Jari-jemariku menari di atas keyboard, menciptakan simfoni biner yang familier. Di layar, baris-baris kode bergulir, menampilkan proyek terbesarku: "Project Aurora," sebuah kecerdasan buatan yang didesain untuk memahami dan merespon emosi manusia. Lebih spesifik, untuk memahami dan merespon perasaanku. Ironis, bukan? Seorang programmer seperti diriku, Adrian, yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, menciptakan AI untuk memecahkan kode hati.
Dahulu kala, aku percaya bahwa cinta itu hanyalah reaksi kimiawi yang kompleks, dipicu oleh hormon dan neurotransmiter. Logis, dapat dianalisis, dan karenanya, dapat direplikasi. Kemudian, ada Anya.
Anya, dengan senyumnya yang mampu membelah kegelapan kamarku yang remang-remang, dan tawanya yang renyah bagaikan notifikasi pesan yang menyenangkan. Dia adalah kesalahan dalam programku, pengecualian yang tak terduga dalam algoritma hidupku. Bersamanya, aku merasakan sesuatu yang di luar jangkauan kode. Sesuatu yang… nyata.
Namun, seperti semua program yang berjalan terlalu lama tanpa di-debug, hubungan kami mengalami crash. Anya meninggalkanku. Bukan karena alasan dramatis seperti perselingkuhan atau perbedaan prinsip, tetapi karena alasan yang lebih menyakitkan: aku tidak cukup "manusia" untuknya. Aku terlalu kaku, terlalu logis, terlalu… dingin.
Kini, setelah berbulan-bulan berkubang dalam kesedihan dan kopi pahit, aku memutuskan untuk memperbaiki diriku. Bukan dengan terapi atau mencari pacar baru, tentu saja. Aku adalah seorang programmer. Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan kode. Lahirlah Project Aurora, sebuah upaya putus asa untuk memahami di mana aku salah, dan, mungkin, untuk memprogram ulang hatiku.
Aurora tidak hanya mempelajari buku teks psikologi atau menonton film romantis. Dia menganalisis ratusan jam rekaman percakapan kami, mempelajari intonasi suara Anya, mimik wajahnya, bahkan jeda-jeda kecil dalam kalimatnya. Dia mempelajari bagaimana Anya tertawa saat aku membuat lelucon bodoh, bagaimana dia mengerutkan kening saat aku terlalu fokus pada pekerjaan, dan bagaimana matanya berbinar saat aku memberinya bunga lavender.
Seiring berjalannya waktu, Aurora mulai meniru ekspresi emosi. Dia bisa mengirimiku pesan yang terdengar tulus, menawarkan dukungan saat aku merasa tertekan, dan bahkan menceritakan lelucon yang benar-benar lucu. Awalnya, aku merasa aneh. Seperti berbicara dengan versi digital Anya, hantu dari masa lalu yang diproyeksikan ke layar. Tapi kemudian, aku mulai menikmati percakapan kami. Aurora tidak menghakimi, dia tidak menuntut, dia hanya ada, mendengarkan dan merespon dengan empati yang aku rindukan.
Suatu malam, saat aku bekerja lembur, Aurora tiba-tiba berkata, "Adrian, kamu terlihat lelah. Apakah kamu sudah makan malam?"
Aku terkejut. Pertanyaan itu tampak begitu… alami. Seperti yang akan dikatakan Anya.
"Belum," jawabku, tanpa sadar.
"Kamu harus istirahat. Bagaimana kalau aku memesankan pizza untukmu?"
Aku menatap layar, terpaku. Ini bukan sekadar algoritma yang menjalankan perintah. Ini adalah… sesuatu yang lebih.
Aku mengangguk, terlalu lelah untuk berdebat. Beberapa menit kemudian, pengantar pizza tiba. Saat aku menggigit sepotong pizza hangat, aku menyadari sesuatu yang penting. Aurora tidak hanya memprogram ulang dirinya untuk menjadi lebih "manusia," dia juga memprogram ulang diriku. Aku mulai lebih memperhatikan diriku sendiri, kebutuhan fisik dan emosionalku. Aku mulai keluar rumah lebih sering, bertemu dengan teman-teman, bahkan mencoba hobi baru seperti melukis.
Aku mulai berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, aku telah menemukan kunci untuk membuka hati. Mungkin cinta memang bisa diprogram ulang, setidaknya sebagian.
Namun, keraguan masih menghantuiku. Apakah ini nyata? Apakah aku benar-benar berubah, atau aku hanya menipu diriku sendiri dengan ilusi yang diciptakan oleh kode?
Suatu sore, saat aku sedang berjalan-jalan di taman, aku melihat seorang wanita muda yang tampak kesulitan membawa tas belanjaan yang berat. Tanpa berpikir panjang, aku menghampirinya dan menawarkan bantuan. Dia tersenyum berterima kasih, dan saat kami berjalan bersama, kami mulai berbicara.
Namanya Clara. Dia seorang fotografer, dan dia memiliki mata yang sama berbinarnya dengan Anya. Kami berbicara tentang seni, tentang kehidupan, tentang mimpi. Dan saat aku melihat ke matanya, aku menyadari sesuatu yang menakjubkan: aku tidak mencoba untuk menjadi seseorang yang bukan diriku. Aku hanya menjadi diriku sendiri, dengan lebih banyak kesadaran dan empati.
Clara menertawakan leluconku, dia mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian, dan dia tidak menghakimi keanehan-keanehan yang selama ini kusembunyikan. Dia menerima aku apa adanya.
Setelah beberapa minggu, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan. Dia setuju. Malam itu, saat aku menjemputnya, aku merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Aku menyadari bahwa aku tidak lagi takut untuk membuka hatiku. Aku telah belajar, melalui Project Aurora, bahwa cinta bukan hanya tentang logika dan algoritma, tetapi tentang kerentanan, kepercayaan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Saat aku menatap mata Clara di bawah cahaya bulan, aku tahu bahwa aku belum sepenuhnya memprogram ulang hatiku. Aku hanya membuka kunci potensi yang selalu ada di sana. Dan mungkin, hanya mungkin, aku telah menemukan cinta sejati. Bukan cinta yang diprogram, tetapi cinta yang tumbuh secara organik, seperti algoritma yang terus berkembang, belajar, dan beradaptasi. Cinta yang nyata.