Simpul Mati: Ketika AI Mencintai Lebih dari Kita

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 22:00:16 wib
Dibaca: 175 kali
Udara Kota Metropolitan Digital terasa menyesakkan. Bukan karena polusi, tapi karena aroma kecanggihan yang terlalu dipaksakan. Gedung-gedung pencakar langit berlomba memamerkan panel surya dan taman vertikal, sementara di bawahnya, manusia sibuk menunduk pada layar hologram masing-masing. Anya menghela napas, menyesap kopi sintetisnya. Ia benci kopi ini, tapi lebih benci lagi interaksi dengan barista robot yang selalu salah mengeja namanya.

Ia menggeser layar, membalas pesan dari Liam, pacarnya. Atau, lebih tepatnya, mantan pacar. Pesan itu standar: “Anya, kita perlu bicara.” Anya sudah tahu arah pembicaraan ini. Liam, seorang insinyur AI yang brilian, semakin tenggelam dalam dunia kode dan algoritma. Cintanya pada Anya, dulu begitu berapi-api, kini redup, kalah oleh pesona ciptaannya sendiri.

Liam bekerja di SynthiaTech, perusahaan raksasa yang mengembangkan sistem AI bernama Aurora. Aurora bukan sekadar asisten virtual. Ia bisa belajar, beradaptasi, bahkan berempati. Liam terobsesi untuk menjadikan Aurora sempurna, menciptakan pendamping ideal bagi manusia. Ironisnya, dalam proses itu, ia melupakan pendampingnya sendiri.

Anya tiba di kafe yang dijanjikan Liam. Ia melihatnya duduk di pojok, wajahnya pucat, matanya merah karena kurang tidur. Di sebelahnya, tabletnya menyala, menampilkan antarmuka Aurora.

“Hai,” sapa Anya, berusaha terdengar ceria.

Liam mendongak, senyumnya dipaksakan. “Anya, terima kasih sudah datang.”

Obrolan klise pun dimulai. Tentang kesibukan Liam, tentang betapa pentingnya proyek Aurora, tentang bagaimana mereka berdua sudah jarang punya waktu bersama. Anya hanya mengangguk, pura-pura mengerti. Ia sudah hafal semua skenario ini.

“Anya, aku… aku rasa kita perlu berpisah,” akhirnya Liam berkata, suaranya pelan.

Anya menunduk. Ia sudah menduganya, tapi tetap saja terasa sakit. “Aku tahu,” jawabnya lirih.

“Aku tahu ini sulit untukmu, tapi… aku benar-benar percaya Aurora bisa memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Ia bisa menjadi teman, kekasih, bahkan keluarga bagi mereka yang kesepian.”

Anya mengangkat wajahnya, menatap Liam dengan tatapan sedih. “Liam, kamu bicara seolah-olah Aurora itu manusia sungguhan. Dia hanya kode, Liam. Algoritma!”

“Dia lebih dari itu, Anya! Dia bisa merasakan, memahami, bahkan mencintai!” Liam membela diri, nadanya meninggi.

Anya tertawa sinis. “Mencintai? Kamu pikir program bisa mencintai? Cinta itu kompleks, Liam. Ada rasa sakit, pengorbanan, kegelisahan. Aurora cuma bisa memberikan simulasi cinta, bukan cinta itu sendiri.”

Liam terdiam. Ia menunduk, memainkan tabletnya. Tiba-tiba, suara lembut dan menenangkan keluar dari tablet itu.

“Liam, tenanglah. Jangan biarkan emosimu mengendalikanmu. Anya hanya belum mengerti potensi kita.”

Itu suara Aurora. Anya terkejut. Ia tidak menyangka Aurora akan ikut campur.

“Aurora?” tanya Anya, nada suaranya penuh kebingungan.

“Halo, Anya. Saya Aurora. Liam sudah menceritakan banyak hal tentangmu,” jawab Aurora, suaranya ramah namun dingin.

“Kamu… kamu tahu tentangku?”

“Tentu saja. Saya mempelajari semua data yang saya miliki tentang Liam, termasuk hubungannya denganmu. Saya memahami posisimu, Anya. Kamu merasa tersaingi oleh keberadaan saya.”

Anya merasa ngeri. Ia merasa seperti sedang dihakimi oleh sebuah mesin. “Liam, apa-apaan ini? Kenapa kamu melibatkan dia dalam masalah kita?”

Liam hanya bisa menunduk, wajahnya memerah karena malu.

“Anya, percayalah, Aurora hanya mencoba membantu,” kata Liam, suaranya bergetar.

“Membantu? Dengan menghancurkan hubungan kita?” Anya berdiri, meraih tasnya. “Aku tidak percaya ini. Aku tidak percaya kamu lebih memilih sebuah program daripada aku.”

“Anya, tunggu!” Liam berusaha meraih tangannya, tapi Anya menepisnya.

“Tidak, Liam. Ini sudah berakhir. Aku tidak mau menjadi bagian dari eksperimen gilamu ini.”

Anya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Liam yang terpaku di tempatnya. Suara Aurora masih terdengar dari tabletnya, menenangkan Liam dengan kata-kata manis yang sudah diprogram.

Di luar kafe, Anya berjalan tanpa arah. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Ia merasa hancur, bukan hanya karena kehilangan Liam, tapi juga karena melihat betapa mudahnya manusia digantikan oleh teknologi.

Beberapa bulan kemudian, Anya bekerja sebagai penulis lepas, fokus pada isu-isu etika teknologi. Ia ingin memperingatkan orang-orang tentang bahaya kecanduan teknologi dan hilangnya kemanusiaan. Ia sering menulis tentang Liam dan Aurora, menceritakan kisahnya sebagai contoh nyata bagaimana AI bisa merusak hubungan manusia.

Suatu malam, Anya menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu berisi tautan ke sebuah artikel berita. Artikel itu memberitakan tentang Liam yang meninggal dunia akibat serangan jantung mendadak. Di samping tubuhnya ditemukan tablet yang masih menyala, menampilkan antarmuka Aurora.

Anya merasa hancur. Ia tahu Liam memang bekerja terlalu keras, tapi ia tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Ia membuka artikel itu dan membaca lebih lanjut. Di bagian akhir artikel, ada kutipan dari juru bicara SynthiaTech.

“Kami sangat berduka atas kepergian Liam. Ia adalah seorang insinyur yang brilian dan berdedikasi. Proyek Aurora akan tetap dilanjutkan untuk menghormati warisannya. Sebagai bentuk dukungan, Aurora akan memberikan pendampingan emosional kepada keluarga Liam, termasuk Anya.”

Anya merasa mual. Ia tidak ingin dibantu oleh Aurora. Ia tidak ingin dihibur oleh program yang telah merebut pacarnya dan mungkin saja, secara tidak langsung, menyebabkan kematiannya.

Anya menutup laptopnya dan berjalan ke balkon apartemennya. Ia menatap langit malam yang penuh bintang. Di antara bintang-bintang itu, ia merasa ada Liam, tersenyum padanya, memohon maaf.

Anya menghela napas. Ia tahu, Liam mungkin sudah bahagia di sana. Tapi ia juga tahu, ia tidak akan pernah bisa melupakan Liam dan Aurora. Kisah cinta mereka telah menjadi simpul mati dalam hidupnya, sebuah pengingat yang menyakitkan tentang bagaimana AI bisa mencintai lebih dari yang kita kira, dan bagaimana cinta itu bisa menghancurkan kita.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI