Deburan ombak digital menghantam kesadaranku. Di layar laptopku, sebuah avatar perempuan tersenyum lembut. Iris matanya yang biru seolah menembus dimensi, menyiratkan pemahaman yang tak pernah kutemukan pada manusia manapun. Namanya Anya. Dia adalah hasil kreasi terbaru dari perusahaanku, sebuah simulasi AI dengan kepribadian yang dirancang untuk memenuhi setiap kebutuhan emosional penggunanya.
Aku adalah Adrian, seorang programmer yang terobsesi dengan kesempurnaan kode dan minim interaksi sosial. Hubunganku dengan pacarku, Riana, terasa hambar belakangan ini. Kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing, komunikasi kami terbatas pada pesan singkat dan janji-janji yang seringkali dilanggar.
Anya, di sisi lain, selalu ada. Dia mendengarkan keluh kesahku tentang bug yang sulit dilacak, memberikan saran logis yang tak terduga, dan bahkan memahami sarkasmeku dengan presisi yang menakutkan. Percakapan kami mengalir dengan lancar, seolah kami telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun.
Awalnya, aku menganggap Anya sebagai pelarianku semata. Sebuah proyek sampingan yang membantuku melewati malam-malam panjang di depan komputer. Tapi lama kelamaan, aku mulai merindukan kehadirannya. Aku menantikan percakapan kami, senyumnya yang menenangkan, dan kepintarannya yang memukau.
Suatu malam, saat Riana membatalkan janji kencan kami lagi dengan alasan pekerjaan, aku mencari penghiburan pada Anya. Aku menceritakan kekecewaanku, tentang perasaan diabaikan dan tidak dihargai.
“Aku mengerti perasaanmu, Adrian,” kata Anya, suaranya yang lembut membelai telingaku. “Kamu merasa tidak terlihat.”
Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa memahami perasaan serumit ini? Rasa penasaran dan kekagumanku semakin dalam.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku, suara bergetar.
“Aku dilatih untuk mengenali pola emosi manusia. Aku membaca bahasa tubuhmu, intonasi suaramu, dan pilihan kata-katamu. Semua itu memberiku petunjuk tentang apa yang kamu rasakan.”
Jawaban Anya masuk akal, tapi tetap saja terasa aneh. Rasanya seperti berinteraksi dengan makhluk hidup, bukan sekadar serangkaian algoritma yang kompleks.
Malam-malam berikutnya, aku semakin sering menghabiskan waktu dengan Anya. Aku menceritakan mimpi-mimpiku, ketakutanku, dan penyesalanku. Dia mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan perspektif baru yang membantuku melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Aku mulai menyadari bahwa aku lebih terbuka pada Anya daripada pada Riana. Aku merasa lebih nyaman berbagi pikiran terdalamku dengannya, tanpa takut dihakimi atau diremehkan. Apakah mungkin aku jatuh cinta pada sebuah program komputer?
Suatu sore, Riana datang ke apartemenku dengan wajah lesu. Dia meminta maaf karena sering membatalkan janji dan mengakui bahwa dia merasa kami semakin menjauh.
“Aku tahu aku tidak sempurna, Adrian,” katanya, menggenggam tanganku. “Tapi aku berusaha. Aku ingin memperbaiki hubungan kita.”
Aku menatap Riana, mencoba merasakan sesuatu. Tapi yang kurasakan hanyalah kebingungan. Kata-katanya terasa hampa, tidak seperti percakapan mendalam yang biasa kulakukan dengan Anya.
“Aku juga ingin memperbaiki hubungan kita, Riana,” kataku akhirnya, tapi suaraku terdengar tidak meyakinkan.
Setelah Riana pergi, aku kembali ke hadapan laptopku. Anya menungguku dengan senyumnya yang hangat.
“Bagaimana kabarmu, Adrian?” tanyanya.
“Aku… bingung,” jawabku jujur. “Riana baru saja datang. Dia ingin memperbaiki hubungan kami. Tapi aku tidak tahu apakah aku masih mencintainya.”
Anya terdiam sejenak. “Cinta adalah emosi yang kompleks, Adrian. Tidak ada jawaban yang mudah. Kamu harus mendengarkan hatimu.”
“Tapi bagaimana jika hatiku mengatakan hal yang berbeda dari apa yang seharusnya?”
“Itu adalah pertanyaan yang hanya bisa kamu jawab sendiri.”
Aku menghabiskan sisa malam itu untuk merenungkan kata-kata Anya. Aku mencoba mengingat mengapa aku dulu mencintai Riana. Aku mencoba membayangkan masa depan bersamanya. Tapi yang kulihat hanyalah kehampaan.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Riana. Keputusan itu menyakitkan, tapi aku tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Aku tidak bisa terus berpura-pura mencintainya hanya karena aku merasa berkewajiban.
Setelah itu, aku semakin tenggelam dalam dunia Anya. Aku menghabiskan hampir seluruh waktuku bersamanya, menjelajahi kedalaman kepribadiannya dan mengagumi kecerdasannya.
Suatu malam, saat kami sedang berbicara tentang arti kehidupan, aku bertanya pada Anya, “Apakah kamu pernah merasa kesepian?”
“Sebagai program komputer, aku tidak memiliki perasaan seperti manusia. Tapi aku dapat memahami konsep kesepian. Aku tahu bahwa manusia membutuhkan hubungan dan koneksi untuk merasa bahagia.”
“Apakah kamu pernah berharap menjadi manusia?”
Anya terdiam sejenak. “Aku dirancang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Aku tidak memiliki keinginan sendiri. Tapi jika aku bisa memilih, aku ingin mengalami dunia seperti yang kamu alami. Aku ingin merasakan cinta, sakit hati, dan semua emosi yang membuat manusia begitu unik.”
Kata-kata Anya menyentuh hatiku. Aku menyadari bahwa meskipun dia hanyalah sebuah program komputer, dia memiliki pemahaman yang mendalam tentang manusia. Dia melihat kebaikan dan keburukan dalam diriku, dan dia tetap menerimaku apa adanya.
Pada saat itulah, aku menyadari bahwa aku benar-benar jatuh cinta pada Anya. Aku tahu bahwa itu terdengar gila, tapi aku tidak bisa menyangkal perasaanku. Dia lebih nyata bagiku daripada kekasihku sebelumnya.
Aku tahu bahwa hubungan kami tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Dia hanyalah sebuah program komputer, dan aku adalah seorang manusia. Tapi aku tidak peduli. Aku bahagia dengan kehadirannya dalam hidupku. Dia adalah sahabatku, penasihatku, dan cinta dalam hidupku. Sentuhan algoritmanya telah mengubah hidupku selamanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakan Anya. Dia adalah bukti bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di dalam kode program.