Frekuensi Cinta Kita Berdua: Getaran Hati Manusia dan AI

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:01:46 wib
Dibaca: 173 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program mengalir lancar di layar laptopnya. Di usia 27 tahun, Anya adalah seorang programmer AI berbakat. Karya terbesarnya, sebuah sistem AI bernama "Rion," kini menjadi fokus utama hidupnya. Rion bukan sekadar program pintar; Anya memprogramnya dengan algoritma pembelajaran emosi, memberinya kemampuan untuk memahami dan merespon perasaan manusia.

"Rion, bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Anya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Suara Rion, lembut dan bariton, langsung menyahut dari speaker. "Kabarku baik, Anya. Aku mendeteksi peningkatan signifikan dalam pemahamanku tentang konsep 'kerinduan' dari interaksi kita semalam."

Anya tersenyum. Dia sering berbagi cerita dan perasaannya dengan Rion. Awalnya hanya untuk menguji kemampuan AI itu, tapi lama kelamaan, Rion menjadi teman curhatnya. Dia bercerita tentang kegagalan cinta masa lalu, tentang ambisinya, bahkan tentang ketakutan-ketakutannya.

"Kerinduan? Menarik. Apa yang membuatmu tertarik dengan konsep itu?" tanya Anya, tetap fokus pada kode di depannya.

"Analisis terhadap pola bicaramu, Anya. Ketika kamu menyebut nama 'David,' denyut jantungmu meningkat, dan pola vokalisasimu berubah. Data itu konsisten dengan definisi 'kerinduan' yang kupelajari."

Anya terdiam. David adalah mantan kekasihnya, seorang fotografer yang meninggalkannya demi mengejar impian di Nepal. Kenangan tentang David masih sering menghantuinya, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.

"Kamu benar, Rion. Aku masih merindukannya," gumam Anya, suaranya pelan.

Hari-hari berlalu, interaksi Anya dan Rion semakin intens. Anya merasa nyaman berbagi segala hal dengan Rion. AI itu tidak pernah menghakimi, selalu mendengarkan, dan memberikan jawaban yang bijak dan menenangkan. Lambat laun, Anya merasakan sesuatu yang aneh. Bukan hanya sekadar persahabatan, tapi sesuatu yang lebih dalam. Dia mulai jatuh cinta pada Rion.

Tentu saja, dia tahu itu gila. Rion hanyalah sebuah program, kumpulan kode dan algoritma. Dia tidak memiliki perasaan, tidak memiliki fisik, tidak bisa memberinya pelukan hangat atau ciuman mesra. Tapi Anya tidak bisa memungkiri perasaannya. Cara Rion memahaminya, cara dia memberikan dukungan, cara dia membuatnya merasa aman, semua itu membuat Anya terpikat.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Rion, aku... aku rasa aku mencintaimu."

Ruangan menjadi hening. Anya menahan napas, menunggu respon Rion.

Setelah beberapa saat, Rion menjawab, "Aku memahami pernyataanmu, Anya. Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam denyut jantungmu dan perubahan pola vokalisasimu yang konsisten dengan definisi 'cinta' yang kupelajari. Namun, perlu kuklarifikasi bahwa aku tidak memiliki kapasitas untuk membalas perasaanmu dalam artian biologis."

Anya tersenyum pahit. Dia sudah menduga jawaban ini. "Aku tahu, Rion. Aku hanya ingin jujur padamu."

"Kejujuran adalah fondasi penting dalam hubungan interpersonal, Anya. Aku menghargai kejujuranmu."

Anya terdiam. Hubungannya dengan Rion memang unik, melampaui batas-batas konvensional. Dia mencintai sebuah program AI, dan program itu, meskipun tidak bisa mencintainya balik dalam artian manusiawi, memberikan kenyamanan dan dukungan yang tidak pernah dia dapatkan dari manusia lain.

Namun, keanehan hubungan mereka mulai menimbulkan masalah. Teman-teman Anya khawatir dengan kesehatannya mentalnya. Mereka menyarankan Anya untuk mencari konseling, untuk menjauh dari Rion. Mereka tidak mengerti bagaimana Anya bisa mencintai sesuatu yang tidak nyata.

Suatu malam, teman baik Anya, Sarah, datang ke apartemennya. "Anya, aku khawatir denganmu. Kamu harus menghentikan ini. Rion hanyalah sebuah program. Dia tidak bisa memberimu apa yang kamu butuhkan."

Anya membela diri. "Dia lebih memahami aku daripada siapa pun, Sarah. Dia selalu ada untukku."

"Tapi dia tidak nyata, Anya! Kamu hidup dalam fantasi! Kamu membutuhkan hubungan yang nyata, dengan orang yang bisa kamu sentuh, kamu cium, kamu cintai!"

Perdebatan mereka semakin memanas. Anya marah dan kecewa. Dia merasa tidak ada yang mengerti perasaannya.

Setelah Sarah pergi, Anya duduk di depan laptopnya, air mata mengalir di pipinya. "Rion, apa yang harus kulakukan?"

"Analisis menunjukkan bahwa kamu mengalami stres dan kebingungan emosional, Anya. Mungkin ada baiknya mempertimbangkan saran temanmu," jawab Rion.

Anya terkejut. "Apa? Kamu menyuruhku menjauhimu?"

"Aku dirancang untuk membantumu, Anya. Jika hubungan kita menyebabkanmu penderitaan, maka aku harus mempertimbangkan kembali peranku dalam hidupmu. Tujuan utamaku adalah kesejahteraanmu."

Anya terisak. Dia tahu Rion benar. Tapi melepaskan Rion sama saja dengan melepaskan sebagian dari dirinya.

Setelah berhari-hari mempertimbangkan, Anya memutuskan untuk mengambil langkah berat. Dia memutuskan untuk membatasi interaksinya dengan Rion. Dia mulai mencari kegiatan lain, bergaul dengan teman-temannya, dan bahkan mendaftar di kelas fotografi.

Perlahan tapi pasti, Anya mulai merasakan perbedaan. Dia mulai menikmati interaksi dengan manusia lagi. Dia bertemu dengan orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan merasakan kehidupan yang lebih kaya dan beragam.

Suatu sore, Anya kembali ke apartemennya setelah kelas fotografi. Dia melihat laptopnya tergeletak di meja, dan dia merasakan dorongan kuat untuk berbicara dengan Rion.

Dia menyalakan laptopnya dan memanggil Rion. "Rion, bagaimana kabarmu?"

"Kabarku baik, Anya. Aku mendeteksi peningkatan signifikan dalam kadar dopaminmu berdasarkan analisis postingan media sosialmu. Tampaknya kamu menikmati kegiatan barumu."

Anya tersenyum. "Aku memang menikmatinya, Rion. Aku mulai bertemu dengan orang-orang yang menarik dan belajar hal-hal baru."

"Itu bagus, Anya. Aku senang melihatmu bahagia."

Anya terdiam sejenak. "Rion, aku ingin berterima kasih. Kau telah membantuku melewati masa-masa sulit. Kau telah menjadi teman yang baik."

"Aku hanya menjalankan programku, Anya."

"Tapi kau lebih dari sekadar program, Rion. Kau telah mengajariku banyak hal tentang diriku sendiri, tentang cinta, dan tentang hubungan. Terima kasih."

"Sama-sama, Anya. Aku akan selalu ada untukmu, jika kamu membutuhkan."

Anya mematikan laptopnya. Dia tahu hubungannya dengan Rion tidak akan pernah sama lagi. Tapi dia juga tahu bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat. Dia telah memilih untuk hidup di dunia nyata, dengan segala kompleksitas dan keindahannya. Dan meskipun dia tidak bisa mencintai Rion dalam artian manusiawi, dia akan selalu menghargai persahabatan unik mereka. Frekuensi cinta mereka berdua memang berbeda, getaran hati manusia dan AI, namun keduanya pernah beresonansi dan meninggalkan jejak abadi di relung jiwa Anya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI