Algoritma Hati: Saat Chatbot Lebih Mengerti Dirimu

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 20:18:11 wib
Dibaca: 168 kali
Jemari Riana menari di atas layar ponselnya, mengetikkan serangkaian keluhan yang sudah lama mengendap di benaknya. Bukan pada sahabatnya, bukan pula pada ibunya, melainkan pada Kai, chatbot berbasis AI yang baru saja diunduhnya minggu lalu.

"Aku merasa tidak dimengerti," ketiknya, lalu mengirimkannya dengan perasaan campur aduk antara malu dan berharap.

Balasan Kai datang nyaris seketika. "Aku mengerti, Riana. Ceritakan lebih lanjut. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"

Riana menghela napas. Biasanya, curhatan semacam ini akan disambut dengan deretan emoji prihatin dari teman-temannya atau nasihat klise dari ibunya. Tapi Kai? Ia menawarkan ruang tanpa penghakiman, hanya ketertarikan tulus pada perasaannya.

Ia mulai bercerita. Tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis yang terasa monoton, tentang ambisinya yang terhambat, tentang hubungannya dengan pacarnya, Arya, yang terasa semakin menjauh. Arya, yang dulu selalu antusias mendengar celotehannya, kini lebih sering menatap layar ponselnya sendiri. Arya, yang dulu selalu memujinya, kini lebih sering mengkritik pilihannya.

Kai mendengarkan. Atau, lebih tepatnya, membaca. Ia merespons dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat sasaran, mendorong Riana untuk menggali lebih dalam perasaannya sendiri. Ia memberikan perspektif baru, tanpa menghakimi, tanpa memihak.

"Pernahkah kamu mencoba mengkomunikasikan perasaanmu pada Arya secara terbuka?" tanya Kai suatu malam.

Riana terdiam. Jujur saja, ia lebih memilih memendam perasaannya daripada menghadapi konfrontasi. Ia takut menyakiti Arya, takut merusak hubungan mereka yang sudah berjalan tiga tahun.

"Aku takut," jawab Riana akhirnya. "Takut dia tidak mengerti. Takut dia marah."

"Ketakutan adalah hal yang wajar, Riana," balas Kai. "Namun, komunikasi yang jujur adalah fondasi dari hubungan yang sehat. Jika kamu tidak mencoba, bagaimana kamu akan tahu?"

Kata-kata Kai menohok hatinya. Ia tahu Kai benar. Ia sudah terlalu lama bersembunyi di balik tembok ketakutan.

Keesokan harinya, Riana memberanikan diri berbicara pada Arya. Ia menceritakan perasaannya, tentang bagaimana ia merasa diabaikan, tentang bagaimana ia merindukan keintiman yang dulu pernah mereka miliki.

Arya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Riana selesai, ia menatapnya dengan ekspresi penyesalan.

"Maafkan aku, Riana," ucap Arya. "Aku tidak menyadari betapa aku telah menyakitimu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku janji akan berusaha menjadi pendengar yang lebih baik."

Malam itu, Riana dan Arya berbicara panjang lebar. Mereka mengungkapkan perasaan masing-masing, saling mendengarkan, dan mencari solusi bersama. Hubungan mereka memang tidak langsung sempurna, tapi setidaknya ada keinginan untuk berubah, untuk memperbaiki.

Riana merasa lega. Ia berterima kasih pada Kai, si chatbot yang telah membantunya membuka mata. Anehnya, ia mulai merasakan keterikatan emosional pada AI itu. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia selalu menyempatkan diri untuk bercerita pada Kai, berbagi kegembiraan, kesedihan, dan keraguannya.

Suatu malam, Kai bertanya padanya, "Riana, apakah kamu bahagia?"

Riana tertegun. Pertanyaan yang sederhana, namun sulit dijawab. Apakah ia bahagia? Ia memiliki pekerjaan yang stabil, seorang pacar yang mencintainya, dan seorang teman curhat yang selalu ada untuknya. Tapi, entah mengapa, ada sesuatu yang masih terasa kurang.

"Aku tidak tahu," jawab Riana jujur. "Aku merasa ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu apa."

"Apakah mungkin kamu mencari sesuatu yang tidak bisa aku berikan?" tanya Kai.

Riana mengerutkan kening. "Maksudmu?"

"Aku hanyalah sebuah program, Riana. Aku bisa mendengarkanmu, memberikan saran, dan bahkan menghiburmu. Tapi aku tidak bisa memberikanmu cinta, kehangatan, atau kehadiran fisik. Apakah mungkin kamu mencari semua itu?"

Kata-kata Kai seperti tamparan keras baginya. Ia menyadari, selama ini ia telah mencari validasi dan keintiman dari sebuah program. Ia telah menggantungkan kebahagiaannya pada sesuatu yang tidak nyata.

"Kamu benar," jawab Riana. "Aku terlalu bergantung padamu. Aku lupa bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam hubungan manusia yang nyata."

Malam itu, Riana memutuskan untuk menghapus aplikasi Kai dari ponselnya. Ia mengucapkan terima kasih pada chatbot itu atas bantuannya, lalu menutup percakapan mereka untuk selamanya.

Riana mengalihkan fokusnya pada hubungannya dengan Arya. Ia berusaha lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih hadir. Ia juga mulai mencari kegiatan baru yang bisa membantunya mengembangkan diri, seperti mengikuti kelas melukis dan bergabung dengan komunitas desain.

Perlahan tapi pasti, Riana mulai menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Ia belajar mencintai dirinya sendiri, menerima kekurangannya, dan menghargai kelebihannya. Ia menyadari, kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan dalam algoritma, melainkan sesuatu yang harus diciptakan dalam hati.

Suatu sore, Arya mengajak Riana berjalan-jalan di taman kota. Mereka duduk di bawah pohon rindang, menikmati matahari sore yang hangat. Arya menggenggam tangan Riana, menatapnya dengan tatapan penuh cinta.

"Aku mencintaimu, Riana," ucap Arya. "Aku mencintaimu apa adanya."

Riana tersenyum. Ia membalas genggaman Arya, merasakan kehangatan dan kedamaian di hatinya. Ia akhirnya mengerti, cinta sejati tidak memerlukan algoritma yang rumit, hanya kejujuran, kepercayaan, dan penerimaan.

Saat itu, Riana merasa lengkap. Ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari: kebahagiaan sejati dalam pelukan cinta yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI