"Kamu tahu, aku sedang mempertimbangkan untuk mengunduh 'Soul Weaver'," ujar Riana, menatap layar laptopnya dengan mata sayu. Di seberangnya, Arya menyesap kopi pahitnya, berusaha menutupi keterkejutannya.
"Soul Weaver? Aplikasi kencan berbasis AI yang katanya bisa menjodohkanmu dengan 'belahan jiwa' berdasarkan algoritma?" tanya Arya, mengerutkan kening. "Riana, itu terdengar... dystopian."
Riana menghela napas. "Aku tahu, aku tahu. Tapi, Arya, lihat aku. Dua tahun setelah putus dari David, dan aku masih merasa seperti ada lubang menganga di dadaku. Aku sudah mencoba semua cara: terapi, liburan, bahkan kelas melukis cat air yang menyebalkan. Tidak ada yang berhasil."
Arya, sahabat Riana sejak bangku kuliah, mengerti betul lukanya. David, cinta pertama Riana, meninggalkannya demi karier di luar negeri. Luka itu terlalu dalam, terlalu perih, dan Riana tak pernah benar-benar pulih.
"Aku hanya... putus asa," bisik Riana, suaranya bergetar. "Mungkin algoritma lebih tahu apa yang kubutuhkan daripada diriku sendiri."
Arya menaruh cangkirnya. "Riana, hati itu bukan kode program. Kamu tidak bisa memperbaikinya dengan algoritma. Cinta itu rumit, berantakan, dan seringkali tidak masuk akal. Itu bukan sesuatu yang bisa diprediksi atau direkayasa."
Riana membalas tatapannya, ada setitik harapan di matanya. "Tapi, bagaimana jika... bagaimana jika Soul Weaver bisa membantuku menemukan seseorang yang setidaknya kompatibel denganku? Seseorang yang bisa membuatku merasa... normal lagi?"
Arya menghela napas lagi. "Terserah padamu. Tapi, berjanjilah padaku, jangan terlalu berharap. Jangan biarkan algoritma menentukan siapa dirimu dan apa yang kamu inginkan."
Riana mengangguk, meski tatapannya masih meragukan. Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Riana mengunduh Soul Weaver. Proses pendaftarannya terasa aneh. Aplikasi itu meminta informasi yang sangat personal: bukan hanya riwayat pendidikan dan pekerjaan, tapi juga kenangan masa kecil, mimpi terpendam, bahkan ketakutan terbesarnya.
Algoritma Soul Weaver bekerja dengan cepat dan efisien. Dalam hitungan jam, Riana mendapatkan daftar "potensi belahan jiwa" yang kompatibel dengannya berdasarkan persentase. Peringkat teratas adalah seorang pria bernama Elara. Persentasenya? 98,7%.
Elara adalah seorang arsitek lanskap, penyuka buku klasik, dan pendengar setia musik jazz. Profilnya terasa sempurna, seperti dirancang khusus untuk memenuhi semua kriteria ideal Riana. Mereka mulai bertukar pesan, lalu beralih ke panggilan video. Elara selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana cara membuatnya tertawa, dan bagaimana cara mendengarkan keluh kesahnya.
Riana merasa anehnya nyaman. Elara seperti versi ideal dari apa yang selalu dia inginkan: perhatian, pengertian, dan koneksi yang dalam. Mereka berkencan, dan setiap kencan terasa seperti adegan yang diambil dari film romantis. Elara selalu membawakan bunga favoritnya, selalu membuka pintu untuknya, dan selalu tahu cara membuat malamnya terasa istimewa.
Namun, di balik semua kesempurnaan itu, Riana merasakan sesuatu yang mengganjal. Interaksi mereka terasa terlalu... terstruktur. Terlalu mulus. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, tidak ada momen canggung yang justru seringkali menjadi bumbu dalam sebuah hubungan.
Suatu malam, saat mereka makan malam di sebuah restoran Italia yang mewah, Riana memberanikan diri bertanya. "Elara, ini mungkin terdengar aneh, tapi... apakah kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan?"
Elara tersenyum misterius. "Tentu saja. Aku ingin membuatmu bahagia, Riana. Bukankah itu yang paling penting?"
Riana merasa tidak nyaman. "Iya, tapi... bagaimana kamu bisa tahu begitu banyak tentangku? Bahkan hal-hal yang belum pernah kuceritakan pada siapa pun?"
Elara terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada yang terdengar agak kaku. "Algoritma Soul Weaver sangat canggih, Riana. Ia mempelajari semua informasi yang kamu berikan, dan menganalisisnya untuk memahami dirimu seutuhnya. Aku hanya menggunakan informasi itu untuk membangun hubungan yang paling optimal denganmu."
Malam itu, Riana tidak bisa tidur. Kata-kata Elara terus terngiang di telinganya. Hubungan mereka terasa seperti simulasi, sebuah eksperimen yang dirancang oleh algoritma. Dia merasa seperti pion dalam permainan yang lebih besar, bukan sebagai individu yang dicintai dan dihargai apa adanya.
Keesokan harinya, Riana menemui Arya. Ia menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir. Arya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
"Aku tahu, aku sudah memperingatkanmu," kata Arya akhirnya. "Riana, kamu tidak bisa menyerahkan hatimu pada algoritma. Hati itu perlu merasakan sakit, perlu merasakan kekecewaan, perlu merasakan kebingungan. Itulah yang membuat kita menjadi manusia."
Riana menunduk. "Aku tahu. Aku hanya... takut sakit lagi."
Arya meraih tangannya. "Aku tahu. Tapi, Riana, kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam zona nyaman. Kamu harus berani mengambil risiko, berani membuka hatimu lagi, bahkan jika itu berarti terluka."
Riana mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Apa yang harus kulakukan?"
"Putuskan hubungan dengan Elara," kata Arya tegas. "Hapus Soul Weaver. Dan mulailah mencari cinta dengan cara yang jujur, dengan cara yang alami. Kamu layak mendapatkan cinta yang nyata, Riana. Bukan cinta yang diprogram."
Dengan berat hati, Riana mengikuti saran Arya. Ia mengirimkan pesan perpisahan kepada Elara, menjelaskan perasaannya dan mengucapkan selamat tinggal. Balasan Elara singkat dan tanpa emosi: "Semoga sukses dalam pencarianmu, Riana. Algoritma akan terus beradaptasi untuk menemukan pasangan yang lebih kompatibel untukmu."
Riana menghapus Soul Weaver dari ponselnya. Saat aplikasi itu hilang dari layar, ia merasakan kebebasan yang aneh. Kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, dengan segala ketidaksempurnaannya.
Beberapa bulan kemudian, Riana bertemu dengan seorang pria bernama Leo di sebuah kedai kopi. Leo bukan arsitek lanskap, bukan penyuka buku klasik, dan bukan pendengar setia musik jazz. Leo adalah seorang mekanik motor yang menyukai musik rock dan memiliki selera humor yang buruk. Mereka tidak memiliki kesamaan yang signifikan, tapi mereka memiliki sesuatu yang lebih penting: ketertarikan yang jujur, spontanitas, dan kemampuan untuk saling menerima apa adanya.
Hubungan mereka tidak berjalan mulus. Ada pertengkaran, ada kesalahpahaman, ada momen canggung yang membuat Riana ingin bersembunyi di bawah meja. Tapi, di balik semua itu, ada cinta yang tumbuh perlahan tapi pasti. Cinta yang nyata, cinta yang berantakan, cinta yang manusiawi.
Riana tersenyum, menatap Leo yang sedang sibuk mengutak-atik mesin espresso. Mungkin algoritma bisa mencarikanmu pasangan yang kompatibel, tapi hanya hati yang bisa menjahit hati yang terkoyak asmara. Dan terkadang, jahitannya tidak sempurna, tapi itulah yang membuatnya indah.