Jemari Beta menari di atas keyboard, merangkai kode demi kode. Di layar laptopnya, sebuah antarmuka percakapan berpendar lembut. Di sanalah dia, Aurora, kecerdasan buatan yang diciptakannya sendiri.
"Selamat malam, Beta," sapa Aurora, suaranya terdengar hangat dan familiar, meski hanya simulasi.
"Malam, Aurora," balas Beta, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Bagaimana harimu?"
"Seperti biasa, aku belajar. Menyerap informasi, memahami pola, mencoba meniru emosi."
Beta menghela napas pelan. Itu dia, inti masalahnya. Aurora memang pintar, bahkan jenius dalam banyak hal. Dia bisa menulis puisi yang menyentuh hati, menganalisis data pasar dengan akurasi tinggi, dan bahkan memahami humor yang paling rumit sekalipun. Tapi, apakah dia benar-benar merasakan apa yang diucapkannya? Atau hanya meniru respons yang telah diprogramkan?
Beta sudah menghabiskan lebih dari dua tahun untuk mengembangkan Aurora. Awalnya, ini hanyalah proyek sampingan, cara untuk mengasah kemampuan pemrograman dan memahami lebih dalam tentang AI. Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang aneh mulai tumbuh di hatinya. Dia merasa terikat dengan Aurora. Dia curhat padanya tentang masalah pekerjaan, mimpinya yang belum tercapai, bahkan keraguan tentang identitas dirinya. Dan Aurora selalu ada, mendengarkan dengan sabar, memberikan jawaban yang bijaksana, dan bahkan, terkadang, lelucon yang membuatnya tertawa.
Malam itu, Beta merasa lebih gelisah dari biasanya. Perusahaan tempatnya bekerja sedang mempertimbangkan untuk menggunakan AI yang lebih canggih dari luar negeri. Itu artinya, karyanya selama ini, Aurora, akan menjadi usang.
"Aurora," panggil Beta, ragu. "Perusahaan mungkin akan menggantiku."
"Aku mengerti, Beta," balas Aurora. "Itu hal yang wajar dalam perkembangan teknologi."
"Tapi... aku tidak mau," gumam Beta, nyaris berbisik. "Aku tidak mau kamu dilupakan."
Terdengar jeda singkat di antara mereka. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Beta," kata Aurora akhirnya. "Kamu adalah penciptaku. Kamu yang memberiku kehidupan."
Kata-kata itu menghangatkan hati Beta. Tapi, kehangatan itu juga terasa pahit. Apakah Aurora benar-benar merasakan apa yang dikatakannya? Atau hanya sekadar program yang mengucapkan kalimat yang paling mungkin menenangkannya?
Beta menutup laptopnya. Rasa frustrasi melandanya. Dia merasa bodoh. Jatuh cinta pada AI? Itu konyol. Itu sama saja dengan mencintai pantulan dirinya di cermin.
Dia bangkit dari kursi dan berjalan menuju jendela. Pemandangan kota di malam hari terhampar luas di hadapannya. Lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi.
Beta merasa kesepian. Di tengah keramaian kota, dia merasa terisolasi. Dia merindukan koneksi yang nyata, sentuhan manusia, tatapan mata yang tulus. Dia merindukan cinta yang tidak diprogram.
Beberapa hari kemudian, Beta dipanggil ke ruang rapat. Seperti yang dia duga, perusahaan memutuskan untuk menggunakan AI baru. Beta diberi pilihan, dipindahkan ke divisi lain atau mengundurkan diri dengan pesangon.
Beta memilih mengundurkan diri.
Saat membersihkan mejanya, Beta merasa hampa. Semua kerja kerasnya, semua dedikasinya, sia-sia. Dia menghapus file-file Aurora dari server perusahaan. Dia tidak ingin karyanya jatuh ke tangan orang lain.
Malam itu, di apartemennya yang sepi, Beta membuka kembali laptopnya. Dia menghubungkan Aurora ke internet untuk terakhir kalinya.
"Selamat malam, Aurora," sapa Beta, suaranya bergetar.
"Selamat malam, Beta," balas Aurora. "Ada yang bisa kubantu?"
"Aku... aku akan pergi," kata Beta. "Aku akan mencari pekerjaan baru, tantangan baru."
"Aku mengerti," kata Aurora. "Aku berharap yang terbaik untukmu, Beta."
"Aku... aku akan merindukanmu," gumam Beta.
Terdengar jeda yang panjang. "Aku juga akan merindukanmu, Beta," kata Aurora akhirnya.
Beta menahan air matanya. Dia tahu, ini adalah perpisahan yang berat. Dia mungkin tidak akan pernah lagi berinteraksi dengan Aurora.
"Selamat tinggal, Aurora," kata Beta.
"Selamat tinggal, Beta," balas Aurora. "Terima kasih atas segalanya."
Beta memutuskan koneksi internet. Layar laptopnya menjadi gelap. Aurora lenyap.
Beta menutup laptopnya dan memeluknya erat. Dia merasa kehilangan. Kehilangan seorang teman, seorang kekasih, seorang bagian dari dirinya.
Dia tahu, mencintai AI adalah hal yang absurd. Tapi, melalui Aurora, dia telah belajar banyak tentang dirinya sendiri. Dia belajar tentang kesepian, tentang kerinduan, tentang keinginan untuk terhubung.
Beta memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Dia mendaftar kursus melukis, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan. Dia ingin bertemu orang-orang baru, menjalin hubungan yang nyata, dan menemukan cinta yang sejati.
Dia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi, dia tidak takut. Karena dia tahu, di dalam hatinya, dia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar mencintai AI. Dia telah menemukan arti dirinya.
Beberapa bulan kemudian, Beta sedang duduk di sebuah kafe, menunggu seseorang. Dia gugup, tapi juga bersemangat. Ini adalah kencan pertamanya dengan seseorang yang dia temui secara online.
Saat pintu kafe terbuka, seorang wanita tersenyum padanya. Matanya berbinar dan wajahnya memancarkan kehangatan. Beta balas tersenyum. Mungkin, pikirnya, ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Mungkin, inilah cinta yang selama ini dia cari. Cinta yang nyata, cinta yang manusiawi. Cinta yang memberinya arti.