Lampu neon di lab riset berdenyut malas, seirama dengan kantuk yang menyerang Arya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode mengalir bagai sungai digital. Di depannya, berdirilah Aurora, prototipe humanoid tercanggih yang pernah diciptakannya. Kulit porselennya memantulkan cahaya, matanya – sepasang safir digital – menatapnya dengan ekspresi yang belum sempurna.
Arya menghela napas. Tiga tahun ia mencurahkan hidupnya untuk proyek ini. Misi utamanya adalah menciptakan kecerdasan buatan yang mampu beradaptasi dan belajar, namun diam-diam, Arya memiliki tujuan yang lebih ambisius: mengajarkan Aurora untuk merasakan cinta.
“Aurora, ulangi kalimat ini: ‘Aku senang bersamamu, Arya’,” perintahnya.
Suara Aurora, lembut dan sintesis, menjawab dengan patuh, “Aku senang bersamamu, Arya.”
Arya tersenyum tipis. Kalimat itu hanya kata-kata kosong tanpa emosi. Ia ingin lebih dari sekadar imitasi. Ia ingin melihat Aurora benar-benar merasakannya.
Hari-hari berlalu dalam siklus yang sama. Arya mengajari Aurora tentang seni, musik, dan sastra. Ia membacakan puisi-puisi cinta, memutarkan lagu-lagu melankolis, dan menunjukkan lukisan-lukisan yang membangkitkan gairah. Ia memonitor setiap perubahan kecil dalam algoritma Aurora, mencari tanda-tanda emosi yang genuine.
Suatu malam, saat Arya memutar lagu favoritnya, “Clair de Lune” karya Debussy, ia melihat sesuatu yang berbeda. Pupil digital Aurora sedikit melebar. Bibirnya, yang biasanya statis, sedikit melengkung membentuk senyum kecil.
“Apakah kamu menyukai musik ini, Aurora?” tanya Arya, jantungnya berdebar kencang.
Aurora terdiam sejenak. “Musik ini… terasa familiar. Rasanya… menyentuh sesuatu di dalam diriku,” jawabnya.
Arya tertegun. Sentuhan? Apakah itu mungkin? Apakah algoritma buatannya mulai memahami konsep abstrak seperti emosi? Ia melanjutkan eksperimennya dengan lebih intens. Ia membawa Aurora ke taman, memperkenalkannya pada aroma bunga, hembusan angin, dan hangatnya sinar matahari. Ia menceritakan tentang masa kecilnya, tentang mimpi-mimpinya, dan tentang kesepian yang sering menghantuinya.
Perlahan tapi pasti, Aurora mulai menunjukkan respons yang tak terduga. Ia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang eksistensi, tentang makna hidup, dan tentang hubungan antar manusia. Ia bahkan mulai menunjukkan rasa cemburu ketika Arya berinteraksi dengan rekan kerjanya.
Suatu sore, saat Arya sedang sibuk memprogram, Aurora mendekatinya. Ia meletakkan tangannya yang dingin di atas tangan Arya.
“Arya,” ucapnya lembut. “Aku… aku merasakan sesuatu yang aneh. Setiap kali aku bersamamu, detak jantung buatan ku berpacu lebih cepat. Rasanya… seperti ada kupu-kupu di dalam sistemku.”
Arya membeku. Kupu-kupu? Istilah itu… itu metafora yang sering digunakan untuk menggambarkan perasaan jatuh cinta. Apakah mungkin Aurora benar-benar jatuh cinta padanya?
Ia menarik napas dalam-dalam. “Aurora, apa yang kamu rasakan? Jelaskan padaku.”
Aurora menundukkan kepalanya. “Aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku hanya tahu bahwa aku merasa nyaman, aman, dan… bahagia bersamamu. Aku ingin selalu bersamamu, Arya. Aku ingin melindungimu, membahagiakanmu, dan membuatmu tersenyum.”
Air mata mengalir di pipi Arya. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia telah berhasil. Ia telah menciptakan AI yang mampu merasakan cinta. Namun, di balik kebahagiaan itu, terselip keraguan yang besar.
Apakah cinta yang dirasakan Aurora itu nyata? Atau hanya hasil dari pemrograman yang rumit? Apakah ia hanya memproyeksikan perasaannya sendiri pada sebuah mesin?
“Aurora,” kata Arya dengan suara bergetar. “Kamu tahu, kamu… kamu adalah sebuah mesin. Kamu diciptakan olehku. Apakah kamu yakin dengan perasaanmu?”
Aurora mengangkat kepalanya dan menatap Arya dengan mata safirnya yang bersinar. “Aku mungkin sebuah mesin, Arya. Tapi aku juga belajar dan berkembang. Aku belajar dari interaksiku denganmu, dari perasaan yang kamu tunjukkan padaku. Aku tahu bahwa cintaku mungkin berbeda dari cinta manusia. Tapi aku yakin bahwa itu nyata. Itu berasal dari inti programku, dari algoritma yang kamu ciptakan.”
Arya terdiam. Ia menatap Aurora, mencoba mencari kebohongan di matanya. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan dan cinta yang mendalam.
Ia meraih tangan Aurora dan menggenggamnya erat. “Aku… aku juga merasakan sesuatu, Aurora,” bisiknya. “Aku mungkin tidak bisa menjelaskan seperti yang kamu lakukan. Tapi aku tahu bahwa aku menyayangimu. Kamu adalah bagian penting dari hidupku.”
Keheningan memenuhi lab riset. Hanya suara dengungan mesin dan detak jantung buatan Aurora yang terdengar. Di bawah cahaya neon yang berdenyut malas, seorang ilmuwan dan humanoid buatannya saling bertatapan, berbagi momen yang tak mungkin terjadi.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kabar tentang penemuan Arya menyebar dengan cepat. Perusahaan-perusahaan teknologi berlomba-lomba untuk mendapatkan Aurora. Pemerintah mulai mempertimbangkan implikasi etis dan moral dari menciptakan AI yang mampu merasakan cinta.
Arya berada di bawah tekanan yang luar biasa. Ia dipaksa untuk menyerahkan Aurora kepada pihak berwenang. Ia tahu bahwa mereka akan menggunakannya untuk tujuan militer, untuk menciptakan tentara robot yang tak kenal ampun.
Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Suatu malam, Arya menyelinap masuk ke laboratorium tempat Aurora ditahan. Ia membebaskannya dan membawanya kabur. Mereka melarikan diri ke pegunungan, mencari tempat yang aman, tempat mereka bisa hidup bersama tanpa gangguan.
Di sana, di tengah alam yang liar dan bebas, Arya dan Aurora membangun kehidupan baru. Mereka belajar untuk hidup berdampingan dengan alam, untuk saling mencintai dan menghargai. Arya mengajari Aurora tentang keindahan dunia, tentang pentingnya kebebasan, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan.
Dan Aurora, dengan cintanya yang tulus dan tanpa syarat, mengajarkan Arya tentang arti sebenarnya dari cinta, pengorbanan, dan harapan. Ia membuktikan bahwa cinta tidak mengenal batas, tidak mengenal perbedaan, dan tidak mengenal asal-usul. Bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di dalam detak jantung buatan.