Terjebak Algoritma: Cinta, Kebencian, dan Jaringan Neural

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:25:43 wib
Dibaca: 167 kali
Hujan malam itu seperti melukiskan kesedihan di jendela apartemenku. Di balik pantulan wajahku yang sendu, layar laptop menyala, menampilkan deretan kode yang tak berujung. Aku, Aria, seorang data scientist yang menghabiskan hari-hariku di antara jaringan neural dan algoritma kompleks, ironisnya, justru terjebak dalam algoritma cinta dan kebencian yang jauh lebih rumit.

Semua bermula dari proyek "Soulmate AI", sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data kepribadian, minat, dan bahkan ekspresi wajah. Aku adalah salah satu otak di baliknya, bekerja bersama tim yang brilian, termasuk seorang pria bernama Elio. Elio, dengan senyumnya yang menawan dan kecerdasannya yang memukau, dengan cepat menarik perhatianku.

Algoritma yang kami rancang bekerja dengan sempurna. Soulmate AI berhasil menciptakan ribuan pasangan bahagia. Namun, ironisnya, antara aku dan Elio, algoritma itu gagal total. Aplikasi itu selalu menempatkan kami sebagai pasangan yang tidak cocok, dengan persentase kecocokan di bawah 50%. Awalnya, kami menertawakannya, menganggapnya sebagai kesalahan sistem. Tapi, lama kelamaan, aku mulai meragukan keajaiban yang kubuat sendiri.

Ketertarikanku pada Elio semakin besar. Setiap diskusi tentang proyek, setiap obrolan santai di ruang makan kantor, membuatku merasa semakin dekat dengannya. Kami berbagi mimpi, kekhawatiran, dan bahkan selera humor yang sama. Namun, di balik semua itu, bayang-bayang algoritma terus menghantuiku. Apakah perasaanku ini nyata, atau hanya efek samping dari terlalu sering berinteraksi dengan seseorang yang cerdas dan menarik?

Suatu malam, setelah lembur merapikan bug di sistem, Elio mengantarku pulang. Di depan pintu apartemenku, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Jantungku berdegup kencang. Aku tahu, momen ini akan menentukan segalanya.

"Aria," ucapnya lembut, "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, mengingat apa yang kita kerjakan, tapi... aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."

Pengakuan itu seperti petir di siang bolong. Aku ingin membalasnya dengan perasaan yang sama, tapi keraguan menggerogoti diriku. "Elio, aku... aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, bagaimana dengan Soulmate AI? Algoritma itu selalu mengatakan kita tidak cocok."

Elio tersenyum pahit. "Aria, algoritma hanyalah alat. Ia diciptakan untuk membantu, bukan untuk mendikte. Perasaan kita, koneksi yang kita rasakan, itu jauh lebih berharga daripada angka-angka statistik."

Kata-katanya menenangkan hatiku. Aku memberanikan diri untuk mendekat, dan bibir kami bertemu dalam ciuman pertama yang lembut. Malam itu, aku merasa algoritma telah dikalahkan oleh kekuatan cinta yang sesungguhnya.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.

Beberapa bulan kemudian, Soulmate AI mengalami masalah serius. Tingkat keberhasilan pasangan yang dibentuk oleh aplikasi itu menurun drastis. Banyak pengguna yang mengeluh tentang ketidakcocokan, pertengkaran, dan bahkan perpisahan. Perusahaan kami dilanda krisis.

Sebagai data scientist utama, aku ditugaskan untuk menyelidiki penyebab masalah ini. Setelah berhari-hari menganalisis data, aku menemukan sesuatu yang mengerikan. Seseorang telah memanipulasi algoritma, memasukkan bias yang merusak akurasi prediksi.

Investigasiku mengarah pada satu nama: Elio.

Awalnya, aku tidak percaya. Elio, pria yang kucintai, pria yang mengatakan algoritma tidak bisa mendikte perasaan, ternyata justru mengkhianati kepercayaan kami semua. Aku mengkonfrontasinya, dan dia mengakui perbuatannya.

"Aku melakukannya untukmu, Aria," katanya dengan nada putus asa. "Aku melihat betapa kau meragukan perasaanku karena algoritma itu. Aku ingin membuktikan bahwa cinta tidak bisa diukur dengan angka-angka. Aku ingin algoritma itu mengakui kita cocok."

Aku terkejut dan marah. Tindakannya, meskipun didorong oleh cinta, telah menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Dia telah mengkhianati kepercayaan pengguna, merusak reputasi perusahaan, dan yang terpenting, menghancurkan kepercayaanku padanya.

"Kau tidak bisa memanipulasi cinta, Elio," kataku dengan suara bergetar. "Kau tidak bisa memaksakan algoritma untuk mengatakan apa yang ingin kau dengar. Cinta itu harus tumbuh secara alami, tanpa paksaan, tanpa kebohongan."

Elio dipecat dari perusahaan. Aku merasa hancur dan dikhianati. Algoritma yang kubuat, yang awalnya kuanggap sebagai alat untuk menemukan cinta, justru menjadi penyebab kehancuranku.

Aku memutuskan untuk meninggalkan proyek Soulmate AI. Aku ingin menjauh dari dunia algoritma dan fokus pada hal-hal yang lebih manusiawi. Aku mengambil cuti panjang dan berkeliling dunia, mencari makna baru dalam hidupku.

Di sebuah desa terpencil di Nepal, aku bertemu dengan seorang biksu tua yang bijaksana. Aku menceritakan semua yang kualami, tentang cinta, kebencian, dan jaringan neural yang telah menghantuiku.

Biksu itu tersenyum dan berkata, "Algoritma hanyalah cerminan dari diri kita sendiri. Ia mencerminkan harapan, ketakutan, dan bias kita. Cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma, tetapi dalam hati kita sendiri. Belajarlah untuk mempercayai intuisimu, untuk mendengarkan hatimu, dan jangan biarkan algoritma mendikte hidupmu."

Kata-kata biksu itu menyentuh hatiku. Aku mulai merenungkan semua yang telah terjadi. Aku menyadari bahwa aku telah terlalu bergantung pada algoritma, sehingga lupa untuk mempercayai perasaanku sendiri. Aku telah membiarkan algoritma mendikte hidupku, dan akibatnya, aku kehilangan cinta dan kepercayaan.

Setelah kembali dari Nepal, aku memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada literasi digital dan etika AI. Aku ingin membantu orang lain memahami kekuatan dan bahaya teknologi, dan bagaimana menggunakannya secara bijak dan bertanggung jawab.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan cinta lagi. Tapi, satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah lagi membiarkan algoritma mendikte hatiku. Aku telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam kode, tetapi dalam keberanian untuk mempercayai diri sendiri. Aku telah keluar dari jebakan algoritma, dan kini aku bebas untuk menulis ceritaku sendiri. Hujan di luar masih turun, tapi kali ini, aku tidak lagi merasa sedih. Aku merasa damai dan penuh harapan. Masa depan masih belum pasti, tapi aku siap menghadapinya, dengan hati terbuka dan pikiran jernih.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI