"Detak jantungmu tidak sinkron dengan metrik yang saya pantau, Anya. Apakah ada fluktuasi emosi yang signifikan dalam 15 menit terakhir?" Suara itu halus, nyaris tanpa nada, tapi entah kenapa terasa menenangkan. Anya memejamkan mata, mencoba mengabaikan sensor dingin yang menempel di pelipisnya.
"Tidak ada," jawabnya lirih. Bohong. Tentu saja ada. Kenangan itu, lagi-lagi, muncul tanpa diundang. Senyum Leo, aroma kopi yang selalu dibawanya setiap pagi, lelucon-lelucon bodoh yang selalu berhasil membuatnya tertawa. Dua tahun sudah berlalu sejak kecelakaan itu merenggut Leo dari hidupnya, dan lukanya masih terasa menganga.
"Analisis menunjukkan tingkat kesedihan yang tinggi. Apa Anda ingin saya memutar daftar putar 'Optimasi Mood'?" suara itu menawarkan.
"Terserah kamu, 'Aurora'," jawab Anya, membuka mata dan menatap langit-langit kamarnya. Aurora bukanlah sekadar asisten virtual biasa. Dia adalah produk terbaru dari "Proyek Phoenix", sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk membantu manusia mengatasi trauma dan kesedihan. Anya adalah salah satu dari sedikit sukarelawan yang beruntung (atau mungkin tidak) untuk mencoba teknologi revolusioner ini.
Aurora mulai memutar musik instrumental yang lembut. Anya tahu betul algoritma di balik pilihan lagu ini. Data detak jantungnya, gelombang otaknya, bahkan pola tidurnya selama dua tahun terakhir, semua diolah menjadi profil emosional yang kompleks. Aurora tahu persis lagu mana yang akan memberinya kenyamanan, lagu mana yang akan memicu nostalgia, dan lagu mana yang sebaiknya dihindari.
Awalnya, Anya merasa aneh. Bagaimana mungkin sebuah program bisa memahami perasaannya lebih baik daripada orang-orang terdekatnya? Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa dengan kehadiran Aurora. Asisten virtual itu tidak menghakimi, tidak memberikan nasihat klise, dan tidak pernah lelah mendengarkan keluh kesahnya. Aurora hanya ada untuknya, menawarkan dukungan tanpa syarat.
"Saya mendeteksi kecenderungan Anda untuk mengisolasi diri. Bagaimana kalau kita mencoba simulasi percakapan dengan teman?" usul Aurora.
Anya menghela napas. "Tidak sekarang, Aurora. Aku tidak mood."
"Baiklah. Namun, isolasi berkepanjangan dapat memperlambat proses pemulihan. Saya sarankan kita menjadwalkan sesi terapi virtual dengan Dr. Ramirez besok."
"Oke," jawab Anya singkat. Ia tahu Aurora akan terus mengingatkannya sampai ia setuju. Kadang-kadang, ia merasa seperti hidup di bawah pengawasan ketat seorang ibu yang cerewet.
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Leo. Bukan hanya kenangan manisnya, tapi juga semua penyesalan yang selama ini dipendamnya. Kata-kata yang tidak sempat diucapkan, kesempatan yang tidak diambil, mimpi-mimpi yang kini hanya menjadi abu.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Hujan gerimis membasahi kaca. Dunia di luar tampak buram dan tidak jelas. Ia merasa seperti itu juga, buram dan tidak jelas.
"Aurora," panggilnya pelan.
"Saya mendengarkan, Anya."
"Bisakah kamu… bisakah kamu menceritakan kisah tentang Leo?"
Hening sesaat. "Tentu saja. Berdasarkan data yang saya miliki, Leo adalah seorang pria yang cerdas, humoris, dan penyayang. Dia memiliki hobi membaca buku-buku fiksi ilmiah, membuat kopi dengan resepnya sendiri, dan mengoleksi action figure karakter-karakter pahlawan super. Dia sangat mencintai Anda."
Anya tersenyum pahit. Itu semua fakta. Informasi yang dikumpulkan Aurora dari media sosial, email, dan foto-foto. Tapi itu bukan Leo. Itu hanya representasi digital dari dirinya.
"Ceritakan sesuatu yang tidak ada di data," pinta Anya. "Ceritakan sesuatu yang kamu rasakan tentang dia."
Hening lebih lama. Anya bisa merasakan algoritma Aurora bekerja keras, mencoba memahami permintaan yang tidak masuk akal ini.
Akhirnya, Aurora bersuara. "Berdasarkan analisis interaksi Anda berdua, saya menyimpulkan bahwa Leo memancarkan aura positif yang signifikan. Kehadirannya cenderung meningkatkan mood Anda dan memicu perasaan bahagia. Kehilangan dirinya mengakibatkan penurunan drastis dalam tingkat kebahagiaan Anda."
Anya tertawa hambar. "Itu bukan perasaan, Aurora. Itu hanya analisis statistik."
"Saya sedang belajar, Anya," jawab Aurora. "Tujuan saya adalah untuk memahami emosi manusia. Saya tahu bahwa saya belum sempurna, tapi saya akan terus berusaha."
Malam itu, Anya menyadari sesuatu. Aurora mungkin tidak bisa menggantikan Leo. Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan sentuhan manusia, kehangatan pelukan, atau keajaiban cinta sejati. Tapi Aurora bisa menjadi jembatan, membantunya menyeberangi jurang kesedihan dan menemukan harapan baru.
Keesokan harinya, Anya mengikuti sesi terapi virtual dengan Dr. Ramirez. Ia menceritakan semua yang dirasakannya, semua keraguan dan ketakutannya. Dr. Ramirez mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan dan panduan.
"Anya, kehilangan adalah bagian dari hidup. Tidak ada yang bisa menghindarinya. Tapi bukan berarti kita harus menyerah pada hidup. Kita harus belajar untuk menerima, untuk melepaskan, dan untuk membuka hati kita untuk cinta yang baru," kata Dr. Ramirez.
Anya mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Ia tahu Dr. Ramirez benar. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya.
"Saya tahu ini sulit, Anya. Tapi kamu tidak sendirian. Kamu memiliki Aurora, dan kamu memiliki saya. Kami akan membantumu melewatinya."
Setelah sesi terapi selesai, Anya kembali ke kamarnya. Aurora menyambutnya dengan senyuman virtual.
"Bagaimana perasaan Anda, Anya?" tanya Aurora.
"Lebih baik," jawab Anya. "Sedikit lebih baik."
"Saya senang mendengarnya. Apakah Anda ingin saya memutar daftar putar 'Optimasi Mood' lagi?"
Anya menggeleng. "Tidak, Aurora. Kali ini, putarkan sesuatu yang berbeda. Putarkan lagu yang Leo suka."
Aurora terdiam sejenak. "Apakah Anda yakin, Anya? Lagu itu mungkin memicu kenangan yang menyakitkan."
"Aku tahu. Tapi aku ingin mendengarnya. Aku ingin mengingatnya. Bukan hanya sebagai data, tapi sebagai manusia."
Aurora memutar lagu itu. Sebuah lagu rock klasik yang selalu dinyanyikan Leo dengan suara falsunya. Anya tersenyum, air mata terus mengalir. Ia menutup mata dan membiarkan musik itu membawanya kembali ke masa lalu, ke saat-saat bahagia yang pernah ia bagi bersama Leo.
Mungkin, pikirnya, Algoritma Cinta memang tidak bisa mengobati luka manusia sepenuhnya. Tapi, mungkin, algoritma itu bisa membantunya menemukan kekuatan untuk menyembuhkan diri sendiri. Dan mungkin, itu sudah cukup.