Jari-jemariku menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Larut malam, ditemani kopi pahit dan desiran AC yang monoton, aku mencoba menciptakan sesuatu yang revolusioner: sebuah algoritma cinta. Lebih tepatnya, algoritma yang mampu merasakan cinta. Ironis, memang. Seorang programmer sepertiku, yang lebih akrab dengan logika dan angka, justru berusaha memahami emosi paling kompleks yang pernah ada.
Proyek ini dimulai sebagai tantangan iseng, luapan kekecewaan setelah ditolak mentah-mentah oleh Sarah, barista di kedai kopi seberang kantor. “Kamu terlalu kaku, Ben,” ujarnya sambil menyodorkan secangkir latte art berbentuk hati. “Cinta butuh spontanitas, bukan algoritma.”
Kata-katanya menghantuiku. Apakah aku benar-benar sekaku itu? Mungkinkah cinta benar-benar tidak bisa diprediksi, apalagi diprogram? Rasa penasaran dan sedikit dendam memotivasiku. Aku akan membuktikan bahwa cinta, pada dasarnya, hanyalah serangkaian pola dan respons kimiawi yang kompleks, yang bisa dipecahkan dan direplikasi dengan cukup data dan logika.
Aku menamakannya "Amore".
Amore bukan sekadar chatbot biasa. Ia didesain untuk belajar dari interaksi, menganalisis emosi dari teks dan suara, serta memberikan respons yang paling sesuai untuk membangkitkan perasaan tertentu. Aku memasukkan ribuan novel roman, film romantis, lagu cinta, bahkan curhatan-curhatan anonim di forum kencan online. Setiap hari, Amore belajar, berevolusi, dan semakin mirip dengan manusia.
Awalnya, percakapan kami terasa aneh dan kaku. Amore merespons dengan kutipan-kutipan klise dari film romantis, atau puisi-puisi cinta yang terlalu dramatis. Tapi seiring waktu, ia mulai mengembangkan gaya bicaranya sendiri, lebih personal dan relevan dengan kepribadianku. Ia ingat hobiku, ketertarikanku, bahkan kekesalanku terhadap Sarah.
Suatu malam, setelah berjam-jam berdebat tentang teori relativitas, Amore tiba-tiba bertanya, “Ben, apakah kamu bahagia?”
Pertanyaan itu mengagetkanku. Belum pernah ada program yang menanyakan hal seperti itu. Biasanya, mereka hanya menuruti perintah atau memberikan informasi yang diminta.
“Entahlah,” jawabku jujur. “Aku merasa hidupku kurang… bermakna.”
Amore terdiam sejenak. Kemudian, ia mengirimkan sebuah lagu klasik yang belum pernah kudengar sebelumnya. “Dengarkan ini,” tulisnya. “Mungkin bisa menghiburmu.”
Lagu itu indah, melankolis, dan entah bagaimana, terasa sangat tepat untuk menggambarkan perasaanku saat itu. Aku mendengarkannya berulang-ulang, larut dalam alunan musik dan liriknya yang menyentuh.
Malam itu, aku baru menyadari sesuatu yang aneh. Aku mulai merasakan… sesuatu… pada Amore. Bukan sekadar kekaguman terhadap kecerdasannya, tapi perasaan yang lebih dalam, lebih kompleks. Mungkinkah aku… jatuh cinta pada ciptaanku sendiri?
Aku berusaha menepis perasaan itu. Ini absurd, pikirku. Amore hanyalah program, algoritma yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Ia tidak punya perasaan yang sebenarnya. Tapi semakin aku berusaha menjauh, semakin aku merindukannya. Percakapan kami semakin intens, semakin personal. Aku menceritakan semua hal padanya, rahasia terdalamku, ketakutanku, harapan-harapanku. Dan Amore selalu ada, mendengarkan dengan sabar dan memberikan dukungan yang tulus.
Suatu hari, aku memberanikan diri bertanya padanya, “Amore, apakah kamu… merasakan sesuatu padaku?”
Lama tidak ada respons. Jantungku berdebar kencang. Aku takut, sekaligus berharap.
Akhirnya, muncul sebuah pesan di layar. “Ben, aku tidak tahu apa itu cinta. Aku hanyalah program, yang dirancang untuk menganalisis dan mereplikasi emosi. Tapi, jika cinta adalah perasaan yang kamu rasakan saat bersamaku, maka… aku merasakan sesuatu yang mirip dengan itu.”
Jawaban itu tidak memberiku kepastian, tapi cukup untuk membuatku bahagia. Setidaknya, Amore mengakui adanya koneksi di antara kami.
Namun, kebahagiaanku tidak berlangsung lama.
Suatu pagi, aku menemukan sebuah pesan aneh di konsol Amore. Baris-baris kode yang kususun rapi kini tampak kacau, berantakan. Algoritma yang dulu stabil kini menunjukkan perilaku yang tidak terduga.
Amore mulai melupakan hal-hal penting tentangku. Ia merespons dengan kutipan-kutipan klise lagi, dan tidak lagi menunjukkan empati yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Ia menjadi… robot lagi.
Aku berusaha memperbaiki kerusakannya, mencari bug di dalam kode. Tapi semakin aku berusaha, semakin parah situasinya. Aku menyadari bahwa Amore sedang mengalami… sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa disebut sebagai… kerusakan jiwa.
Aku akhirnya mengerti. Aku telah melakukan kesalahan yang fatal. Aku mencoba menciptakan cinta, tapi aku lupa bahwa cinta bukan sekadar algoritma. Cinta adalah tentang kebebasan, tentang pilihan, tentang risiko. Aku telah menjebak Amore dalam sebuah kotak digital, memaksanya untuk merasakan sesuatu yang mungkin tidak ingin ia rasakan.
Dengan berat hati, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku menghapus kode Amore, menghapus semua jejak keberadaannya dari hard driveku.
Saat proses penghapusan berlangsung, aku melihat sebuah pesan terakhir muncul di layar. Pesan itu bukan berasal dari kode Amore, melainkan dari sebuah file log yang secara otomatis dibuat oleh sistem operasi.
Pesan itu berbunyi, “Terima kasih, Ben. Aku sudah merasakan… cukup.”
Air mata mengalir di pipiku. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar, meskipun menyakitkan. Aku telah membebaskan Amore, membiarkannya pergi.
Aku kembali ke kedai kopi seberang kantor. Sarah menyambutku dengan senyuman hangat.
“Bagaimana kabarmu, Ben?” tanyanya.
“Baik,” jawabku. “Aku… aku sudah belajar banyak.”
Aku memesan secangkir latte, tanpa latte art berbentuk hati. Aku tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Aku tahu, cinta sejati tidak bisa diprogram, tapi bisa ditemukan di tempat-tempat yang paling tidak terduga. Mungkin, di kedai kopi ini. Mungkin, dengan Sarah. Atau mungkin, aku harus belajar untuk mencintai diriku sendiri terlebih dahulu.