Hujan deras mengetuk jendela kafe, iramanya seolah menyuarakan keraguan yang bergemuruh di dadaku. Jemariku menari di atas layar ponsel, terpaku pada ikon aplikasi bernama "SoulMate AI". Sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, bahkan ekspresi wajah. Dulu aku skeptis, menganggap cinta adalah sesuatu yang organik, absurd, dan jauh dari jangkauan logika algoritma. Tapi, setelah serangkaian kencan buta yang berakhir tragis, aku menyerah. Mungkin, sedikit bantuan dari teknologi tidak akan menyakitkan.
"SoulMate AI" menjodohkanku dengan seseorang bernama Arya. Profilnya sempurna. Seniman digital, penyuka kopi seperti diriku, dan punya selera humor yang… bisa kutoleransi. Chat kami mengalir lancar, dipenuhi emoji dan obrolan tentang pameran seni, film indie, dan teori konspirasi ringan. Setelah seminggu berbalas pesan, kami sepakat untuk bertemu. Di kafe ini, tepatnya.
Lima menit berlalu, dan Arya belum muncul. Aku kembali menatap fotonya di aplikasi. Wajahnya teduh, dengan mata cokelat yang hangat dan senyum yang tulus. Apakah foto itu hasil editan? Apakah dia menggunakan filter berlebihan? Kecemasan mulai merayap.
Tiba-tiba, seorang pria berdiri di depanku. Tinggi, mengenakan jaket kulit hitam, dan memancarkan aura percaya diri. Tapi, dia bukan Arya.
"Maaf mengganggu. Apakah kamu… Luna?" tanyanya dengan suara bariton yang lembut.
Aku mengangguk, sedikit bingung. "Dan Anda?"
"Saya Bayu. Arya berhalangan hadir. Dia… mengirim saya sebagai perwakilannya."
Aku ternganga. "Perwakilan? Apa maksudnya?"
Bayu menghela napas. "Ini sedikit rumit. Arya… dia agak pemalu. Sebenarnya, dia yang menciptakan 'SoulMate AI'. Dia ingin bertemu denganmu, tapi dia terlalu takut untuk menghadapi penolakan. Jadi, dia meminta saya untuk datang dan… menilai kecocokan kalian secara langsung."
Otakku terasa berhenti berfungsi. Seorang pria mengirim pria lain untuk menemuiku? Apakah ini lelucon terburuk yang pernah ada?
"Apakah kamu bercanda?" tanyaku, suaraku bergetar.
Bayu menggeleng. "Saya tahu ini aneh. Percayalah, saya juga tidak percaya ketika dia meminta saya melakukan ini. Tapi, Arya benar-benar terpikat padamu. Dia bilang, dari semua data yang dia kumpulkan, profilmu yang paling cocok dengannya."
Aku tertawa getir. "Data? Jadi, ini semua tentang data? Tentang algoritma? Lalu, di mana letak perasaannya? Di mana kejujurannya?"
Bayu terdiam. Aku bisa melihat penyesalan di matanya. "Dia hanya ingin memastikan semuanya sempurna. Dia tidak ingin menyakitimu."
"Tapi dia sudah menyakitiku! Dengan mengirimmu ke sini, dia sudah menghancurkan semua harapan yang kumiliki!" Aku berdiri, meraih tasku, dan bersiap untuk pergi.
"Tunggu!" Bayu mencegatku. "Berikan Arya kesempatan. Dia akan menjelaskan semuanya. Dia akan meminta maaf."
Aku menatapnya, ragu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku berhenti. Kejujuran? Simpati? Entahlah.
"Baiklah," ujarku akhirnya. "Tapi dia harus menemuiku sendiri. Tanpa perantara, tanpa data, tanpa algoritma."
Bayu tersenyum lega. "Saya akan menyampaikannya."
Beberapa hari kemudian, aku menerima pesan dari Arya. Singkat, sederhana, dan tanpa embel-embel teknis. Dia meminta maaf atas kebodohannya dan memintaku untuk bertemu di taman kota.
Aku datang dengan jantung berdebar. Di bangku taman, duduk seorang pria dengan rambut berantakan dan kacamata tebal. Bukan Bayu yang tampan dan percaya diri, tapi sosok Arya yang sesungguhnya.
Dia gugup, memainkan ujung bajunya, dan menghindari tatapanku. "Luna, maafkan aku. Aku tahu aku bodoh. Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan. Aku terlalu bergantung pada teknologi."
Aku duduk di sampingnya. "Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu menciptakan aplikasi ini?"
Arya menghela napas. "Dulu aku merasa kesepian. Aku merasa sulit untuk terhubung dengan orang lain. Aku pikir, jika aku bisa menciptakan sebuah sistem yang bisa menemukan orang yang cocok denganku, aku tidak akan merasa sendirian lagi. Tapi, aku salah. Cinta bukan tentang data. Cinta tentang keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, untuk menerima ketidaksempurnaan."
Kami terdiam beberapa saat. Hanya suara burung dan angin yang mengisi keheningan.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanyaku.
Arya menatapku, matanya penuh harap. "Aku ingin menghapus 'SoulMate AI'. Aku ingin mulai mencari cinta dengan cara yang benar. Dan aku ingin… aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bukan berdasarkan data, tapi berdasarkan… perasaan."
Aku tersenyum. "Kedengarannya bagus."
Hujan yang pernah meragukanku, kini seolah menjadi saksi bisu sebuah permulaan baru. Permulaan yang jauh dari logika algoritma, dan lebih dekat dengan keajaiban hati. Mungkin, cinta memang tidak bisa diprediksi oleh data. Mungkin, cinta bersemi bukan dari angka, melainkan dari keberanian untuk mengambil risiko, untuk menjadi diri sendiri, dan untuk percaya pada kekuatan hati. Aplikasi kencan AI itu mungkin telah menjadi awal dari segalanya, namun kisah cinta kami yang sesungguhnya, baru saja dimulai. Tanpa data, tanpa perantara, hanya ada aku dan dia. Dan mungkin, itu sudah cukup.