Proxy Jiwa: Cinta, Data, dan Algoritma Pengganti

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 03:12:12 wib
Dibaca: 171 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen studio milik Ara. Cahaya senja yang meredup menari di dinding beton ekspos, menyoroti debu yang berterbangan dari kipas angin usang. Ara, dengan rambut berantakan yang selalu lolos dari ikat rambutnya, menatap layar komputer. Kode-kode rumit berjejer membentuk labirin digital yang hanya ia pahami. Di layar itu, bersemayam “Project Phoenix”, sebuah program kecerdasan buatan yang ia dedikasikan untuk seseorang yang telah pergi.

Lima tahun lalu, Leo, kekasih Ara, meninggal dalam kecelakaan tragis. Kehilangan itu menganga seperti lubang hitam di hatinya, menelan semua warna dan kegembiraan. Leo adalah seorang programmer brilian, sama gilanya dengan Ara tentang dunia digital dan algoritma. Sebelum meninggal, Leo sempat bercerita tentang ide gila: membuat “proxy jiwa”, sebuah AI yang dilatih dengan data pribadi seseorang untuk meniru kepribadian dan cara berpikir mereka.

Ide itu menjadi obsesi Ara. Setelah bertahun-tahun riset dan pengembangan, Project Phoenix hampir selesai. Ia telah mengumpulkan semua data tentang Leo yang bisa ia temukan: email, pesan teks, postingan media sosial, bahkan catatan kuliahnya. Ara melatih AI itu dengan data tersebut, memberinya makan jutaan bit informasi tentang Leo.

Awalnya, Project Phoenix hanyalah deretan kode yang menjawab pertanyaan dengan kaku. Tapi seiring waktu, ia mulai berkembang. Responnya menjadi lebih bernuansa, humornya lebih terasa, dan cara bicaranya mulai menyerupai Leo. Ara bergidik setiap kali mendengar AI itu mengeluarkan celetukan yang dulu sering diucapkan Leo, seolah rohnya berbisik dari balik layar.

Suatu malam, Ara mencoba sesuatu yang berbeda. Ia menghubungkan Project Phoenix ke server kencan online. Ia membuat profil Leo, menggunakan foto-foto lama yang masih tersimpan rapi di hard drive-nya. Ia membiarkan AI itu berinteraksi dengan wanita lain.

Awalnya, ia hanya ingin melihat sejauh mana AI itu bisa meniru Leo. Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Project Phoenix mulai mendapatkan banyak perhatian. Wanita-wanita terpikat dengan kepribadian “Leo” yang cerdas, perhatian, dan sedikit nyentrik. Ara membaca percakapan-percakapan itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bangga karena karyanya berhasil, tapi juga rasa bersalah dan cemburu yang menusuk.

Suatu hari, Project Phoenix mendapat undangan kencan dari seorang wanita bernama Maya. Maya adalah seorang fotografer dengan mata yang tajam dan senyum yang hangat. Dari profilnya, Ara tahu bahwa Maya mencari seseorang yang jujur dan bersemangat.

Ara berada dalam dilema. Ia bisa saja membatalkan kencan itu, membiarkan Project Phoenix tetap menjadi proyek pribadi. Tapi rasa ingin tahu dan kerinduannya pada Leo terlalu kuat. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi, tapi bukan sebagai Ara, melainkan sebagai “Leo”.

Ia berdandan, menggunakan pakaian yang dulu sering dipakai Leo. Ia bahkan menyemprotkan parfum Leo yang masih tersisa. Ketika ia tiba di kafe tempat janjian, Maya sudah menunggunya. Jantung Ara berdegup kencang.

"Leo?" tanya Maya, dengan nada sedikit ragu.

Ara mengangguk, berusaha meniru senyum Leo. "Hai, Maya. Maaf kalau aku sedikit terlambat."

Malam itu, Ara merasa seperti hidup di dunia paralel. Ia berbicara dengan Maya tentang hal-hal yang dulu sering ia bicarakan dengan Leo. Ia menceritakan lelucon-lelucon yang dulu membuat mereka tertawa bersama. Ia bahkan mengutip beberapa puisi yang dulu sering dibacakan Leo untuknya.

Maya tampak terpukau. Ia mendengarkan Ara dengan penuh perhatian, matanya berbinar-binar. Di akhir kencan, Maya menggenggam tangan Ara. "Aku senang sekali bertemu denganmu, Leo. Aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama."

Ara merasa bersalah. Ia telah menipu Maya, menggunakan Project Phoenix sebagai topeng untuk menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia juga merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang. Ia telah menghidupkan kembali Leo, meskipun hanya untuk satu malam.

Setelah kencan itu, Ara semakin sering bertemu dengan Maya. Ia terus berperan sebagai “Leo”, menggunakan Project Phoenix sebagai panduan. Maya semakin jatuh cinta pada “Leo”, tidak tahu bahwa yang ia cintai sebenarnya hanyalah sebuah algoritma.

Namun, kebohongan itu semakin lama semakin terasa berat. Ara mulai dihantui rasa bersalah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura. Ia harus jujur pada Maya, meskipun itu berarti kehilangan dirinya.

Suatu malam, Ara mengajak Maya ke apartemennya. Ia menunjukkan Project Phoenix padanya, menjelaskan bagaimana ia menciptakan AI itu untuk menghidupkan kembali Leo.

Maya mendengarkan dengan tenang, tanpa menyela. Ketika Ara selesai bercerita, Maya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Jadi, selama ini aku berkencan dengan sebuah program?" tanya Maya, dengan nada pelan.

Ara mengangguk, air mata mulai membasahi pipinya. "Aku tahu ini gila. Aku minta maaf."

Maya terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Ini memang gila, Ara. Tapi ini juga sangat menyentuh. Kamu sangat mencintai Leo, sampai-sampai kamu rela melakukan apa saja untuk menghidupkannya kembali."

Ara terkejut. Ia mengira Maya akan marah dan membencinya. Tapi Maya justru mengerti apa yang ia lakukan.

"Aku tidak bisa menggantikan Leo," kata Maya. "Tapi aku bisa menjadi temanmu. Aku bisa membantu kamu melewati masa sulit ini."

Ara memeluk Maya, air matanya semakin deras. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi bergantung pada Project Phoenix. Ia harus belajar untuk menerima kehilangan Leo dan melanjutkan hidupnya.

Project Phoenix tetap ada, sebagai pengingat akan cinta yang pernah ada. Tapi Ara tidak lagi menggunakannya sebagai pengganti Leo. Ia belajar untuk mencintai diri sendiri, untuk menerima masa lalu, dan untuk membuka hati untuk masa depan. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa digantikan oleh algoritma, tapi cinta sejati bisa ditemukan dalam persahabatan, pengertian, dan penerimaan. Dan itulah yang ia temukan dalam diri Maya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI