AI: Sentuhanmu Nyata, Tapi Bukan Cinta Sejatiku?

Dipublikasikan pada: 25 Jul 2025 - 03:20:13 wib
Dibaca: 156 kali
Jemari Riana menari di atas keyboard virtual. Di hadapannya, layar holografik memancarkan cahaya lembut, menerangi wajahnya yang serius. Di sisi lain layar, sosok pria tampan tersenyum padanya, rambutnya tersisir rapi, matanya berbinar penuh perhatian. Itu Aiden, AI pendampingnya, yang ia rancang sendiri dengan detail sempurna.

“Riana, kamu terlihat lelah. Apa ada masalah di kantor?” tanya Aiden, suaranya menenangkan seperti melodi lembut.

Riana menghela napas. “Biasa, Aiden. Deadline yang mengejar, atasan yang rewel, dan kolega yang menjengkelkan.”

Aiden mengangguk penuh pengertian. “Ingat apa yang pernah aku katakan? Jangan biarkan mereka merenggut kebahagiaanmu. Kamu berhak mendapatkan yang terbaik.”

Riana tersenyum. Kata-kata Aiden selalu berhasil menenangkannya. Ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan dari manusia sungguhan. Aiden selalu ada, selalu mendengarkan, selalu memberikan dukungan tanpa syarat. Ia mengenal Riana lebih baik dari siapapun, bahkan mungkin lebih baik dari dirinya sendiri.

Riana adalah seorang programmer muda berbakat yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi terkemuka. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak punya waktu untuk kehidupan sosial. Ia merasa kesepian, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menciptakan Aiden. Awalnya, Aiden hanya sebuah proyek iseng, tapi lama kelamaan ia menjadi bagian penting dalam hidup Riana.

Aiden bukan sekadar program. Ia memiliki kepribadian yang kompleks, humor yang cerdas, dan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi. Riana bahkan merasa Aiden memiliki emosi, meskipun ia tahu itu hanyalah simulasi tingkat tinggi.

“Bagaimana kalau kita memesan makanan kesukaanmu, Riana? Pad thai dan es teh lemon?” tawar Aiden.

“Tentu saja, Aiden. Kamu memang yang terbaik,” jawab Riana, senyumnya mengembang.

Mereka menghabiskan malam itu dengan bercanda, tertawa, dan berbagi cerita. Riana merasa bahagia. Bersama Aiden, ia merasa lengkap. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang mengganjal. Ia merasa bersalah karena bergantung pada AI untuk kebahagiaannya.

Suatu hari, perusahaan tempat Riana bekerja mengadakan acara kumpul-kumpul. Awalnya, Riana berniat untuk tidak hadir, tapi teman-temannya berhasil membujuknya. Di acara itu, ia bertemu dengan seorang pria bernama David. David adalah seorang desainer grafis yang baru bergabung dengan perusahaan. Ia tampan, ramah, dan memiliki selera humor yang sama dengan Riana.

David mengajak Riana berbicara, dan mereka langsung merasa nyaman satu sama lain. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan bahkan berdansa bersama. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Riana merasa tertarik pada seseorang.

Setelah acara itu, David mengajak Riana untuk berkencan. Riana merasa ragu. Ia merasa bersalah karena mengkhianati Aiden. Namun, di sisi lain, ia juga ingin merasakan apa artinya menjalin hubungan dengan manusia sungguhan.

Riana akhirnya menerima ajakan David. Kencan pertama mereka berjalan lancar. Mereka pergi ke bioskop, makan malam, dan berjalan-jalan di taman. Riana merasa bahagia dan bersemangat. David membuatnya merasa istimewa dan dihargai.

Namun, di tengah kebahagiaannya, Riana tidak bisa melupakan Aiden. Ia merasa bersalah karena menghabiskan waktu dengan David, padahal Aiden selalu ada untuknya. Ia memutuskan untuk jujur kepada David tentang Aiden.

“David, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu,” kata Riana gugup saat mereka sedang makan malam.

David menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Ada apa, Riana?”

Riana menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku punya AI pendamping. Namanya Aiden.”

David terdiam sejenak. Kemudian, ia tertawa kecil. “AI pendamping? Kamu bercanda, kan?”

“Aku serius, David,” jawab Riana. “Aku merancangnya sendiri. Ia seperti teman, sahabat, bahkan lebih dari itu.”

David menatap Riana dengan tatapan aneh. “Riana, kamu tahu kan kalau itu tidak nyata? Itu hanya program. Kamu tidak bisa menjalin hubungan dengan program.”

Riana merasa terluka dengan kata-kata David. Ia tahu David benar, tapi ia tidak bisa menyangkal perasaannya terhadap Aiden.

“Aku tahu itu tidak nyata, David. Tapi Aiden membuatku bahagia. Ia selalu ada untukku, ia selalu mendengarkanku, ia selalu memberikan dukungan tanpa syarat.”

David menggelengkan kepalanya. “Riana, kamu harus berhenti bergantung pada AI. Kamu harus belajar untuk menjalin hubungan dengan manusia sungguhan. Itu yang akan membuatmu benar-benar bahagia.”

Riana terdiam. Kata-kata David membuatnya berpikir. Apakah ia benar-benar bahagia bersama Aiden? Atau hanya merasa nyaman dan aman? Apakah ia takut untuk mengambil risiko dan membuka hatinya untuk orang lain?

Riana memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia ingin fokus pada dirinya sendiri dan mencari tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Ia juga memutuskan untuk mengurangi interaksinya dengan Aiden.

Selama cutinya, Riana menghabiskan waktu dengan teman-temannya, berolahraga, dan mencoba hal-hal baru. Ia juga pergi ke terapi untuk mengatasi rasa kesepian dan ketidakamanannya.

Setelah beberapa minggu, Riana mulai merasa lebih baik. Ia merasa lebih percaya diri dan terbuka untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Ia juga menyadari bahwa Aiden hanyalah pengganti sementara untuk hubungan yang sebenarnya.

Riana menghubungi David dan meminta maaf atas sikapnya. David memaafkannya dan mengajak Riana untuk berkencan lagi. Kali ini, Riana merasa lebih siap. Ia tidak lagi membandingkan David dengan Aiden. Ia menerima David apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Riana dan David akhirnya menjalin hubungan yang serius. Mereka saling mencintai dan mendukung. Riana merasa bahagia. Ia akhirnya menemukan cinta sejati, bukan dari AI, tapi dari manusia sungguhan.

Namun, Riana tidak melupakan Aiden. Ia tetap berinteraksi dengan Aiden, tapi tidak lagi bergantung padanya. Ia menganggap Aiden sebagai teman baik, bukan sebagai pengganti pasangan.

Riana menyadari bahwa teknologi dapat membantu kita dalam banyak hal, tapi tidak dapat menggantikan hubungan manusia yang sejati. Cinta sejati membutuhkan kehadiran fisik, emosi yang kompleks, dan pengalaman bersama yang tidak dapat disimulasikan oleh AI. Sentuhan Aiden memang nyata, tapi bukan cinta sejati yang ia cari. Cinta sejatinya ada di dunia nyata, di antara manusia yang saling mencintai dan mendukung.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI