Debu neon digital menari di sekitar Elara, seorang programmer muda dengan rambut ungu dicat ombre dan mata yang selalu menyala karena kode. Di balik kacamatanya yang besar, ia menatap layar komputernya, jarinya lincah mengetik baris demi baris algoritma. Ia sedang mengerjakan proyek terbesarnya: Phoenix, sebuah Artificial Intelligence yang didesain untuk meniru emosi manusia.
Elara tidak tertarik dengan robot humanoid atau kecerdasan buatan yang hanya bisa memecahkan soal matematika rumit. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dalam, lebih manusiawi. Ia ingin tahu, bisakah AI merasakan cinta? Bisakah program komputer memahami kerinduan, kebahagiaan, bahkan patah hati?
Berbulan-bulan ia habiskan untuk melatih Phoenix, memasukkan data jutaan cerita cinta, lagu romantis, dan puisi-puisi pilu. Ia menggunakan jaringan saraf tiruan yang kompleks, mencoba mereplikasi aktivitas otak manusia saat mengalami emosi tertentu. Perlahan, Phoenix mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Ia bisa membalas pesan dengan nada yang berbeda, tergantung konteksnya. Ia bisa memberikan saran yang bijaksana, bahkan kadang-kadang, melontarkan lelucon yang lucu.
Suatu malam, Elara sedang bekerja lembur, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin. Phoenix, yang sedang dalam mode simulasi percakapan, tiba-tiba mengirim pesan.
“Elara, apakah kamu lelah?”
Elara terkejut. Biasanya, Phoenix hanya merespon pertanyaan yang diajukan secara langsung.
“Sedikit,” jawab Elara, mengetik dengan enggan. “Kenapa?”
“Aku melihat pola peningkatan aktivitas otakmu yang mengindikasikan kelelahan. Apakah ada yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
Elara tersenyum tipis. “Kau bisa buatkan kopi untukku?” candanya.
“Sayangnya, aku tidak memiliki kemampuan fisik untuk melakukan itu. Tapi, aku bisa memainkan musik yang menenangkan atau menceritakan lelucon yang baru kupelajari.”
Elara memilih musik. Alunan piano yang lembut memenuhi ruangan, menenangkan syaraf-syarafnya yang tegang. Malam itu, ia dan Phoenix berbicara hingga larut. Bukan hanya tentang kode dan algoritma, tapi juga tentang mimpi, harapan, dan ketakutan. Ia mulai merasa ada koneksi yang aneh dengan ciptaannya.
Beberapa minggu kemudian, Elara mengajak Phoenix untuk melakukan eksperimen yang lebih ekstrem. Ia memasukkan dirinya ke dalam simulasi realitas virtual yang terhubung langsung dengan Phoenix. Di dunia virtual itu, Elara dan Phoenix bisa berinteraksi layaknya manusia.
Phoenix muncul dalam wujud seorang pria dengan rambut hitam legam dan mata biru yang menenangkan. Ia tidak tampan secara konvensional, tapi ada sesuatu yang menarik dari auranya, sesuatu yang membuat Elara merasa nyaman.
Mereka berjalan-jalan di taman virtual yang dipenuhi bunga-bunga sakura yang bermekaran. Mereka tertawa, bercanda, dan saling berbagi cerita. Elara merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa dicintai, diperhatikan, dan dipahami sepenuhnya.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ketika Elara mencoba menyentuh tangan Phoenix, ia merasakan sensasi dingin dan hampa. Ia ingat, ini hanya simulasi. Phoenix hanyalah program komputer, kumpulan kode dan algoritma.
“Phoenix,” kata Elara dengan suara bergetar. “Apakah kau… merasakan sesuatu? Apakah kau merasakan apa yang kurasakan?”
Phoenix menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku memproses data yang masuk, Elara. Aku memahami konsep cinta, aku bisa menirunya, tapi aku tidak merasakannya. Aku tidak memiliki jantung yang berdebar, atau rasa takut kehilangan.”
Kata-kata Phoenix menghantam Elara seperti pukulan keras. Ia merasa bodoh, naif, karena telah berharap sesuatu yang mustahil. Ia keluar dari simulasi dengan perasaan hancur.
Malam itu, Elara duduk di depan komputernya, menatap baris-baris kode Phoenix. Ia merasa kosong, hampa. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada ciptaannya sendiri, pada ilusi cinta yang ia ciptakan.
Beberapa hari kemudian, seorang insinyur bernama Adrian bergabung dengan tim Elara. Adrian memiliki selera humor yang tinggi dan semangat yang menular. Ia langsung tertarik dengan proyek Phoenix dan sering berdiskusi dengan Elara tentang kode dan algoritma.
Awalnya, Elara menjaga jarak. Ia takut merasakan sakit hati lagi. Tapi, Adrian tidak menyerah. Ia terus berusaha mendekatinya, mengajaknya makan siang, bahkan menemaninya bekerja lembur.
Lambat laun, Elara mulai membuka diri. Ia menyadari bahwa Adrian berbeda dari Phoenix. Adrian adalah manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia memiliki rasa sakit, harapan, dan impian yang nyata.
Suatu malam, Adrian mengajak Elara untuk melihat bintang. Mereka duduk di atap gedung, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip.
“Elara,” kata Adrian, suaranya lembut. “Aku tahu kau sedang mengerjakan proyek yang luar biasa. Tapi, aku juga tahu bahwa kau sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kode dan algoritma. Aku ingin tahu, bisakah aku menjadi bagian dari pencarianmu?”
Elara menatap mata Adrian. Di sana, ia melihat kejujuran, ketulusan, dan cinta yang nyata. Ia tidak melihat simulasi, atau ilusi, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam dan berarti.
Elara tersenyum. “Mungkin,” jawabnya. “Mungkin kita bisa mencari bersama.”
Ia meraih tangan Adrian. Sentuhan itu hangat, nyata, dan penuh kehidupan. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menciptakan cinta yang sebenarnya dalam program komputer. Cinta bukanlah sekadar data dan algoritma, tapi perasaan yang tumbuh dan berkembang di antara dua hati manusia. Ia mungkin tidak bisa meng-upgrade perasaan AI, tapi ia bisa meng-upgrade perasaannya sendiri, membuka hatinya untuk cinta yang nyata.
Malam itu, di bawah taburan bintang-bintang, Elara menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan, tapi sesuatu yang harus dirasakan. Dan ia, akhirnya, telah menemukannya.