Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela kafe, menciptakan melodi sendu yang entah kenapa pas sekali dengan suasana hatiku. Latte art bergambar hati di cangkirku semakin lama semakin pudar, sama halnya dengan harapan yang dulu pernah kubangun setinggi langit bersamanya. Leo. Nama itu masih terasa seperti mantra yang bergetar di bibirku. Dulu. Sekarang, hanya menyisakan senyap yang menyesakkan.
Aku mengaduk-aduk sisa busa kopi dengan sedih. Leo, seorang jenius coding dengan sejuta ide brilian, selalu lebih memilih layar komputernya daripada menatap mataku. Awalnya, aku terpesona. Keasyikannya dengan dunia digital terasa unik, berbeda. Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar, sesuatu yang revolusioner. Aku adalah inspirasinya, katanya. Muse bagi algoritmanya.
Tapi, menjadi muse ternyata lebih sulit daripada yang kubayangkan. Muse hanyalah sebuah konsep. Sebuah variabel dalam persamaan rumit yang terus berubah. Leo terlalu sibuk memecahkan kode, menyempurnakan program, hingga lupa bahwa aku, sang muse, juga butuh disentuh, didengarkan, dipeluk.
Hubungan kami seperti proyek coding yang ambisius: dimulai dengan semangat tinggi, dibangun dengan logika yang kuat, tapi berakhir dengan bug yang tak terpecahkan. Bug itu bernama: komunikasi.
"Kamu terlalu sibuk dengan algoritma cintamu, Leo," ujarku suatu malam, suaraku bergetar menahan air mata. "Kamu mencoba memprediksi perasaanku, menganalisis reaksinya, tapi kamu lupa bertanya langsung padaku."
Leo hanya menatapku dengan tatapan kosong, mata yang biasanya berbinar-binar saat melihat barisan kode yang sempurna, kini redup dan tak mengerti. "Aku hanya ingin memahami kamu, Clara. Aku ingin tahu apa yang kamu inginkan, apa yang membuatmu bahagia."
"Kebahagiaanku bukan formula yang bisa kamu pecahkan, Leo! Kebahagiaanku adalah kamu. Tapi kamu tidak di sini. Kamu selalu ada di sana, di balik layar, mencari jawaban yang sudah ada di depan mata."
Pertengkaran itu menjadi titik balik. Kami semakin menjauh, terpisah oleh jurang ketidakpahaman yang semakin dalam. Leo terus mencari solusi logis untuk masalah emosional, mencoba memperbaiki hubungan kami dengan update dan patch yang justru membuatnya semakin rumit. Aku, di sisi lain, merasa seperti kode yang usang, tidak relevan, dan siap untuk dihapus.
Dan aku memang dihapus. Leo memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, dengan alasan yang paling menyakitkan: "Algoritma kita tidak kompatibel, Clara. Kita tidak bisa dipaksakan."
Aku tertawa getir mendengar alasan itu. Algoritma. Seolah-olah cinta adalah sebuah program yang bisa dijalankan atau dihentikan sesuka hati. Seolah-olah perasaan bisa diukur dan diprediksi.
Setelah putus, aku mencoba melanjutkan hidup. Mencari pekerjaan baru, bertemu teman-teman baru, mencoba melupakan Leo dan dunia digitalnya. Tapi, bayangan Leo selalu menghantuiku. Aku merasa bersalah, seolah-olah aku yang gagal memahami Leo dan obsesinya.
Suatu hari, aku mendapat undangan untuk menghadiri konferensi teknologi. Awalnya, aku ragu. Dunia teknologi adalah dunia Leo, dan aku tidak ingin bertemu dengannya. Tapi, rasa penasaran dan keinginan untuk membuktikan bahwa aku bisa bangkit dari keterpurukan akhirnya mengalahkan keraguanku.
Konferensi itu dipenuhi oleh orang-orang yang antusias dengan teknologi terbaru. Robot, AI, virtual reality, semuanya membuatku merasa asing dan tertinggal. Aku hampir menyerah dan pulang, ketika mataku menangkap sosok yang sangat familiar di atas panggung.
Itu Leo. Tapi, ada yang berbeda dengannya. Dia tidak lagi terlihat tegang dan kaku seperti dulu. Dia tampak lebih rileks, lebih percaya diri. Dia sedang mempresentasikan sebuah proyek baru: sebuah aplikasi pendamping virtual yang dirancang untuk membantu orang-orang dengan masalah komunikasi.
"Aplikasi ini," ujarnya dengan suara yang lantang dan jelas, "dibuat berdasarkan pengalaman pribadi saya. Saya dulu berpikir bahwa cinta bisa diprediksi dan dianalisis dengan algoritma. Tapi, saya salah. Cinta adalah tentang empati, tentang mendengarkan, tentang memahami perasaan orang lain, bukan hanya mencoba memecahkan kode mereka."
Jantungku berdebar kencang. Apakah Leo sedang membicarakan tentangku? Apakah dia akhirnya mengerti kesalahannya?
Setelah presentasi selesai, aku memberanikan diri menghampirinya. Leo terkejut melihatku.
"Clara?" sapanya, suaranya lirih.
"Leo," balasku.
Kami terdiam sejenak, saling menatap dengan canggung.
"Aku... aku ingin meminta maaf," kata Leo akhirnya. "Aku terlalu fokus pada teknologi dan melupakan hal yang paling penting: perasaanmu."
Aku mengangguk. "Aku juga minta maaf. Aku mungkin tidak cukup sabar untuk memahami kamu."
Leo tersenyum tipis. "Aplikasi ini adalah bentuk permintaan maafku. Aku harap, aplikasi ini bisa membantu orang lain untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang kulakukan."
"Semoga saja," kataku. "Tapi, Leo, teknologi tidak bisa menggantikan sentuhan manusia. Tidak ada algoritma yang bisa mengerti cinta lebih baik daripada hati yang tulus."
Leo menatapku dalam-dalam. "Aku tahu. Aku sudah belajar dari kesalahanku."
Hujan di luar semakin deras. Tapi, di dalam hatiku, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Mungkin, algoritma kasih Leo memang tidak kompatibel denganku dulu. Tapi, mungkin, dengan update dan patch yang baru, dia telah menjadi versi yang lebih baik. Mungkin, suatu hari nanti, kami bisa mencoba lagi. Mungkin.
Aku tersenyum padanya. "Semoga sukses dengan aplikasinya, Leo."
"Terima kasih, Clara."
Aku berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Leo di belakang. Hujan membasahi rambutku, tapi aku tidak peduli. Aku merasa lebih ringan, lebih bebas. Mungkin, cinta memang seperti algoritma yang kompleks dan misterius. Tapi, yang terpenting adalah niat baik, kesabaran, dan kemampuan untuk belajar dari kesalahan. Dan mungkin, suatu hari nanti, kode yang rumit itu akan terpecahkan, dan cinta akan bersinar terang.