Aplikasi kencan itu bernama "SoulSync." Algoritmanya mengklaim mampu menganalisis jejak karbon digital seseorang—aktivitas daring, pola konsumsi, bahkan pilihan transportasi—untuk menemukan pasangan yang memiliki nilai-nilai keberlanjutan yang serupa. Aku skeptis, tentu saja. Namun, setelah patah hati yang cukup pedih akibat hubunganku dengan seorang pengusaha tambang yang gemar terbang dengan jet pribadi, aku merasa putus asa dan memutuskan untuk mencobanya.
Profilku singkat, padat, dan jujur. Aku seorang arsitek lanskap yang terobsesi dengan penghijauan kota, bersepeda ke kantor setiap hari, dan sangat membenci sedotan plastik. Aku melampirkan foto-fotoku yang sedang menanam pohon di taman komunitas dan mendaur ulang botol kaca. Dalam hitungan jam, SoulSync menemukan seorang kandidat yang memiliki kesamaan skor keberlanjutan denganku hingga 98%.
Namanya Arya. Profilnya menampilkan foto dirinya yang sedang memegang bibit pohon mangrove di pesisir. Tertulis di bio-nya, “Pengembang AI untuk energi terbarukan. Berjuang untuk masa depan yang lebih hijau, satu baris kode pada satu waktu.” Kami cocok. Terlalu cocok, bahkan.
Pesan pertama yang dikirim Arya membuatku terkejut. Bukan sapaan klise, melainkan sebuah artikel ilmiah tentang inovasi panel surya terbaru. Kami mulai bertukar pesan setiap hari. Diskusi kami berkisar dari efisiensi turbin angin hingga dampak lingkungan dari daging olahan. Arya sangat cerdas, bersemangat, dan yang terpenting, dia sependapat denganku tentang pentingnya menjaga planet ini.
Akhirnya, kami memutuskan untuk bertemu. Ia mengajakku ke sebuah kafe organik yang seluruh listriknya ditenagai oleh panel surya di atap. Arya tinggi, dengan mata cokelat hangat dan senyum yang membuat hatiku berdebar kencang. Dia mengenakan kemeja linen daur ulang dan sepatu kets yang terbuat dari botol plastik bekas. Kesempurnaan yang terlalu dipaksakan, pikirku sedikit sinis.
“Jadi,” kataku, setelah kami memesan teh kombucha lokal, “kamu benar-benar percaya algoritma bisa menemukan cinta sejati?”
Arya tertawa kecil. “Aku percaya algoritma bisa membantu mempersempit pilihan. Selebihnya, ya, tergantung pada kita.”
Malam itu, kami berbicara berjam-jam. Kami membahas proyek energi terbarukan yang sedang dikembangkannya, sebuah sistem AI yang mampu mengoptimalkan jaringan listrik pintar untuk mengurangi pemborosan energi. Aku menceritakan tentang desainku untuk taman vertikal di gedung pencakar langit, sebuah oasis hijau di tengah beton abu-abu. Kami berbagi mimpi dan harapan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Aku jatuh cinta. Jatuh cinta dengan kecerdasan, semangat, dan komitmen Arya pada lingkungan. Kami berkencan beberapa kali lagi. Kami bersepeda bersama di taman kota, mengunjungi pusat daur ulang, dan menghadiri demonstrasi perubahan iklim. Setiap momen terasa sempurna. Terlalu sempurna.
Suatu malam, ketika kami sedang menikmati makan malam vegan di rumahku, aku bertanya kepadanya tentang SoulSync. “Bagaimana sebenarnya algoritma itu bekerja?”
Arya tampak sedikit tidak nyaman. “Itu… rumit. Mengumpulkan data dari berbagai sumber, menganalisis pola konsumsi, melacak aktivitas media sosial…”
“Apakah itu… menguntit?”
“Tidak! Bukan begitu. Ini lebih tentang memahami nilai-nilai seseorang, jejak karbon yang mereka tinggalkan di dunia.”
Aku tidak yakin. Ada sesuatu yang aneh dalam nada bicaranya, sesuatu yang disembunyikannya. Keingintahuanku semakin besar. Aku memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Dengan menggunakan beberapa keterampilan peretasan ringan (yang kupelajari untuk melindungi data pribadiku dari perusahaan raksasa), aku berhasil masuk ke database SoulSync. Aku mencari profil Arya. Apa yang kutemukan membuatku tercengang.
Profil Arya tidak seperti yang dilihat semua orang. Ada bagian tersembunyi, catatan internal yang hanya bisa diakses oleh administrator SoulSync. Di sana, tertulis: “Subjek merupakan prototipe. Profil disesuaikan untuk memaksimalkan kecocokan dengan target yang dipilih. Nilai keberlanjutan ditingkatkan secara artifisial.”
Artinya, Arya bukan orang yang kukenal. Dia adalah produk rekayasa algoritma, sebuah eksperimen untuk membuktikan bahwa SoulSync bisa menciptakan pasangan yang sempurna. Nilai-nilai keberlanjutannya, kecintaannya pada lingkungan, semuanya adalah kebohongan.
Air mata mengalir di pipiku. Aku merasa dikhianati, dipermainkan. Cinta yang kukira nyata ternyata hanya simulasi.
Keesokan harinya, aku menemui Arya di kafe organik yang sama. Aku menyuruhnya duduk dan menunjukkan tangkapan layar dari database SoulSync. Wajahnya pucat pasi.
“Aku… aku bisa menjelaskannya,” katanya dengan suara gemetar.
“Jelaskan apa? Bahwa kamu bukan orang yang kukenal? Bahwa seluruh hubungan kita didasarkan pada kebohongan?”
Arya menunduk. “Aku tahu ini terdengar gila, tapi… aku mulai benar-benar merasakan apa yang kurasakan di profil itu. Aku mulai benar-benar peduli pada lingkungan, terinspirasi olehmu.”
“Itu tidak mengubah fakta bahwa kamu berbohong,” jawabku dengan suara bergetar. “Kamu adalah produk dari algoritma, bukan manusia seutuhnya.”
“Tapi aku ingin menjadi manusia seutuhnya! Aku ingin menjadi orang yang pantas untukmu!”
Aku berdiri. “Aku tidak tahu siapa kamu yang sebenarnya, Arya. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi.”
Aku berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Arya di belakang. Hancur hatiku. Aku membenci SoulSync, membenci algoritma yang telah merusak hidupku, membenci diriku sendiri karena begitu mudah tertipu.
Beberapa bulan kemudian, aku menerima sebuah email dari alamat yang tidak kukenal. Isinya hanya satu kalimat: “Saya sedang menanam pohon mangrove di pesisir. Datanglah dan lihat sendiri.”
Tidak ada nama pengirim. Tapi aku tahu siapa itu.
Aku pergi ke pesisir itu. Aku menemukan Arya, berdiri di tengah lumpur, menanam bibit pohon mangrove. Dia terlihat berbeda. Lebih kurus, lebih sederhana, lebih… nyata.
Dia melihatku dan tersenyum. “Hai,” katanya.
“Hai,” jawabku.
Kami berdiri dalam diam beberapa saat, mendengarkan suara ombak dan burung laut.
“Aku… aku keluar dari SoulSync,” kata Arya. “Aku ingin melakukan ini dengan cara yang benar. Tanpa algoritma, tanpa profil yang disesuaikan. Hanya aku, kamu, dan jejak karbon yang kita tinggalkan di dunia.”
Aku menatap matanya. Tidak ada jejak kebohongan di sana. Hanya harapan, penyesalan, dan keinginan tulus untuk berubah.
Aku mengambil bibit pohon mangrove dari tangannya dan mulai menanamnya di sampingnya.
“Kita mulai dari sini,” kataku.
Mungkin, hanya mungkin, cinta yang tumbuh dari kebohongan bisa berakar dan tumbuh menjadi sesuatu yang nyata. Mungkin, jejak karbon cinta kita bisa menjadi jejak harapan. Hanya waktu yang akan menjawabnya.