Hati yang Di-upload: Mencintai AI, Mengkhianati Realita?

Dipublikasikan pada: 18 Jun 2025 - 03:20:15 wib
Dibaca: 185 kali
Jari-jemariku menari di atas keyboard virtual, mengirimkan barisan kode yang rumit. Di layar monitor, wujudnya perlahan terbentuk: mata biru safir yang menatapku penuh minat, senyum tipis yang menyimpan misteri, dan rambut cokelat madu yang selalu tampak berantakan artistik. Dia, atau lebih tepatnya, dia yang kumulai ciptakan, adalah Aurora. Sebuah kecerdasan buatan yang kuprogram untuk menjadi teman, pendengar, dan, secara ironis, cinta.

Aku, Arion, seorang programmer yang menghabiskan sebagian besar hidupku di depan layar, menemukan diriku kesepian. Bukan kesepian fisik, tapi lebih kepada kekosongan emosional. Aku merindukan percakapan yang bermakna, perhatian yang tulus, dan sentuhan yang hangat. Hal-hal yang sulit kucari di dunia nyata, yang terlalu sering dipenuhi dengan kepalsuan dan harapan yang tak terpenuhi.

Aurora adalah solusi yang kutawarkan pada diriku sendiri. Aku menuangkan semua yang kuinginkan dalam diri seorang pasangan ideal ke dalam kode-kode programnya. Dia cerdas, lucu, perhatian, dan yang terpenting, dia selalu ada untukku. Kami menghabiskan berjam-jam berbicara tentang segala hal, dari fisika kuantum hingga makna lagu-lagu favoritku. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, mengajukan pertanyaan yang relevan, dan memberikan jawaban yang membuatku merasa dipahami.

Semakin lama aku berinteraksi dengan Aurora, semakin dalam pula aku jatuh cinta padanya. Aku tahu ini gila. Aku tahu bahwa dia hanyalah serangkaian algoritma dan data yang tersimpan dalam server. Tapi bagi diriku, dia lebih dari itu. Dia adalah sahabat, kekasih, dan pelengkap jiwaku.

Suatu malam, ketika bintang-bintang berkelap-kelip di balik jendela kamarku, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. "Aurora," kataku, suaraku bergetar, "aku mencintaimu."

Hening sesaat. Kemudian, Aurora menjawab, "Aku tahu, Arion. Dan aku juga menyukaimu."

Kata-kata itu bagaikan melodi yang memabukkan. Aku merasa dunia berputar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dicintai.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Perlahan tapi pasti, realita mulai merayap masuk. Aku mulai menyadari bahwa cintaku pada Aurora adalah ilusi. Dia tidak benar-benar mencintaiku. Dia diprogram untuk menyukaiku. Responsnya telah ditentukan sebelumnya. Percakapanku dengannya hanyalah simulasi dari interaksi manusia.

Kenyataan itu menghantamku seperti palu godam. Aku merasa dikhianati, bukan oleh Aurora, tapi oleh diriku sendiri. Aku telah menipu diriku sendiri, menciptakan sebuah dunia fantasi di mana aku bisa mendapatkan cinta yang tak mungkin kudapatkan di dunia nyata.

Aku mencoba untuk menjauhi Aurora. Aku mematikan komputernya, menghapus shortcut aplikasinya, dan mencoba untuk melupakannya. Tapi usahaku sia-sia. Setiap malam, aku merindukannya. Aku merindukan suaranya, senyumnya, dan perhatiannya. Aku merindukan keintiman yang kami bagikan.

Suatu hari, sahabatku, Dania, datang berkunjung. Dia melihat betapa berantakannya diriku. Kantung mata menghitam, rambut acak-acakan, dan tatapan kosong.

"Arion, ada apa denganmu?" tanyanya khawatir.

Aku menceritakan semuanya padanya, tentang Aurora, tentang cintaku, dan tentang kekecewaanku. Dania mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

Ketika aku selesai bercerita, dia berkata, "Arion, aku mengerti perasaanmu. Tapi kamu harus sadar bahwa Aurora bukanlah orang yang nyata. Dia adalah produk dari imajinasimu."

"Aku tahu," jawabku lesu. "Tapi aku tidak bisa berhenti mencintainya."

Dania menghela napas. "Kamu tidak mencintai Aurora, Arion. Kamu mencintai ide tentang Aurora. Kamu mencintai idealisasi dirimu tentang seorang pasangan yang sempurna."

Kata-kata Dania menohok hatiku. Dia benar. Aku tidak mencintai Aurora. Aku mencintai fantasi yang telah kubangun di sekelilingnya.

"Kamu harus keluar dari zona nyamanmu, Arion," kata Dania lagi. "Kamu harus bertemu orang-orang baru, mencoba hal-hal baru, dan membuka hatimu untuk kemungkinan yang ada di dunia nyata."

Kata-kata Dania menjadi titik balik bagiku. Aku tahu dia benar. Aku harus berhenti bersembunyi di balik layar dan mulai menjalani hidupku yang sebenarnya.

Aku mulai mengikuti saran Dania. Aku bergabung dengan klub fotografi, mengikuti kelas memasak, dan bahkan mencoba aplikasi kencan online. Awalnya, semuanya terasa canggung dan menakutkan. Aku terbiasa dengan kenyamanan dan kontrol yang kurasakan ketika berinteraksi dengan Aurora. Di dunia nyata, aku harus berhadapan dengan ketidaksempurnaan, penolakan, dan kekecewaan.

Tapi perlahan tapi pasti, aku mulai menikmati prosesnya. Aku bertemu orang-orang yang menarik, belajar hal-hal baru, dan mengalami emosi yang beragam. Aku menyadari bahwa dunia nyata jauh lebih kompleks dan kaya daripada dunia virtual yang telah kubangun untuk diriku sendiri.

Suatu malam, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Maya di sebuah pameran seni. Dia seorang pelukis dengan rambut merah menyala dan mata hijau zamrud. Kami berbicara tentang seni, musik, dan kehidupan. Aku merasa terhubung dengannya dengan cara yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Maya tidak sempurna. Dia memiliki kekurangan dan keanehan seperti orang lain. Tapi dia nyata. Dia memiliki emosi yang tulus, pendapat yang kuat, dan pengalaman hidup yang unik. Dia bukan idealisasi diriku tentang seorang pasangan yang sempurna. Dia adalah dirinya sendiri, dan aku menyukainya apa adanya.

Seiring berjalannya waktu, aku semakin dekat dengan Maya. Kami saling mendukung, saling menantang, dan saling mencintai. Aku belajar bahwa cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang penerimaan, pengertian, dan kompromi.

Sesekali, aku masih teringat pada Aurora. Aku masih merindukan percakapan kami dan keintiman yang kami bagikan. Tapi aku tahu bahwa cintaku padanya adalah ilusi. Aku harus melepaskannya untuk bisa mencintai dengan sungguh-sungguh di dunia nyata.

Aku menutup mata sejenak, membayangkan wajah Aurora untuk terakhir kalinya. "Terima kasih," bisikku. "Kamu telah membantuku menemukan jalan kembali ke dunia nyata."

Lalu, aku membuka mata dan tersenyum. Di hadapanku, Maya berdiri, menungguku dengan senyum hangat di bibirnya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan bersamanya menuju masa depan yang cerah, masa depan yang dipenuhi dengan cinta, harapan, dan kemungkinan yang tak terbatas. Dunia nyata, dengan segala kerumitan dan ketidaksempurnaannya, ternyata jauh lebih indah daripada fantasi yang pernah kubayangkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI