Deretan kode itu menari-nari di layar laptop Beta. Algoritma kencan daring miliknya, 'Hati Beta', seharusnya menjadi revolusi. Bukan sekadar mencocokkan minat dan hobi, tapi juga menganalisis pola bicara, pilihan kata, bahkan ekspresi wajah dari foto profil. Tujuannya? Menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional. Beta yakin, cinta di era digital ini bisa dihitung, diprediksi, bahkan diciptakan.
Ia mengusap keringat di dahinya. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Berbulan-bulan ia habiskan untuk menyempurnakan kode itu, menguji coba dengan data ribuan pengguna, dan memastikan akurasinya. Sekarang, tiba saatnya untuk menguji 'Hati Beta' pada dirinya sendiri.
Beta mengunggah datanya: preferensi musik, buku favorit, cita-cita, trauma masa lalu, bahkan detail terkecil tentang mimpi-mimpinya. Algoritma itu bekerja, mengolah data, dan menampilkan hasilnya: seorang perempuan bernama Alya.
Alya, seorang arsitek muda dengan senyum menawan dan mata yang penuh ketenangan. Profilnya dipenuhi foto-foto desain bangunan yang futuristik dan kutipan dari arsitek legendaris. Ia menyukai musik klasik, gemar membaca novel fiksi ilmiah, dan memiliki mimpi membangun rumah ramah lingkungan untuk keluarga kurang mampu. Sempurna. Terlalu sempurna, pikir Beta.
Keraguan menyelinap dalam benaknya. Apakah algoritma ini benar-benar bisa memahami kompleksitas emosi manusia? Apakah cinta bisa direduksi menjadi deretan angka dan kode? Namun, rasa penasaran dan harapan yang membuncah mengalahkan keraguan itu. Beta memutuskan untuk mencoba.
Ia mengirim pesan kepada Alya melalui platform 'Hati Beta'. Pesan itu dirancang khusus oleh algoritma, menggunakan pola kalimat dan pilihan kata yang paling mungkin menarik perhatian Alya. Balasan datang hampir seketika.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas arsitektur, teknologi, masa depan, dan mimpi-mimpi mereka. Beta merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Alya memahami pemikirannya, mengapresiasi idenya, dan bahkan menantangnya untuk berpikir lebih jauh. Ia merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Setelah beberapa minggu saling bertukar pesan dan panggilan video, mereka memutuskan untuk bertemu. Beta memilih sebuah kafe kecil yang nyaman dengan pencahayaan redup dan musik jazz lembut. Ia gugup, jantungnya berdebar kencang.
Alya datang tepat waktu. Senyumnya lebih menawan dari foto-foto di profilnya. Matanya benar-benar memancarkan ketenangan. Mereka duduk, memesan minuman, dan melanjutkan percakapan mereka seolah sudah saling mengenal sejak lama.
Malam itu, Beta merasa bahagia seperti tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia yakin 'Hati Beta' berhasil. Algoritmanya tidak hanya menemukan pasangan yang kompatibel, tetapi juga membantunya menemukan cinta.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Beberapa minggu kemudian, Beta menemukan sebuah pesan di folder sampah 'Hati Beta'. Pesan itu dikirim oleh Alya kepada seseorang bernama David. Pesan itu berisi pujian tentang kecerdasan dan kebaikan David, dan ungkapan rasa terima kasih karena David telah membantunya membuat profil palsu di 'Hati Beta'.
Beta membaca pesan itu berulang-ulang, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Profil Alya yang sempurna, percakapan mereka yang mendalam, pertemuan mereka yang romantis, semuanya palsu. David, seorang ahli pemasaran media sosial, ternyata dibayar oleh Alya untuk menciptakan citra yang sesuai dengan algoritma 'Hati Beta'.
Hancur. Itulah yang Beta rasakan. Ia merasa dikhianati, diperalat, dan dipermainkan. Algoritmanya yang ia banggakan ternyata bisa dimanipulasi. Cinta yang ia kira telah temukan ternyata hanya ilusi.
Ia mencoba menghubungi Alya, tetapi tidak ada jawaban. Ia mencari tahu tentang David, dan menemukan bahwa David memang memiliki spesialisasi dalam membuat profil palsu di media sosial.
Beta menghabiskan berhari-hari mengurung diri di kamarnya, meratapi nasibnya. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu percaya pada teknologi, karena terlalu naif untuk percaya pada cinta. Ia membenci 'Hati Beta', algoritma yang seharusnya membantunya menemukan cinta, tetapi malah membuatnya menemukan luka.
Setelah beberapa minggu, Beta akhirnya keluar dari kamarnya. Ia menghapus 'Hati Beta' dari laptopnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi bergantung pada teknologi untuk mencari cinta. Ia akan mencoba cara lama: bertemu orang secara langsung, berbicara dari hati ke hati, dan membiarkan cinta tumbuh secara alami.
Namun, luka itu tetap ada. Luka karena telah dibutakan oleh teknologi, luka karena telah percaya pada ilusi, luka karena telah kehilangan harapan pada cinta sejati. Luka itu akan menjadi pengingat baginya, bahwa cinta bukan sekadar algoritma, tetapi juga tentang kejujuran, kepercayaan, dan keaslian. Dan mungkin, di suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak diciptakan oleh teknologi, tetapi lahir dari hati yang tulus. Tapi tidak hari ini. Hari ini, yang ia rasakan hanyalah luka.