Jemari Riana menari di atas keyboard virtual. Di layar apartemen mininya, kode-kode program berkelebat, membentuk rangkaian algoritma yang rumit namun indah. Di usianya yang ke-27, Riana dikenal sebagai salah satu data scientist paling menjanjikan di startup "Kasih.AI," sebuah perusahaan yang menciptakan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan. Ironis, pikirnya, menciptakan algoritma cinta sementara dirinya sendiri terperangkap dalam labirin kenangan.
Lima tahun lalu, hatinya hancur berkeping-keping saat Arya, kekasihnya sejak SMA, memutuskan hubungan mereka. Arya, seorang fotografer idealis, memilih mengejar mimpinya berkeliling dunia, mengabadikan keindahan yang tak bisa diukur dengan angka. Sementara Riana, dengan logikanya yang presisi, memilih tinggal di Jakarta, membangun karier di bidang yang dia kuasai. Mereka berbeda. Arya adalah analog, Riana adalah digital.
Kini, aroma kopi memenuhi ruang apartemennya yang minimalis. Di layar dashboard Kasih.AI, grafik menunjukkan lonjakan penggunaan aplikasi. Banyak orang mencari cinta, atau setidaknya ilusi cinta, melalui algoritma. Riana menarik napas dalam-dalam. Apakah cinta bisa direduksi menjadi data? Apakah algoritma benar-benar bisa menemukan pasangan yang cocok? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuinya.
Ponselnya berdering. Nama "Ibu" muncul di layar. Riana menggeser ikon hijau.
"Halo, Ibu?"
"Riana, apa kabarmu, Nak? Ibu dengar kamu semakin sukses di perusahaan itu. Kapan kamu pulang kampung?" suara ibunya terdengar lembut, namun terselip nada kerinduan.
"Baik, Bu. Riana sibuk sekali sekarang. Mungkin bulan depan Riana bisa pulang." Riana mengusap matanya. Pulang kampung berarti bertemu dengan bayangan Arya. Mereka tinggal di desa yang sama, desa yang menyimpan begitu banyak kenangan manis.
"Arya sudah pulang, Nak. Sudah lama. Dia membuka galeri foto di dekat pasar. Hasil fotonya indah sekali."
Jantung Riana berdegup kencang. Arya pulang? Membuka galeri? Informasi itu membuatnya terpaku. Selama ini, dia berusaha keras menghapus Arya dari benaknya, memfokuskan diri pada pekerjaan, menciptakan algoritma yang seharusnya menggantikan cinta yang hilang. Tapi, sepertinya, usahanya sia-sia.
Setelah menutup telepon, Riana membuka aplikasi Kasih.AI. Dia iseng mengetik nama Arya di kolom pencarian. Sistem kemudian menampilkan profil seorang pria dengan foto pemandangan senja di sebuah pantai. Profesi: Fotografer. Usia: Sama dengan Arya. Minat: Seni, traveling, kopi. Algoritma mencocokkan mereka dengan skor kompatibilitas 92%.
Riana tertegun. 92%? Angka yang fantastis. Bahkan dia sendiri tidak pernah mendapatkan skor setinggi itu di aplikasi buatannya sendiri. Tapi, angka itu terasa hambar. Dia tahu betul, cinta bukan sekadar angka. Cinta adalah perasaan, intuisi, dan pengalaman yang tak bisa diukur.
Malam itu, Riana tidak bisa tidur. Bayangan Arya terus menghantuinya. Dia memutuskan untuk keluar, mencari udara segar. Di tengah malam, jalanan Jakarta terasa sepi dan asing. Ia memesan taksi online dan tanpa sadar menyebutkan alamat yang familiar: Desa Kelapa Gading, kampung halamannya.
Perjalanan terasa panjang dan berliku. Riana memandang keluar jendela, menyaksikan perubahan lanskap dari gedung-gedung pencakar langit menjadi hamparan sawah yang menghijau. Saat taksi berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan plang bertuliskan "Galeri Senja Arya," Riana menarik napas dalam-dalam.
Ia keluar dari taksi dan berjalan perlahan menuju galeri. Lampu di dalam galeri masih menyala. Riana memberanikan diri membuka pintu. Di dalam, Arya sedang duduk di depan komputernya, mengedit foto.
Arya mendongak. Matanya membulat saat melihat Riana. "Riana?"
"Arya..."
Keheningan memenuhi ruangan. Mereka saling pandang, terdiam membisu. Lima tahun telah berlalu, namun tatapan mata mereka masih sama.
"Kamu... membuka galeri di sini?" Riana akhirnya memecah keheningan.
"Iya. Aku ingin kembali ke tempat di mana aku merasa damai. Tempat di mana aku bisa mengabadikan keindahan yang sesungguhnya." Arya berdiri dan mendekat ke arah Riana. "Aku merindukanmu, Riana."
Riana terdiam. Kata-kata Arya membuatnya kehilangan kata-kata.
"Aku tahu aku salah. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi, aku tidak pernah bisa melupakanmu." Arya meraih tangan Riana. Sentuhan tangannya masih terasa sama seperti dulu.
Riana memejamkan mata. Kenangan masa lalu menyerbu benaknya. Cinta pertama, ciuman pertama, janji-janji yang terucap di bawah langit senja.
"Algoritma mencocokkan kita dengan skor 92%," kata Riana pelan.
Arya tersenyum. "Algoritma mungkin bisa menemukan kesamaan minat dan hobi, tapi algoritma tidak bisa menciptakan kenangan. Kenangan kitalah yang membuat kita kembali."
Riana membuka matanya. Ia menatap Arya lekat-lekat. Di mata Arya, ia melihat ketulusan dan penyesalan. Ia melihat cinta yang belum sepenuhnya padam.
Riana melepaskan tangannya dari genggaman Arya. "Aku tidak tahu, Arya. Aku terlalu lama berkutat dengan algoritma. Aku lupa bagaimana rasanya mencintai dengan hati."
Arya mengangguk. "Aku mengerti. Tapi, aku tidak akan menyerah. Aku akan berusaha membuktikan bahwa cinta kita lebih kuat dari algoritma apa pun."
Arya menunjukkan foto-foto hasil karyanya. Pemandangan indah dari berbagai belahan dunia. Potret wajah orang-orang yang penuh cerita. Dan di antara foto-foto itu, ada beberapa foto Riana. Foto-foto yang diambil Arya saat mereka masih bersama.
Melihat foto-foto itu, Riana merasakan sesuatu bergejolak di dalam hatinya. Nostalgia menyerbu benaknya. Ia teringat akan masa lalu yang indah, masa lalu yang hampir ia lupakan.
"Aku akan memberimu waktu, Riana. Aku akan menunggu sampai kamu siap." Arya berkata dengan lembut.
Riana tersenyum. "Terima kasih, Arya."
Riana meninggalkan galeri dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia masih ragu. Ia takut terluka lagi. Di sisi lain, ia merasakan harapan. Harapan akan cinta yang mungkin bisa bersemi kembali.
Saat taksi online membawanya kembali ke Jakarta, Riana menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia menyadari bahwa cinta memang bukan sekadar algoritma. Cinta adalah misteri. Cinta adalah kejutan. Dan kadang-kadang, cinta bisa ditemukan kembali di tempat yang paling tidak terduga. Mungkin, pikirnya, ada kalanya kita harus membiarkan hati kita memimpin, bukan hanya logika. Mungkin, algoritma bisa membantunya menemukan seseorang yang cocok, tapi hanya hatinya yang bisa memutuskan siapa yang benar-benar dicintai. Dan mungkin, cinta sejatinya memang ada di masa lalu, menunggu untuk dihidupkan kembali. Terjebak nostalgia, mungkinkah terhapus AI? Jawabannya, untuk saat ini, masih tergantung pada hatinya sendiri.