencintai lagi.