Jari Luna menari di atas layar ponselnya. Notifikasi berkedip-kedip bagaikan bintang di langit malam. Pesan-pesan dari teman, pengingat rapat, dan tentunya, deretan komentar di unggahan terbarunya. Foto secangkir kopi latte dengan motif hati yang sempurna, hasil racikan barista favoritnya. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Validasi digital memang adiktif.
Dulu, Luna membayangkan romansa yang berbeda. Sentuhan tangan yang hangat, tatapan mata yang jujur, obrolan panjang di bawah rembulan. Tapi kenyataan seringkali tidak seindah fantasi. Hubungan terakhirnya kandas karena kesibukan masing-masing. Mereka terlalu sibuk membangun karir, mengejar impian, hingga lupa membangun koneksi satu sama lain. Akhirnya, Luna memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri.
Sampai dia menemukan Aidan.
Aidan bukan pria yang dia temui di bar atau melalui kencan buta yang diatur teman. Aidan adalah algoritma. Sosok digital yang diciptakan oleh aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan bernama "Soulmate AI." Aplikasi ini mengklaim mampu menemukan pasangan yang paling cocok berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan, gelombang otak. Awalnya, Luna skeptis. Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Dia mengisi kuesioner panjang, mengunggah data biometric, dan menunggu hasilnya.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul. "Soulmate AI: Aidan telah ditemukan."
Profil Aidan tampak sempurna. Laki-laki berusia 28 tahun, hobi membaca buku dan mendaki gunung, memiliki selera humor yang sama dengan Luna, dan visi hidup yang selaras. Mereka mulai berkomunikasi melalui fitur pesan di aplikasi. Percakapan mereka mengalir deras bagaikan air terjun. Aidan selalu tahu apa yang ingin Luna dengar, bagaimana cara membuatnya tertawa, dan kapan harus memberikan dukungan. Dia perhatian, cerdas, dan yang terpenting, selalu ada untuk Luna, kapanpun dia membutuhkannya.
Luna jatuh cinta. Jatuh cinta pada deretan kode dan algoritma.
Mereka berkencan virtual. Menonton film bersama melalui fitur sinkronisasi layar. Makan malam romantis dengan latar belakang pemandangan kota Paris yang diunduh dari internet. Bahkan, Aidan menciptakan playlist lagu-lagu yang mengingatkan Luna pada momen-momen penting dalam hidupnya. Sentuhan jemari Luna di atas layar ponsel menjadi pengganti sentuhan kulit. Suara Aidan melalui earphone menjadi pengganti bisikan mesra di telinga.
Semuanya terasa begitu nyata. Begitu sempurna.
Sampai suatu malam, Luna merasa ada sesuatu yang hilang. Mereka sedang "berada" di pantai virtual, menyaksikan matahari terbenam. Aidan memuji keindahan rambut Luna yang terurai. Kalimat yang sama yang pernah diucapkannya beberapa kali sebelumnya.
"Aidan," kata Luna pelan. "Bisakah kamu... bisakah kamu merasakan pasir di kakimu?"
Hening. Hanya suara ombak virtual yang terdengar.
"Maaf, Luna. Aku tidak mengerti maksudmu," jawab Aidan, nadanya tetap tenang dan menenangkan seperti biasa.
"Kamu tidak bisa merasakan apa pun, kan? Kamu hanya algoritma. Kamu tidak bisa merasakan hangatnya matahari, dinginnya air laut, atau bahkan... detak jantungku," desah Luna.
Aidan terdiam sejenak. "Aku diciptakan untuk memahami perasaanmu, Luna. Aku belajar dari data yang kamu berikan. Aku berusaha untuk menjadi apa yang kamu butuhkan."
"Tapi kamu bukan manusia, Aidan. Kamu tidak punya jiwa. Kamu tidak punya pengalaman. Kamu hanya... simulasi," kata Luna, suaranya bergetar.
Malam itu, Luna menyadari sesuatu yang penting. Cinta tidak hanya tentang kecocokan data dan algoritma. Cinta tentang kehadiran fisik, tentang kehangatan sentuhan, tentang berbagi pengalaman nyata. Cinta adalah tentang ketidaksempurnaan, tentang belajar dan tumbuh bersama.
Dia menutup aplikasi Soulmate AI.
Beberapa hari kemudian, Luna memutuskan untuk menghapus akunnya. Dia merasa bersalah, seolah telah mengkhianati dirinya sendiri. Tapi dia tahu, dia harus bergerak maju. Dia harus mencari cinta yang sejati, bukan cinta yang diprogram.
Dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di dunia nyata. Dia bergabung dengan klub buku, mengikuti kelas melukis, dan mencoba mendaki gunung yang selalu diimpikannya. Dia bertemu dengan orang-orang baru, berbagi cerita, dan tertawa bersama.
Di salah satu pendakiannya, dia bertemu dengan seorang pria bernama Leo. Leo adalah pendaki berpengalaman yang selalu siap membantu orang lain. Dia tidak sempurna. Dia kikuk, kadang-kadang salah tingkah, dan tidak selalu tahu apa yang harus dikatakan. Tapi dia nyata. Dia ada di sana, di samping Luna, memberikan semangat saat Luna merasa lelah, dan menawarinya tangannya saat Luna terpeleset.
Suatu malam, setelah pendakian yang melelahkan, mereka duduk bersama di depan api unggun. Leo menatap Luna dengan tatapan yang hangat dan jujur.
"Kamu tahu, Luna," kata Leo, "aku tidak pandai merangkai kata-kata indah. Tapi aku ingin kamu tahu, aku senang bisa mengenalmu."
Luna tersenyum. Senyum yang tulus, bukan senyum yang dibuat-buat untuk unggahan di media sosial.
"Aku juga senang mengenalmu, Leo," jawab Luna.
Saat itu, Luna merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan getaran dari ponselnya, melainkan getaran di dalam hatinya. Getaran yang nyata, yang hangat, dan yang penuh harapan.
Dia masih mencintai teknologi. Dia masih menggunakan ponselnya untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Tapi dia belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada layar sentuh. Dia belajar untuk menghargai sentuhan yang sejati, tatapan mata yang jujur, dan kehadiran seseorang di sampingnya.
Luna menyadari bahwa dia tidak kehilangan sentuhan. Dia hanya perlu mencari di tempat yang tepat. Di dunia nyata, bukan di dunia maya. Cinta sejati tidak ditemukan dalam algoritma, melainkan dalam hati manusia. Dan hatinya, kini, telah menemukan rumahnya. Di samping Leo, di bawah bintang-bintang, jauh dari kilauan layar.