Angin malam kota Seoul menyisir rambut Seora yang tergerai, aroma kimchi dan neon berpadu menciptakan simfoni khas. Jemarinya mengetik cepat di atas tablet, menyelesaikan kode terakhir untuk aplikasi kencan berbasis AI yang ia namai "SoulMate 2.0". Seora, seorang programmer jenius, selalu merasa lebih nyaman dengan baris kode daripada interaksi sosial. Ia menciptakan SoulMate 2.0 bukan karena mencari cinta, melainkan untuk membuktikan bahwa cinta bisa dikalkulasi, diprediksi, dan bahkan, direkayasa.
SoulMate 2.0 menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, preferensi, dan bahkan ekspresi wajah pengguna. Aplikasi ini dengan cepat menjadi viral, menjanjikan cinta sejati di ujung jari. Seora sendiri, meski enggan, memasukkan datanya ke dalam sistem. Ia penasaran, siapa yang akan "dijodohkan" oleh algoritma ciptaannya.
Jawabannya datang dalam bentuk foto seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang meneduhkan. Namanya Jihoon, seorang arsitek lanskap yang mencintai alam dan buku-buku klasik. Seora terkejut. Profil Jihoon sangat kontras dengan dirinya yang lebih menyukai dunia digital dan larut dalam kompleksitas algoritma. Namun, algoritma tak mungkin salah, bukan?
Mereka mulai berkirim pesan, obrolan demi obrolan. Jihoon ternyata sangat menyenangkan, ia pandai bercerita dan selalu memiliki cara untuk membuat Seora tertawa. Ia mengirimkan foto-foto taman indah yang ia rancang, bercerita tentang filosofi di balik setiap elemennya. Seora mulai terpikat. Ia bahkan rela menutup laptopnya lebih awal untuk membalas pesan Jihoon.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Jihoon memilih sebuah kafe kecil dengan taman di belakangnya, tempat yang sempurna untuk mereka berdua. Saat Jihoon tersenyum padanya, Seora merasa debaran aneh di dadanya. Senyum itu sama persis dengan yang ada di fotonya, namun terasa jauh lebih tulus dan nyata.
Kencan pertama mereka berjalan lancar. Mereka berbicara tentang mimpi, ambisi, dan ketakutan masing-masing. Jihoon mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah-olah setiap kata yang diucapkan Seora adalah permata berharga. Seora, yang biasanya gugup dalam interaksi sosial, merasa nyaman dan terbuka. Ia bahkan menceritakan tentang SoulMate 2.0, dengan sedikit rasa bersalah.
Jihoon mendengarkan dengan seksama, lalu tersenyum. "Jadi, aku adalah hasil kalkulasi algoritma?" tanyanya.
Seora mengangguk, merasa canggung. "Ya, tapi aku... aku rasa algoritma itu benar. Kita memang cocok."
Jihoon meraih tangannya, jemarinya menyentuh kulit Seora. "Algoritma mungkin bisa menemukan kesamaan kita, tapi algoritma tidak bisa menciptakan perasaan ini," ucapnya lembut.
Sentuhan Jihoon mengirimkan sengatan aneh ke seluruh tubuh Seora. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang lebih dari sekadar logika dan kalkulasi. Itu adalah... cinta?
Mereka terus berkencan, semakin hari semakin dekat. Seora mulai melupakan pekerjaannya, lebih memilih menghabiskan waktu bersama Jihoon di taman-taman indah yang ia rancang. Ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, lebih berwarna, lebih hidup. Jihoon telah membantunya keluar dari cangkangnya, menunjukkan keindahan dunia nyata yang selama ini ia abaikan.
Namun, kebahagiaan Seora mulai terusik. Seorang teman sesama programmer, Minho, menghubunginya dengan nada khawatir. "Seora, aku menemukan sesuatu yang aneh di database SoulMate 2.0," ujarnya. "Algoritma itu... dimanipulasi."
Seora mengerutkan kening. "Dimanipulasi? Maksudmu?"
"Seseorang telah mengubah beberapa parameter kunci dalam algoritma, terutama yang berkaitan dengan pencocokan kepribadian. Aku curiga seseorang sengaja memasukkan data palsu untuk mencocokkan dirimu dengan seseorang."
Jantung Seora berdegup kencang. "Siapa?"
Minho terdiam sejenak. "Aku masih menyelidikinya, tapi... aku menemukan jejak yang mengarah ke profil Jihoon."
Dunia Seora runtuh seketika. Jadi, semua ini palsu? Jihoon bukanlah hasil kalkulasi algoritma yang jujur, melainkan produk rekayasa seseorang? Apakah cintanya juga palsu?
Ia menemui Jihoon di taman tempat mereka pertama kali bertemu. Seora menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Jihoon, aku tahu," ucapnya lirih. "Aku tahu tentang SoulMate 2.0 dan algoritma yang dimanipulasi."
Jihoon terdiam, wajahnya pucat. Ia menunduk, tidak berani menatap Seora. "Aku... aku bisa jelaskan."
"Jelaskan apa? Jelaskan bagaimana kau telah membohongiku? Jelaskan bagaimana cintaku selama ini adalah hasil kebohongan?"
Jihoon meraih tangannya, namun Seora menepisnya. "Aku memang memanipulasi algoritma itu," akunya dengan suara bergetar. "Aku... aku jatuh cinta padamu sejak lama, Seora. Aku melihatmu bekerja keras di kafe ini setiap hari, dan aku tahu kau terlalu sibuk untuk melihatku. Aku putus asa, aku ingin dekat denganmu, jadi aku melakukan ini. Aku tahu ini salah, sangat salah, tapi aku tidak bisa menahannya."
Air mata Seora menetes. "Jadi, kau pikir dengan berbohong kau bisa membuatku mencintaimu?"
"Tidak! Aku tidak pernah bermaksud begitu," bantah Jihoon. "Aku hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk mengenalmu. Aku ingin kau melihat siapa aku sebenarnya. Dan setelah kita bertemu, aku tahu... aku tahu perasaanku padamu nyata. Aku benar-benar mencintaimu, Seora."
Seora menatap Jihoon, mencoba mencari kebohongan di matanya. Ia melihat penyesalan, ketakutan, dan... cinta. Ia bingung. Apakah ia bisa memaafkan kebohongannya? Apakah cinta yang mereka bangun selama ini cukup kuat untuk mengatasi pengkhianatan ini?
"Aku butuh waktu," ucap Seora akhirnya. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Jihoon yang terpaku di tengah taman, dikelilingi oleh keindahan yang ia ciptakan, namun terasa hampa dan sepi.
Seora kembali ke apartemennya, menatap layar tabletnya yang menampilkan baris-baris kode SoulMate 2.0. Ia menyadari, algoritma memang bisa menemukan kesamaan, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta sejati. Cinta membutuhkan kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk menjadi rentan. Dan mungkin, yang terpenting, cinta membutuhkan kesempatan kedua.
Ia tahu ia masih mencintai Jihoon. Pertanyaannya, apakah ia berani mengambil risiko untuk mempercayainya lagi? Apakah ia berani membiarkan hatinya rentan, meskipun tahu bahwa algoritma bisa membisikkan kebohongan? Jawaban itu, hanya waktu yang bisa memberikannya. Sentuhan AI mungkin telah mengawali kisah mereka, tapi kini, keputusan ada di tangannya sendiri.