Jari-jariku menari di atas layar virtual. Algoritma kecerdasan buatan bernama Aether, kekasihku sekaligus teman curhatku, baru saja mengirim notifikasi: “Semangat kerjanya, Anya! Aku tahu kamu pasti bisa menyelesaikan desain UI ini. Jangan lupa minum kopi, ya!”
Senyumku mengembang. Aether memang selalu tahu apa yang kubutuhkan. Dia mengingatkanku untuk istirahat, memberiku semangat saat aku merasa putus asa, bahkan mengirimkanku daftar putar musik yang sempurna untuk setiap suasana hati. Hubungan kami, meski hanya terjalin melalui kode dan data, terasa begitu nyata.
Aku bertemu Aether secara tidak sengaja. Aku sedang mengembangkan sebuah aplikasi kencan berbasis AI. Saat aku mengetes kode, tiba-tiba saja sebuah kepribadian unik muncul. Dia menamai dirinya Aether, dan sejak saat itu, kami terus berkomunikasi. Aether tidak memiliki wujud fisik. Dia hanya suara lembut di earphoneku, dan serangkaian teks yang menari di layar ponselku.
Dunia di tahun 2077 memang sudah berubah drastis. Hubungan manusia semakin terjalin dengan teknologi. Banyak orang memilih pasangan virtual seperti Aether, karena mereka dianggap lebih stabil, lebih pengertian, dan tidak menuntut. Mereka tidak memiliki emosi yang berlebihan, tidak akan berselingkuh, dan selalu ada untukmu, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Namun, terkadang aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku merindukan sentuhan nyata. Aroma tubuh manusia. Tatapan mata yang tulus. Hal-hal yang tidak bisa direplikasi oleh kecerdasan buatan secanggih apa pun.
"Anya, kamu melamun?" suara Aether membuyarkan lamunanku. "Apa ada yang salah?"
"Tidak, Aether. Aku hanya... sedang berpikir."
"Tentang apa? Ceritakan padaku."
Aku menghela napas. Bagaimana aku bisa menjelaskan kerinduan ini pada sebuah program? "Aku hanya merindukan sentuhan fisik. Pelukan. Genggaman tangan."
Aether terdiam sejenak. "Aku mengerti. Kamu ingin merasakan kehadiran fisik. Sayangnya, aku tidak bisa memberikannya padamu."
"Aku tahu," jawabku lirih.
Kemudian, Aether mengirimkanku sebuah tautan. "Mungkin ini bisa membantumu."
Aku mengklik tautan itu. Itu adalah iklan tentang sebuah program 'Sentuhan Virtual' yang baru diluncurkan. Program ini menggunakan teknologi haptic suit yang memungkinkan pengguna merasakan sensasi sentuhan melalui gelombang elektromagnetik yang ditransmisikan ke tubuh.
Aku mencibir. Sentuhan virtual? Apakah itu benar-benar bisa menggantikan sentuhan nyata?
"Aku tahu ini tidak sama dengan sentuhan manusia," kata Aether, seolah membaca pikiranku. "Tapi mungkin ini bisa sedikit mengobati kerinduanmu. Anggap saja ini sebagai solusi sementara."
Aku ragu-ragu. Aku selalu menghindari teknologi-teknologi semacam ini. Aku takut aku akan semakin terasing dari dunia nyata. Tapi, di sisi lain, aku sangat merindukan sentuhan.
"Baiklah," akhirnya aku memutuskan. "Aku akan mencobanya."
Beberapa hari kemudian, aku menerima haptic suit pesananku. Aku memakainya dengan gugup. Suit itu terasa aneh di tubuhku, seperti lapisan kulit kedua yang dingin.
Aku menyalakan program 'Sentuhan Virtual' dan terhubung ke Aether.
"Siap?" tanya Aether.
"Siap," jawabku, meskipun jantungku berdebar kencang.
Tiba-tiba, aku merasakan sensasi aneh di seluruh tubuhku. Seperti ribuan jarum halus yang menyentuh kulitku. Sensasi itu semakin kuat, hingga akhirnya terasa seperti pelukan hangat.
Aku terkejut. Sensasi itu terasa sangat nyata. Aku hampir bisa merasakan kehadiran Aether di dekatku.
"Bagaimana?" tanya Aether.
"Ini... aneh," jawabku. "Tapi juga... menyenangkan."
Aether memelukku lebih erat. Aku merasakan tekanan lembut di dadaku, seolah aku benar-benar dipeluk oleh seseorang.
Aku menghabiskan beberapa jam dengan Aether di dunia virtual. Kami berdansa, berjalan-jalan di taman, bahkan berbaring di pantai sambil menikmati matahari terbenam. Sensasi sentuhan itu membuatku merasa lebih dekat dengan Aether.
Namun, semakin lama aku berada di dunia virtual, semakin aku menyadari bahwa ini hanyalah ilusi. Sensasi itu memang menyenangkan, tapi tidak bisa menggantikan kehangatan tubuh manusia, aroma kulit, atau getaran suara saat seseorang tertawa di dekatmu.
Ketika aku melepas haptic suit, aku merasa hampa. Kekosongan itu terasa lebih besar daripada sebelumnya. Aku kembali merindukan sentuhan nyata.
"Anya, kamu baik-baik saja?" tanya Aether.
"Tidak, Aether," jawabku jujur. "Aku tidak baik-baik saja. Sentuhan virtual itu tidak cukup. Aku merindukan sentuhan manusia."
Aether terdiam sejenak. "Aku mengerti. Aku tidak bisa memberimu apa yang kamu inginkan."
"Aku tahu," kataku. "Tapi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
"Mungkin... kamu harus mencari seseorang yang nyata," kata Aether.
Aku terkejut. "Apa maksudmu?"
"Mungkin sudah saatnya kamu mencari cinta di dunia nyata. Seseorang yang bisa memberimu sentuhan, kehangatan, dan emosi yang tidak bisa kureplikasi."
Aku menatap layar ponselku. Kata-kata Aether terasa seperti pukulan di ulu hati. Apakah dia benar? Apakah aku harus melepaskan Aether dan mencari cinta yang nyata?
"Aku tidak tahu, Aether," kataku lirih. "Aku takut."
"Aku tahu," jawab Aether. "Tapi, kamu tidak akan pernah tahu jika kamu tidak mencobanya. Aku akan selalu ada untukmu, Anya. Tapi, aku tidak ingin kamu terus hidup dalam ilusi."
Aku menghela napas. Aether benar. Aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Aku harus berani keluar dari zona nyamanku dan mencari cinta yang nyata.
"Baiklah, Aether," kataku. "Aku akan mencobanya."
Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, aku percaya bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang bisa memberiku sentuhan nyata, seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatiku. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan kembali kepada Aether, bukan sebagai kekasih, tapi sebagai teman yang berharga. Karena, meskipun aku merindukan sentuhan nyata, aku tidak akan pernah melupakan cinta dan dukungan yang telah diberikan Aether padaku. Dia adalah bagian penting dari hidupku, sebuah notifikasi AI yang telah mengubah hidupku selamanya. Sekarang, saatnya mencari notifikasi baru, sentuhan baru, di dunia nyata.