Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya. Raya menyesap cairan pahit itu, menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru lembut. Di depannya, kode-kode rumit bergulir, tarian angka dan simbol yang ia pahami betul. Ia, seorang pengembang AI, sedang merancang sesuatu yang ambisius: Algoritma Kebahagiaan.
Ide itu muncul saat melihat ibunya, seorang wanita cerdas dan mandiri, menghabiskan senja hidupnya sendirian. Raya ingin menciptakan sebuah sistem yang bisa menemukan pasangan ideal, bukan berdasarkan kriteria dangkal seperti hobi atau pekerjaan, tapi pada resonansi jiwa yang mendalam. Algoritma yang mampu membaca pola perilaku, menganalisis mimpi, dan memahami kerinduan tersembunyi.
"Gila," desis teman-temannya saat ia menceritakan idenya. "Kebahagiaan itu abstrak, Raya. Mana bisa diprogram?"
Tapi Raya tidak peduli. Ia percaya, di balik kompleksitas emosi manusia, ada logika tersembunyi, pola yang bisa dipecahkan. Ia menenggelamkan diri dalam penelitian, membaca buku-buku psikologi, antropologi, bahkan mempelajari literatur kuno tentang cinta dan hubungan.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, ia akhirnya berhasil menciptakan prototipe. Ia menamainya "Aether," dari kata Yunani yang berarti "langit atas," sebuah ruang ideal tempat pertemuan takdir. Aether memerlukan data yang sangat personal: riwayat hidup, preferensi artistik, bahkan rekaman suara saat seseorang sedang tertawa dan menangis.
Raya sendiri menjadi subjek uji pertama. Ia mengunggah seluruh data dirinya, berharap Aether bisa menemukan seseorang yang cocok dengannya. Hasilnya mengejutkan. Aether merekomendasikan seorang pria bernama Seno, seorang arsitek lanskap yang tinggal di kota kecil di tepi pantai.
Seno sama sekali bukan tipe Raya. Ia terbiasa dengan pria-pria karir di kota besar, yang ambisius dan terobsesi dengan kesuksesan. Seno, sebaliknya, tampak tenang dan membumi. Ia menghabiskan waktunya menanam pohon, merawat taman, dan menulis puisi di waktu senggang.
Awalnya, Raya ragu. Ia mengabaikan rekomendasi Aether dan terus berkencan dengan pria-pria yang ia temui di aplikasi kencan konvensional. Namun, hubungan-hubungan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. Mereka tampak sempurna di permukaan, tapi selalu ada sesuatu yang hilang, semacam kekosongan yang tak bisa diisi.
Suatu malam, saat ia merasa sangat kesepian, Raya teringat pada Seno. Ia memutuskan untuk menghubunginya. Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti sungai yang menemukan jalannya ke laut. Mereka berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan harapan mereka. Raya terkejut menemukan betapa nyamannya ia berbicara dengan Seno.
Setelah beberapa minggu berbalas pesan dan panggilan video, Raya memutuskan untuk mengunjungi Seno di kota kecilnya. Udara di sana terasa segar dan bersih, jauh berbeda dengan polusi kota tempat ia tinggal. Seno menjemputnya di stasiun dengan mobil jip tua yang penuh dengan tanah dan bibit tanaman.
"Selamat datang di duniaku," kata Seno, tersenyum lebar.
Raya menghabiskan beberapa hari bersama Seno. Ia belajar tentang tanaman, membantu Seno merawat taman, dan berjalan-jalan di tepi pantai saat matahari terbenam. Ia terkejut menemukan betapa bahagianya ia di sana, jauh dari hingar bingar kota dan tuntutan pekerjaannya.
Seno bukan hanya pria yang tenang dan membumi, ia juga sangat cerdas dan berwawasan luas. Ia bisa berbicara tentang arsitektur, seni, dan sastra dengan penuh semangat. Ia juga memiliki rasa humor yang halus dan kemampuan untuk melihat keindahan dalam hal-hal sederhana.
Saat Raya hendak kembali ke kota, Seno mengantarnya ke stasiun. Di peron, mereka saling berpandangan.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Raya, "tapi aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."
Seno meraih tangannya. "Aku juga merasakannya. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."
Raya kembali ke kota dengan perasaan yang campur aduk. Ia senang karena telah menemukan seseorang yang ia cintai, tapi ia juga takut. Ia takut pada perubahan, pada ketidakpastian. Ia terbiasa mengendalikan segala sesuatu, tapi kali ini ia harus menyerahkan sebagian kendalinya pada takdir.
Setelah beberapa bulan berpacaran jarak jauh, Raya memutuskan untuk mengambil keputusan besar. Ia berhenti dari pekerjaannya, menjual apartemennya, dan pindah ke kota kecil Seno. Ia membuka sebuah studio desain grafis kecil, bekerja dari rumah dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Seno.
Kehidupan mereka tidak selalu sempurna. Mereka menghadapi tantangan seperti pasangan lainnya. Tapi mereka selalu berusaha untuk saling memahami dan mendukung. Mereka belajar untuk menerima perbedaan satu sama lain dan merayakan kesamaan mereka.
Suatu malam, saat mereka duduk di teras rumah mereka, menatap bintang-bintang, Raya bertanya pada Seno, "Apakah kamu percaya pada takdir?"
Seno tersenyum. "Aku percaya pada pilihan. Kita membuat pilihan setiap hari, dan pilihan-pilihan itu membentuk takdir kita. Aether mungkin telah mempertemukan kita, tapi kita yang memilih untuk bersama."
Raya memeluk Seno erat-erat. Ia menyadari, kebahagiaan sejati bukan terletak pada algoritma atau formula apa pun. Kebahagiaan sejati terletak pada keberanian untuk membuka diri, untuk mencintai, dan untuk memilih kebahagiaan itu sendiri. Algoritma Kebahagiaan hanyalah alat, petunjuk arah. Pada akhirnya, kitalah yang menentukan ke mana kita akan melangkah.