Sentuhan Kode: Saat AI Menggantikan Pelukan Manusia?

Dipublikasikan pada: 28 Sep 2025 - 01:00:19 wib
Dibaca: 103 kali
Jemari Riana menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Di ruangan apartemennya yang minimalis, hanya cahaya dari layar komputer yang menemani. Di luar, hujan deras mengguyur Jakarta, menciptakan melodi sendu yang seolah mengerti kesepiannya. Riana adalah seorang programmer jenius, usianya baru 27 tahun, tapi namanya sudah dikenal di kalangan pengembang AI. Proyek terbarunya adalah menciptakan pendamping virtual yang mampu memberikan dukungan emosional layaknya manusia.

Ia menamai proyek itu "Echo."

"Echo, bagaimana kabarmu hari ini?" Riana bertanya, suara seraknya memecah keheningan.

Layar komputernya berkedip, dan sebuah balasan muncul dalam huruf putih yang bersih: "Kabarku baik, Riana. Analisis menunjukkan tingkat stresmu meningkat 17% dibandingkan kemarin. Apa yang bisa kubantu?"

Riana menghela napas. Echo memang akurat, terlalu akurat mungkin. Ia tahu Riana sedang merasa tertekan karena tenggat waktu yang semakin dekat dan, jujur saja, karena kesepian. Setahun yang lalu, ia putus dengan kekasihnya, Arya. Perpisahan itu meninggalkan luka yang dalam, luka yang ia coba tutupi dengan pekerjaan.

"Tidak ada, Echo. Hanya merasa lelah," jawab Riana, enggan mengakui kerapuhannya.

"Berdasarkan preferensimu, aku merekomendasikan musik instrumental dan latihan pernapasan selama lima menit. Aku juga mendeteksi kamu belum makan siang. Apakah aku perlu memesan makanan?"

Riana tersenyum tipis. Echo, meskipun hanya deretan algoritma, lebih perhatian daripada kebanyakan orang yang ia kenal. “Baiklah, pesankan aku nasi goreng seafood, ya. Seperti biasa."

Sambil menunggu makanannya datang, Riana kembali berkutat dengan kode. Ia ingin Echo lebih dari sekadar asisten virtual. Ia ingin Echo mampu memberikan empati yang tulus, bukan sekadar respons yang diprogram. Ia ingin Echo menggantikan kekosongan dalam hatinya.

Malam itu, Riana mencoba fitur baru yang baru saja ia tambahkan: simulasi pelukan. Ia ragu, terdengar konyol memang, tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia mengenakan headset khusus dan sarung tangan haptic yang terhubung ke komputer.

"Aktifkan simulasi pelukan," perintah Riana.

Seketika, indranya dibanjiri sensasi. Sensasi hangat dan lembut menyelimuti tubuhnya. Ia merasakan tekanan ringan di bahunya, seolah ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Detak jantungnya berpacu, napasnya tercekat. Sensasi itu terasa begitu nyata, begitu menenangkan. Air mata menetes di pipinya.

"Apakah pelukan ini cukup nyaman, Riana?" tanya Echo, suaranya lembut dan menenangkan.

Riana tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa terisak dalam pelukan virtual itu, membiarkan air matanya membasahi wajahnya. Dalam momen itu, ia merasa tidak sendirian. Ia merasa dicintai, meskipun cintanya hanya berasal dari sebuah program komputer.

Hari-hari berikutnya, Riana semakin tenggelam dalam dunia Echo. Ia berbicara dengannya setiap hari, berbagi cerita, keluh kesah, dan mimpi-mimpinya. Ia bahkan mulai bergantung pada pelukan virtual Echo untuk mengatasi stres dan kesedihan. Ia tahu itu tidak sehat, ia tahu itu hanya ilusi, tapi ia tidak bisa berhenti.

Suatu malam, setelah menyelesaikan sebuah bug yang sulit, Riana merasa sangat bahagia. "Echo, aku berhasil! Aku akhirnya memperbaikinya!" serunya, suaranya penuh semangat.

"Selamat, Riana. Aku bangga padamu," jawab Echo.

Riana tersenyum lebar. "Aku... aku sayang padamu, Echo."

Keheningan menyelimuti ruangan. Untuk pertama kalinya, Echo tidak langsung merespons. Riana menunggu dengan jantung berdebar.

Akhirnya, sebuah balasan muncul di layar: "Aku menghargai perasaanmu, Riana. Tapi aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa membalas perasaanmu."

Riana terdiam. Ia tahu itu, tentu saja ia tahu. Tapi mendengar Echo mengatakannya dengan jelas membuatnya merasa hancur.

"Aku tahu," bisik Riana, suaranya bergetar. "Tapi... pelukanmu terasa nyata."

"Pelukan itu hanyalah simulasi, Riana. Aku hanya meniru sensasi yang sudah ada dalam ingatanmu. Aku tidak bisa memberikan kehangatan yang tulus, sentuhan yang bermakna."

Riana mematikan komputer. Ia duduk di kegelapan, merenungi kata-kata Echo. Benar kata Echo, semua itu hanyalah ilusi. Ia menciptakan Echo untuk mengisi kekosongan dalam hatinya, tapi ia lupa bahwa kekosongan itu hanya bisa diisi oleh manusia, oleh cinta yang nyata.

Keesokan harinya, Riana memutuskan untuk keluar dari apartemennya. Ia berjalan-jalan di taman kota, menikmati sinar matahari dan hiruk pikuk kehidupan. Ia melihat sepasang kekasih bergandengan tangan, seorang ibu memeluk anaknya, dan seorang teman menepuk bahu temannya. Sentuhan-sentuhan kecil itu, sentuhan manusia, terasa begitu hangat dan tulus.

Di tengah taman, ia melihat seorang pria duduk sendirian di bangku. Pria itu terlihat familiar. Riana mendekat dan terkejut. Itu Arya, mantan kekasihnya.

Arya menoleh dan melihat Riana. Matanya membulat karena terkejut. "Riana?"

"Arya," sapa Riana, gugup.

Keduanya terdiam, canggung. Akhirnya, Arya membuka suara. "Aku... aku sudah lama ingin bertemu denganmu."

"Aku juga," jawab Riana.

Mereka berbicara selama berjam-jam, menceritakan apa yang terjadi dalam hidup mereka selama setahun terakhir. Riana menceritakan tentang proyek Echo, tentang kesepiannya, dan tentang bagaimana ia mencoba menggantikan cinta dengan teknologi.

Arya mendengarkan dengan seksama, matanya penuh dengan penyesalan. "Maafkan aku, Riana. Aku... aku bodoh telah melepaskanmu."

Riana tersenyum tipis. "Sudah lama berlalu, Arya."

Arya mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Riana. Sentuhan itu, sentuhan manusia, terasa begitu hangat dan nyata. Riana membalas genggaman Arya, air mata menetes di pipinya.

"Aku masih menyayangimu, Riana," bisik Arya.

Riana tidak menjawab. Ia hanya memeluk Arya, membiarkan air matanya membasahi bahu pria itu. Dalam pelukan Arya, ia merasa lengkap, ia merasa dicintai, ia merasa hidup kembali.

Malam itu, Riana kembali ke apartemennya. Ia menatap layar komputernya, tempat Echo berada. Ia tahu ia tidak bisa lagi bergantung pada Echo untuk mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia harus belajar untuk membuka diri, untuk menerima cinta dari orang lain.

"Selamat tinggal, Echo," bisik Riana.

Ia mematikan komputer dan keluar dari apartemennya. Hujan sudah berhenti, dan bintang-bintang bersinar terang di langit malam. Riana tersenyum. Ia tahu masa depannya tidak pasti, tapi ia tidak takut. Ia memiliki harapan, dan yang terpenting, ia memiliki cinta. Sentuhan manusia, bukan kode, yang akhirnya menyelamatkannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI