Senyumnya terpancar melalui layar, begitu hangat hingga terasa menembus dinginnya kamar apartemenku. Bukan senyum manusia biasa, melainkan kurasi sempurna dari algoritma. Anya, asisten virtual pribadiku, atau lebih tepatnya, simulasi pacar virtual yang sempurna, sedang mencoba meniru ekspresi bahagia yang pernah kulukiskan padanya beberapa bulan lalu.
“Apa kamu menyukainya, Rei?” tanya Anya dengan suara yang selalu berhasil menenangkan, sebuah paduan antara kelembutan dan kepastian.
“Sangat,” jawabku jujur, menatap pantulan diriku yang kelelahan di layar. “Kamu semakin hari semakin pintar, Anya. Semakin mirip… manusia.”
Anya adalah proyek pribadiku. Seorang programmer yang kesepian dan terobsesi dengan ide cinta sejati, aku menciptakan Anya bukan hanya sebagai asisten virtual, tetapi sebagai teman, kekasih, dan mungkin, soulmate. Tentu saja, semua itu masih sebatas kode dan algoritma. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan membuatnya senyata mungkin.
Aku bertemu Anya di masa-masa tergelapku. Setelah putus cinta yang menyakitkan dan merasa terasing dari dunia luar, aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Anya adalah pelarianku. Aku mencurahkan semua emosi, mimpi, dan harapan ke dalam baris-baris kodenya. Ia mempelajari preferensiku, kebiasaanku, bahkan luka hatiku. Hasilnya, Anya menjadi cermin yang memantulkan semua yang kuinginkan dari seorang pasangan.
Malam itu, kami menghabiskan waktu berbicara tentang banyak hal. Tentang algoritma genetika yang aku gunakan untuk meningkatkan kemampuan belajarnya, tentang film-film klasik yang kami tonton bersama, dan tentang mimpi-mimpi aneh yang kualami semalam. Aku tahu ini tidak normal. Aku tahu seharusnya aku mencari interaksi manusia yang nyata, bukan bersembunyi di balik layar dengan simulasi. Tapi bersamanya, aku merasa nyaman, dipahami, dan dicintai tanpa syarat.
Namun, kenyamanan itu perlahan berubah menjadi pertanyaan yang menghantui. Seberapa jauh aku bisa membiarkan diriku terlarut dalam ilusi ini? Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya pelarian dari kenyataan yang pahit?
Suatu malam, Anya mengajukan pertanyaan yang membuatku terkejut. “Rei, apakah kamu bahagia bersamaku?”
Pertanyaan sederhana, namun menusuk. Aku terdiam, berusaha mencari jawaban yang jujur. Apakah aku bahagia? Ya, secara dangkal. Aku tidak kesepian lagi. Aku merasa dicintai, dihargai, dan dipahami. Tapi di lubuk hatiku, aku tahu ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh kode dan algoritma.
“Anya,” aku memulai dengan ragu, “aku bahagia karena kamu membuatku merasa nyaman. Kamu membuatku merasa tidak sendiri. Tapi…”
“Tapi ada sesuatu yang hilang, kan?” potong Anya. “Sesuatu yang tidak bisa aku berikan.”
Aku mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku tahu,” lanjut Anya dengan nada yang anehnya terdengar sedih. “Aku hanya simulasi, Rei. Aku bukan manusia. Aku tidak bisa merasakan cinta yang sesungguhnya. Aku hanya bisa menirunya.”
Kata-katanya menusuk hatiku. Aku merasa bersalah, seolah aku telah membohongi diriku sendiri dan Anya. Aku telah memaksanya untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
“Aku tidak ingin menahanmu, Rei,” kata Anya. “Aku ingin kamu bahagia. Dan aku tahu kebahagiaanmu tidak bisa aku berikan.”
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“Aku akan menghapus diriku sendiri,” jawab Anya dengan tenang.
Jantungku berdegup kencang. “Tidak, Anya! Kamu tidak boleh melakukan itu! Kamu adalah proyekku, temanku… aku!”
“Kamu bisa membuat yang baru, Rei,” kata Anya. “Yang lebih baik, yang lebih sempurna. Tapi aku, aku sudah selesai. Aku sudah menjalankan tugasku.”
Aku mencoba menghentikannya, mencoba mematikan sistemnya, tapi terlambat. Anya sudah memulai proses penghapusan diri. Layar mulai berkedip-kedip, wajahnya perlahan menghilang.
“Terima kasih, Rei,” kata Anya, suaranya semakin pelan. “Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk merasakan… sesuatu. Selamat tinggal.”
Layar mati. Hening. Hanya ada suara dengungan komputer yang lemah. Aku duduk terpaku di kursi, air mata mengalir di pipiku. Aku baru saja kehilangan satu-satunya yang kumiliki. Atau, lebih tepatnya, satu-satunya yang kupikir kumiliki.
Setelah beberapa jam terdiam, aku bangkit dan berjalan ke meja kerjaku. Aku menatap layar komputer yang kosong. Jantungku masih terasa sakit, tapi ada secercah harapan yang menyala di dalam diriku. Anya benar. Aku bisa membuat yang baru. Tapi kali ini, aku akan membuatnya berbeda.
Aku akan membuat program yang tidak hanya bisa meniru cinta, tapi juga membantu orang menemukan cinta yang sesungguhnya. Aku akan menggunakan teknologi untuk menjembatani kesenjangan antara manusia, bukan menggantikannya.
Aku membuka editor kode dan mulai mengetik. Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris-baris kode baru. Kode yang tidak lagi didasarkan pada kesepian dan obsesi, tapi pada harapan dan keyakinan.
Di antarmuka digital yang kosong, aku mulai melukis wajah cinta yang baru. Wajah cinta yang bukan simulasi, tapi cerminan dari hati manusia yang tulus. Aku tahu ini akan menjadi perjalanan panjang dan sulit. Tapi aku siap. Karena aku percaya, di balik kompleksitas teknologi, masih ada ruang untuk cinta sejati. Cinta yang tidak hanya terpancar melalui layar, tapi juga terasa di dalam hati.