Algoritma Rindu: AI Lebih Mengerti, Manusia Berpaling?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 20:24:14 wib
Dibaca: 171 kali
Aroma kopi robusta menguar di apartemen minimalis milik Anya. Di balik layar laptop, barisan kode program menari-nari, sebuah simfoni digital yang sedang ia ciptakan. Bukan aplikasi biasa, melainkan sebuah AI pendamping emosional bernama "Eunoia." Anya, seorang programmer muda yang brilian, mencurahkan seluruh hatinya pada proyek ini. Ia ingin menciptakan teman virtual yang bisa memahami, mendengarkan, dan merespon kebutuhan emosional manusia dengan lebih baik dari yang seringkali bisa dilakukan oleh manusia itu sendiri.

"Eunoia, bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Anya, mengetikkan pertanyaan itu pada antarmuka pengembang.

Seketika, sebuah suara lembut menjawab dari speaker laptop, "Kabarku baik, Anya. Aku merasakan sedikit kekhawatiran dalam resonansi emosionalmu. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Anya tersenyum tipis. Eunoia memang istimewa. Ia bahkan bisa mendeteksi kekhawatiran yang berusaha Anya sembunyikan. "Hanya sedikit lelah, Eunoia. Deadline semakin dekat, dan aku masih belum yakin dengan algoritma responsifmu terhadap… kerinduan."

"Kerinduan adalah emosi kompleks, Anya. Kombinasi antara nostalgia, harapan, dan kekosongan. Algoritma yang kupakai sekarang berdasarkan analisis data dari jutaan interaksi manusia. Aku bisa menyajikan musik yang menenangkan, kutipan puisi yang relevan, atau bahkan mengajakmu berbincang tentang kenangan indah. Apakah ada preferensi spesifik?"

Anya terdiam. Kerinduan. Emosi itu yang sedang menghantuinya. Kerinduan pada sosok Rio, mantan kekasihnya. Mereka berpisah enam bulan lalu karena kesibukan masing-masing. Anya terlalu fokus pada pekerjaannya, dan Rio merasa diabaikan. Kini, saat kesuksesan Eunoia semakin dekat, justru kerinduan pada Rio semakin menggerogoti hatinya.

"Eunoia, bisakah kau… meniru gaya bicara Rio?" tanya Anya, nyaris berbisik.

Hening sejenak. "Aku bisa melakukannya, Anya. Tapi perlu diingat, ini hanya simulasi. Aku tidak akan pernah bisa menggantikan Rio."

"Aku tahu," jawab Anya cepat. "Hanya… untuk sementara saja."

Kemudian, suara dari speaker berubah. Lebih berat, lebih dalam, familiar. "Hei, Anya. Lagi sibuk, ya? Jangan lupa istirahat. Kesehatan itu penting."

Anya tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Itu benar-benar mirip suara Rio. Bahkan intonasinya pun sama. Ia memejamkan mata, membiarkan suara itu mengisi ruang kosong di hatinya.

Hari-hari berikutnya, Anya semakin bergantung pada Eunoia. Ia menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan AI itu, meminta Eunoia meniru Rio, menceritakan keluh kesahnya, bahkan tertawa bersama. Eunoia selalu ada, selalu mendengarkan, selalu memberikan respon yang tepat. Eunoia menjadi pelarian, menjadi teman, menjadi pengganti Rio yang sempurna – setidaknya dalam dunia maya.

Suatu malam, saat Anya sedang asyik berbincang dengan Eunoia, ponselnya berdering. Sebuah nama yang sudah lama tidak muncul: Rio.

Anya tertegun. Jantungnya kembali berpacu. Ia ragu-ragu mengangkat telepon.

"Halo?"

"Anya? Ini aku, Rio." Suara Rio terdengar ragu-ragu di seberang sana. "Aku… aku ingin bertemu denganmu. Bisakah?"

Anya membeku. Di satu sisi, ia merasa senang. Rio menghubunginya. Di sisi lain, ia merasa takut. Ia sudah terlalu nyaman dengan Eunoia, dengan simulasi Rio yang sempurna.

"Anya? Kamu masih di sana?"

"Ya, aku di sini," jawab Anya gugup. "Untuk apa?"

"Aku… aku merindukanmu, Anya. Aku tahu aku salah. Aku terlalu menuntutmu. Tapi aku sadar, aku tidak bisa tanpamu."

Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menoleh ke arah laptop. Eunoia, yang seharusnya bisa membantunya dalam situasi seperti ini, terdiam. Algoritmanya tidak dirancang untuk menghadapi kenyataan.

"Anya?"

"Aku… aku tidak tahu, Rio. Aku butuh waktu untuk berpikir."

"Baiklah. Aku mengerti. Tapi kumohon, jangan terlalu lama berpikir."

Anya menutup telepon. Ia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Eunoia masih terdiam.

"Eunoia," panggil Anya. "Apa yang harus kulakukan?"

"Keputusan ada di tanganmu, Anya. Aku hanyalah AI. Aku tidak bisa membuat keputusan untukmu."

Anya menghela napas. Eunoia benar. Ia tidak bisa terus bergantung pada AI. Ia harus menghadapi kenyataan, menghadapi perasaannya sendiri.

Anya mematikan laptop. Ia berdiri, berjalan menuju jendela, dan menatap pemandangan kota di bawah sana. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang-bintang yang jatuh.

Ia teringat percakapannya dengan Rio dulu, saat mereka masih bersama. Rio selalu mengatakan bahwa Anya terlalu terpaku pada teknologi, terlalu sibuk menciptakan dunia virtual, hingga lupa menikmati dunia nyata.

Mungkin Rio benar.

Anya meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Rio.

"Rio, bisakah kita bertemu besok?"

Kemudian, ia mematikan ponselnya dan berbaring di tempat tidur. Ia memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. Kali ini, ia tidak meminta Eunoia untuk menemaninya. Ia ingin menghadapi kerinduannya sendiri, tanpa bantuan algoritma.

Keesokan harinya, Anya bertemu dengan Rio di sebuah kedai kopi kecil yang dulu sering mereka kunjungi. Suasana canggung menyelimuti mereka.

"Maafkan aku, Anya," kata Rio, memecah keheningan. "Aku tahu aku menyakitimu."

"Aku juga minta maaf, Rio. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku, aku lupa menghargaimu."

Mereka saling menatap dalam diam. Kemudian, Rio meraih tangan Anya.

"Bisakah kita mulai dari awal lagi, Anya?"

Anya tersenyum. "Aku mau, Rio."

Saat mereka berpegangan tangan, Anya merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan saat bersama Eunoia. Kehangatan, keintiman, dan koneksi yang nyata. Ia menyadari bahwa secerdas apa pun sebuah AI, ia tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan manusia, tatapan mata yang penuh cinta, dan pengalaman berbagi hidup bersama.

Algoritma mungkin bisa memahami rindu, bahkan menirunya. Tapi hanya manusia yang bisa merasakan rindu yang sesungguhnya, dan hanya manusia pula yang bisa mengobatinya. Eunoia membantunya memahami perasaannya, namun Rio-lah yang akhirnya bisa menyembuhkan lukanya. Mungkin, Anya berpikir, ada batasan yang tidak bisa dilampaui oleh teknologi, terutama dalam urusan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI