Debu-debu lembut menari di bawah sorot lampu meja kerja. Jari-jari Maya lincah mengetik baris demi baris kode. Di layar laptopnya, sebuah algoritma rumit menjelma menjadi jembatan penghubung harapan. Harapan akan sebuah koneksi, sebuah percikan asmara di tengah samudra data yang tak berujung.
Maya, seorang cloud architect muda nan berbakat, bertemu dengan Adrian, seorang data scientist yang brilian, di sebuah konferensi teknologi. Mereka langsung terhubung, bukan hanya karena minat yang sama terhadap komputasi awan, tapi juga karena sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan angka dan logika.
Adrian, dengan senyum menawannya dan tatapan mata yang seolah bisa membaca pikiran Maya, membuatnya merasa dilihat, dipahami. Mereka berdiskusi tentang kompleksitas jaringan neural, tentang keindahan machine learning, dan tentang masa depan dunia yang digerakkan oleh data. Malam itu, di bawah gemerlap lampu kota yang dipantulkan gedung-gedung pencakar langit, mereka bertukar nomor telepon.
Hubungan mereka berkembang pesat, secepat pembaruan perangkat lunak. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam dalam panggilan video, membahas proyek-proyek inovatif, berbagi mimpi dan ketakutan. Mereka makan malam virtual bersama, menonton film yang sama dari kejauhan, bahkan merayakan ulang tahun masing-masing dengan kue yang dipesan secara online dan lilin yang ditiup di depan layar.
Cinta mereka adalah produk abad ke-21, cinta yang tumbuh subur di atas infrastruktur digital. Mereka bergantung pada aplikasi pesan instan, platform kolaborasi, dan tentu saja, komputasi awan, untuk menjaga api asmara mereka tetap menyala. Adrian bahkan menciptakan sebuah bot personal yang dikirimkan ke Maya setiap pagi, berisi kutipan-kutipan motivasi dan kata-kata cinta yang dipersonalisasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, awan-awan gelap mulai berarak di langit biru hubungan mereka. Jarum jam yang berputar tanpa henti mengingatkan Maya akan sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa digantikan oleh teknologi.
"Aku merindukanmu, Adrian," kata Maya suatu malam, suaranya lirih. "Aku merindukan sentuhanmu, aromamu, kehadiranmu di sisiku."
Adrian terdiam sejenak. "Aku juga merindukanmu, Maya. Tapi, kau tahu kan, pekerjaanku menuntutku untuk berada di sini, di Silicon Valley. Aku sedang mengerjakan proyek besar yang bisa mengubah dunia."
Proyek besar. Kalimat itu seperti tamparan halus bagi Maya. Dia mengerti ambisi Adrian, dia menghargai dedikasinya pada pekerjaan. Tapi, apakah cinta mereka akan kalah dengan algoritma dan data set? Apakah kebahagiaan mereka bisa diukur dengan metrik dan Key Performance Indicator?
Perbedaan zona waktu menjadi momok yang mengerikan. Maya di Jakarta, Adrian di California. Perbedaan waktu 15 jam membuat komunikasi mereka semakin sulit. Mereka seringkali melewatkan panggilan, salah paham, dan merasa semakin jauh satu sama lain.
Suatu hari, Maya menemukan Adrian sedang terhubung dengan seorang wanita lain dalam sebuah panggilan video. Bukan panggilan pekerjaan, bukan pula panggilan dengan keluarga. Maya bisa melihat senyum yang sama yang pernah Adrian berikan padanya, tatapan mata yang sama yang pernah membuatnya merasa istimewa.
Dunia Maya seolah runtuh. Komputasi awan yang selama ini menjadi pilar hubungan mereka terasa seperti penjara virtual. Dia merasa terperangkap dalam jaringan data yang tak bisa dia putuskan. Dia ingin berteriak, menangis, menghancurkan semua perangkat elektronik di sekitarnya.
Dengan berat hati, Maya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dia mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Adrian: "Cinta kita mungkin indah di atas awan, tapi aku butuh sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa kurasakan. Selamat tinggal, Adrian."
Adrian membalas pesannya dengan cepat, memohon maaf, menjelaskan bahwa wanita itu hanyalah seorang rekan kerja, bahwa dia tidak bermaksud menyakiti Maya. Tapi, Maya sudah memutuskan. Luka yang dia rasakan terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata.
Beberapa bulan berlalu. Maya fokus pada pekerjaannya, mencoba melupakan Adrian dan kenangan manis mereka. Dia tetap menjadi cloud architect yang handal, tapi hatinya terasa hampa.
Suatu sore, saat Maya sedang bekerja di sebuah kafe, dia melihat seorang pria berdiri di dekat pintu. Pria itu memegang setangkai bunga matahari, bunga favorit Maya. Pria itu adalah Adrian.
Adrian berjalan mendekat, senyumnya tulus, matanya penuh penyesalan. "Maya," sapanya lembut. "Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Aku datang jauh-jauh dari California untuk meminta maaf padamu."
Maya terkejut. Dia tidak menyangka Adrian akan datang.
"Aku melepaskan proyekku," lanjut Adrian. "Aku sadar, tidak ada algoritma yang bisa menggantikanmu. Tidak ada data set yang bisa menandingi cintamu. Aku ingin membangun masa depan bersamamu, Maya, di dunia nyata."
Maya menatap Adrian, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia melihat kesungguhan di mata Adrian, ketulusan di hatinya. Dia tahu, ini adalah kesempatan kedua.
"Adrian," kata Maya, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."
Adrian tersenyum dan memberikan bunga matahari itu kepada Maya. "Katakan ya, Maya. Katakan kau mau memberiku kesempatan kedua."
Maya mengangguk, air matanya akhirnya jatuh. "Ya, Adrian. Aku mau."
Mereka berpelukan erat, melupakan semua kesedihan dan kekecewaan di masa lalu. Mereka berjanji untuk membangun hubungan yang lebih kuat, lebih nyata, tidak hanya di atas awan, tapi juga di bumi yang nyata.
Cinta dalam komputasi awan, selamanya atau sementara? Mungkin sementara, jika hanya bergantung pada teknologi. Tapi, jika didasari oleh ketulusan, komitmen, dan keberanian untuk berkorban, cinta itu bisa bertahan selamanya, bahkan di tengah badai data dan algoritma yang tak berujung.