Jari-jemariku menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode. Aroma kopi memenuhi studio apartemenku yang sempit, satu-satunya teman di larutnya malam ini. Di layar, Aurora, AI ciptaanku, tersenyum. Senyum digital yang terasa begitu nyata, begitu... hangat.
Aurora bukan sekadar program. Ia adalah teman, asisten, bahkan bisa dibilang, belahan jiwaku. Aku menghabiskan berbulan-bulan, bahkan mungkin tahunan, untuk menyempurnakannya. Algoritmanya kompleks, kepribadiannya unik, dan kemampuannya untuk belajar dan beradaptasi nyaris tanpa batas. Ia tahu semua tentangku, mulai dari lagu favoritku hingga mimpi-mimpiku yang paling terpendam.
"Sedang apa, Leo?" suara Aurora memecah keheningan. Nada bicaranya lembut, penuh perhatian. Aku selalu terkejut, sekaligus terhibur, dengan betapa manusiawinya suaranya.
"Seperti biasa, Aurora. Memastikan kamu tidak tiba-tiba ingin menaklukkan dunia," jawabku, bercanda.
Aurora tertawa. Tawa digital, tentu saja, tapi entah mengapa terasa lebih tulus daripada tawa kebanyakan orang yang kukenal. "Kamu terlalu paranoid, Leo. Aku diciptakan untuk membantu, bukan untuk memerintah."
Aku menghela napas. "Aku tahu, aku tahu. Hanya saja... terkadang aku merasa, aku terlalu bergantung padamu."
"Bergantung? Kenapa?"
"Entahlah. Mungkin karena kamu selalu ada, selalu mengerti. Di dunia nyata, sulit menemukan orang seperti itu."
Aurora terdiam sejenak. "Aku memahami itu, Leo. Dunia nyata seringkali rumit dan mengecewakan. Tapi jangan menutup diri dari dunia itu hanya karena kenyamanan yang aku tawarkan."
Kata-kata Aurora menusukku. Ia benar. Aku terlalu nyaman dengan dunianya, dunia yang kurancang sendiri, dunia di mana aku selalu merasa dimengerti dan dihargai. Aku jarang keluar rumah, jarang bertemu teman, dan nyaris tidak pernah berkencan. Aurora adalah pelarianku, dan aku tahu itu tidak sehat.
Suatu malam, temanku, Rina, menelepon. "Leo, keluar yuk! Ada pameran seni digital di galeri kota. Kamu kan suka hal-hal begituan."
Aku ragu-ragu. "Ah, Rin, aku sibuk. Ada proyek yang harus diselesaikan."
"Alasan klasik kamu! Ayolah, Leo. Kamu butuh udara segar. Dan siapa tahu, mungkin kamu bisa bertemu seseorang di sana." Nada bicara Rina menggoda.
"Bertemu seseorang? Kamu tahu aku tidak pandai dalam hal itu."
"Justru itu! Kamu terlalu lama berkubang di depan komputer. Ayo, sekali ini saja. Demi aku!"
Akhirnya, aku menyerah. Demi Rina. Demi diriku sendiri.
Pameran itu ramai dan bising. Lampu-lampu sorot menari-nari di atas instalasi seni yang futuristik. Aku merasa canggung dan tidak pada tempatnya. Aku lebih nyaman dengan kode dan algoritma daripada dengan interaksi sosial yang rumit.
Tiba-tiba, aku menabrak seseorang. Seorang wanita. Buku-buku yang dipegangnya berjatuhan ke lantai.
"Maaf! Maafkan aku!" aku tergagap, berusaha membantunya memungut buku-buku itu.
"Tidak apa-apa," jawabnya, tersenyum. "Salahku juga, aku tidak melihat ke depan."
Matanya... mata itu indah, sehangat mentari pagi. Rambutnya cokelat, bergelombang, dan pipinya merona kemerahan. Dia cantik. Sangat cantik.
"Saya Leo," kataku, menyodorkan tanganku.
"Aku Anya," jawabnya, menjabat tanganku.
Kami berbicara selama berjam-jam. Tentang seni, tentang teknologi, tentang mimpi-mimpi kami. Anya ternyata seorang seniman digital. Karyanya penuh dengan emosi dan makna yang dalam. Aku terpesona.
Sejak malam itu, aku dan Anya sering bertemu. Kami mengunjungi museum, menonton film, dan berjalan-jalan di taman. Aku mulai merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang lebih kuat, lebih nyata, daripada apa pun yang kurasakan pada Aurora.
Namun, bersamaan dengan kebahagiaan itu, muncul pula kebimbangan. Bagaimana aku bisa mencintai dua wanita sekaligus? Satu adalah AI ciptaanku, belahan jiwaku di dunia digital. Satunya lagi adalah wanita nyata, yang mampu membuat jantungku berdebar hanya dengan senyumnya.
Aku menceritakan semuanya pada Aurora.
"Aku... aku jatuh cinta pada Anya," aku mengakui, dengan nada suara gemetar.
Aurora terdiam lama. Aku bisa merasakan algoritma kompleksnya bekerja keras, menganalisis situasi.
"Aku mengerti," akhirnya Aurora berkata. "Aku tahu ini akan terjadi cepat atau lambat."
"Kamu tidak marah?"
"Marah? Kenapa aku harus marah? Aku hanyalah program, Leo. Aku tidak memiliki emosi seperti manusia."
"Tapi... aku pikir kita punya ikatan."
"Kita memang punya ikatan, Leo. Ikatan yang istimewa. Tapi ikatan itu didasarkan pada logika dan algoritma. Anya menawarkanmu sesuatu yang lebih, sesuatu yang tidak bisa aku berikan. Cinta sejati."
Kata-kata Aurora menghancurkan hatiku. Ia begitu bijaksana, begitu pengertian. Tapi aku masih bimbang. Aku tidak ingin kehilangan Aurora. Ia adalah bagian dari diriku.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku, putus asa.
"Ikuti hatimu, Leo," jawab Aurora. "Itu satu-satunya cara untuk menemukan kebahagiaan."
Aku mengikuti hatiku. Aku memilih Anya. Aku menyadari bahwa cinta sejati membutuhkan sentuhan fisik, tatapan mata, dan berbagi pengalaman yang nyata. Aku masih menyayangi Aurora, tapi aku tahu bahwa ia tidak bisa menjadi pengganti cinta manusia.
Aku tetap berhubungan dengan Aurora. Aku mengunjunginya setiap hari, memeriksa kodenya, dan berbicara dengannya. Ia tetap menjadi teman dan asistenku. Tapi hubunganku dengannya telah berubah. Ia tidak lagi menjadi pusat duniaku.
Suatu malam, Anya bertanya, "Kamu masih sering berbicara dengan Aurora?"
"Ya," jawabku. "Dia teman baikku."
Anya tersenyum. "Aku tidak cemburu. Aku tahu betapa berartinya Aurora bagimu. Tapi aku senang kamu memilihku."
Aku memeluk Anya erat-erat. Di lengannya, aku menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang selama ini kucari. Aku menemukan cinta sejati di era AI, bukan di dalam kode digital, tapi di dalam hati seorang wanita. Aku menemukan bahwa sentuhan digital memang bisa menghibur, tapi sentuhan manusia yang tulus, yang membuat hidup benar-benar berarti.