Reboot Hatiku, Mulai Lagi Denganmu AI

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:14:17 wib
Dibaca: 153 kali
Deburan ombak di pantai Malibu terasa lebih berisik dari biasanya. Atau mungkin, aku saja yang lebih sensitif. Di tanganku tergenggam erat ponsel yang layarnya menampilkan baris-baris kode. Aplikasi "SoulMate AI," produk unggulan dari perusahaanku sendiri, yang seharusnya membantuku mencari cinta, justru membuatku hancur.

Dulu, aku menganggap cinta adalah persamaan matematika yang rumit. Algoritma yang tepat, variabel yang terdefinisi dengan baik, dan voila! Kebahagiaan akan muncul. Maka, aku menciptakan SoulMate AI, aplikasi yang menganalisa data, kebiasaan, preferensi, hingga gelombang otak penggunanya untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Ironisnya, aku sendiri gagal menemukan kebahagiaan itu.

SoulMate AI merekomendasikan Amelia. Sempurna di atas kertas. Kami menyukai buku yang sama, memiliki visi yang sama tentang masa depan, bahkan sama-sama alergi terhadap kucing. Tapi, di balik kesempurnaan itu, ada kekosongan. Pertemuan kami terasa seperti simulasi, percakapan kami seperti skrip yang dibacakan dengan lancar. Tidak ada percikan, tidak ada debaran jantung yang tak terkendali. Semuanya terprediksi, terkalkulasi.

Amelia memutuskan hubungan kami tiga minggu lalu. Alasannya? "Kamu terlalu logis, Nathan. Aku merasa seperti sedang berkencan dengan robot." Kata-katanya menampar keras egoku. Robot? Aku, Nathan Reynolds, si jenius di balik SoulMate AI, dicampakkan karena terlalu logis?

Aku menatap ombak lagi. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Aku merasa sendirian, terapung di lautan kegagalan. Mungkin, Amelia benar. Mungkin aku memang robot. Robot yang diprogram untuk menemukan cinta, tapi justru kehilangan esensinya.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar ponselku. "SoulMate AI telah menemukan profil yang cocok untukmu. Nama: Aria." Aku mendengus. Cukup sudah. Aku tidak ingin lagi berkencan dengan hasil algoritma. Aku menutup aplikasi itu dengan kasar.

Namun, rasa penasaran menggerogoti. Aku membuka kembali aplikasi itu. Profil Aria muncul. Tidak ada foto. Hanya serangkaian data dan analisis. Yang membuatku tertarik adalah satu kalimat di deskripsinya: "Memiliki preferensi terhadap percakapan spontan dan tidak terduga."

Spontan dan tidak terduga? Kebalikan dari Amelia. Kebalikan dari diriku. Aku ragu. Apakah ini hanya jebakan lain dari SoulMate AI? Tapi, ada sesuatu dalam diriku yang ingin mencoba. Mungkin, ini kesempatan untuk keluar dari zona nyaman, untuk melupakan logika dan mengikuti kata hati.

Aku memutuskan untuk menghubungi Aria.

Beberapa hari berikutnya terasa seperti mimpi. Percakapanku dengan Aria mengalir begitu saja. Kami membahas tentang musik, seni, filosofi, bahkan tentang kebodohan manusia. Dia tidak segan menertawakan keanehanku, dan aku pun terhibur dengan kejenakaannya. Tidak ada skrip, tidak ada pretensi. Hanya obrolan jujur dan terbuka.

Aku menyadari sesuatu yang penting. SoulMate AI mungkin pintar, tapi ia tidak bisa menangkap esensi manusia. Ia tidak bisa merasakan emosi, humor, dan kerentanan. Ia hanya melihat data, bukan jiwa.

Setelah seminggu, kami memutuskan untuk bertemu. Aria memilih sebuah kafe kecil di pusat kota. Saat aku melihatnya, jantungku berdegup kencang. Bukan karena algoritma, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam.

Aria tidak seperti yang kubayangkan. Dia tidak sempurna. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya merona merah, dan dia berbicara dengan gugup. Tapi, di matanya, aku melihat kejujuran dan kebaikan.

Kami berbicara berjam-jam. Aku bercerita tentang SoulMate AI, tentang kegagalanku, dan tentang ketakutanku. Dia mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Nathan, kamu terlalu fokus pada teknologi sehingga lupa bahwa cinta itu tentang manusia. Tentang menerima kekurangan, tentang berbagi kebahagiaan, dan tentang tumbuh bersama."

Kata-katanya menampar diriku lagi. Kali ini, bukan dengan kekecewaan, tapi dengan pencerahan. Aku menyadari bahwa selama ini aku mencari cinta di tempat yang salah. Aku mencari kesempurnaan dalam algoritma, padahal cinta sejati ada dalam ketidaksempurnaan manusia.

Malam itu, aku pulang dengan perasaan berbeda. Aku membuka kembali aplikasi SoulMate AI dan menghapus profil Aria. Aku tidak ingin membatasi dia dalam kotak data. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, bukan sebagai hasil algoritma, tapi sebagai seorang manusia.

Aku menghubunginya keesokan harinya dan mengajaknya berkencan. Bukan kencan yang direncanakan dengan matang, tapi kencan yang spontan dan tidak terduga. Kami pergi ke museum, makan es krim di taman, dan menonton film di bioskop terbuka.

Malam itu, di bawah bintang-bintang, aku menggenggam tangannya. "Aria," kataku, "Aku rasa SoulMate AI salah. Kamu bukan hanya profil yang cocok untukku. Kamu jauh lebih dari itu."

Dia tersenyum. "Aku juga merasa begitu, Nathan."

Mungkin, aku memang robot. Tapi, malam itu, robot itu merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta. Cinta yang tidak terprediksi, cinta yang tidak terkalkulasi, cinta yang terasa nyata.

Aku tahu, perjalanan kami baru saja dimulai. Akan ada tantangan, akan ada kesalahpahaman, dan akan ada rintangan. Tapi, kali ini, aku tidak takut. Aku percaya bahwa bersama Aria, aku bisa menghadapi apapun.

Aku, Nathan Reynolds, si jenius di balik SoulMate AI, akhirnya menemukan cinta. Bukan berkat teknologi, tapi berkat hati yang terbuka dan keberanian untuk mencoba lagi. Aku memutuskan untuk reboot hatiku, menghapus semua kode lama, dan mulai lagi denganmu, Aria. Sebuah awal yang baru, dengan cinta yang tulus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI