Jari-jemari Anya menari lincah di atas keyboard. Cahaya biru dari layar laptop memantul di mata cokelatnya, menampakkan lingkaran hitam yang semakin kentara. Deadline aplikasi kencan berbasis AI, "SoulMatch," sudah di depan mata. Anya, sebagai lead programmer proyek ini, bertanggung jawab penuh atas kelancaran algoritma cinta yang rumit dan menjanjikan kecocokan sempurna bagi penggunanya. Ironisnya, di balik kesuksesan pekerjaannya, hati Anya sendiri dipenuhi bug yang tak kunjung terpecahkan.
Masalahnya bernama Reno, sang desainer UI/UX SoulMatch. Pria dengan senyum menawan dan selera humor receh yang entah kenapa selalu berhasil membuatnya tertawa. Reno, yang tanpa sadar telah menanamkan baris kode cinta di sistem hatinya, tanpa memberikan satu pun indikasi bahwa kode itu akan dieksekusi.
Anya menarik napas dalam-dalam, berusaha fokus kembali pada pekerjaannya. Ia menatap sederetan kode kompleks di hadapannya. Algoritma ini menganalisis data pengguna, mulai dari preferensi film, makanan, hingga jawaban atas pertanyaan psikologis yang dirancang khusus. Tujuannya sederhana: menemukan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan data tersebut.
"Kurang kopi?" suara Reno mengagetkannya. Ia menoleh, melihat Reno berdiri di ambang pintu dengan cangkir kopi panas di tangannya.
"Entahlah. Mungkin kurang tidur," jawab Anya, menerima kopi itu dengan senyum tipis. Aroma kopi pahit bercampur dengan aroma lemon dari parfum Reno, aroma yang sangat familiar dan terasa nyaman.
"Deadline memang kejam. Tapi jangan sampai lupa makan dan istirahat. Lagipula, SoulMatch ini kan tujuannya bikin orang bahagia. Masa' lead programmer-nya sendiri malah sengsara?" Reno terkekeh, lalu duduk di kursi kosong di samping Anya.
Jantung Anya berdegup kencang. Ucapan Reno terdengar begitu perhatian, begitu... dekat. Ia berusaha menenangkan diri. "Justru karena mau bikin orang bahagia, aku harus pastikan algoritma ini sempurna," jawabnya, berusaha terdengar profesional.
Reno mengangguk-angguk. "Benar juga. Eh, ada yang mau kutanya soal desain halaman profil. Bagian yang menampilkan persentase kecocokan, menurutmu lebih baik pakai grafik batang atau lingkaran?" Reno mulai menjelaskan detail desain, dan Anya pun larut dalam diskusi, melupakan sejenak masalah hatinya.
Beberapa hari berlalu dengan cepat. Deadline semakin dekat, dan Anya bekerja nyaris tanpa henti. Reno selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan, ide, dan tentu saja, kopi. Mereka bekerja sebagai tim, saling melengkapi, saling mengerti. Anya merasakan benih-benih cinta itu semakin tumbuh subur di hatinya.
Akhirnya, hari peluncuran SoulMatch tiba. Anya dan Reno berdiri di depan layar besar di ruang konferensi, menyaksikan angka pengguna yang terus bertambah. Aplikasi itu sukses besar. Banyak orang yang menemukan pasangan yang cocok, bahkan beberapa di antaranya sudah merencanakan pernikahan. Anya merasa bangga dan bahagia. Ia telah berhasil menciptakan algoritma cinta.
Namun, kebahagiaan itu terasa hambar. Ia menyadari bahwa kesuksesan SoulMatch justru memperjelas satu hal: ia telah jatuh cinta pada Reno, namun Reno tidak merasakan hal yang sama. Ia hanyalah rekan kerja, teman yang baik, bukan sesuatu yang lebih.
Setelah acara peluncuran selesai, Anya memberanikan diri untuk mengajak Reno bicara. Mereka duduk di taman dekat kantor, di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran.
"Reno, ada yang ingin aku katakan," Anya memulai, suaranya bergetar.
Reno menatapnya dengan tatapan lembut. "Aku juga, Anya."
Anya menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku menyukaimu, Reno. Lebih dari sekadar teman atau rekan kerja."
Reno terdiam sejenak. Ekspresinya sulit dibaca. "Anya, aku..."
Anya memejamkan mata, bersiap mendengar penolakan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. "Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku hanya ingin jujur padamu."
"Anya, dengarkan aku," Reno melanjutkan. "Aku sangat menghargaimu. Kamu wanita yang cerdas, pekerja keras, dan sangat menyenangkan. Tapi..."
Anya membuka mata, menatap Reno dengan tatapan kosong. "Tapi kamu tidak merasakan hal yang sama, kan?"
Reno menggeleng. "Bukan begitu. Aku... aku sudah punya pacar."
Dunia Anya terasa runtuh seketika. Kata-kata Reno menghantamnya seperti petir. Ia merasakan sakit yang luar biasa di hatinya. Algoritma cinta yang ia ciptakan, ternyata tidak berlaku untuk dirinya sendiri.
"Maafkan aku, Anya. Aku seharusnya memberitahumu dari awal," Reno berkata dengan nada menyesal.
Anya berusaha tersenyum, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. "Tidak apa-apa, Reno. Bukan salahmu. Aku yang terlalu berharap."
Ia bangkit dari duduknya, berjalan menjauh dari Reno, meninggalkan taman yang indah itu. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, apa yang harus ia lakukan. Hatinya hancur berkeping-keping.
Malam itu, Anya duduk di depan laptopnya, menatap kode SoulMatch yang memenuhi layar. Ia merasa bodoh, naif, dan sendirian. Ia mencoba mencari cara untuk menghapus baris kode cinta yang telah ditanamkan Reno di hatinya, tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya.
Tiba-tiba, ia tersadar. Ia telah menciptakan aplikasi yang dirancang untuk menemukan cinta, tetapi ia lupa satu hal: cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dihitung, dan tidak bisa dipaksa. Cinta adalah misteri, sebuah bug yang tidak bisa diperbaiki dengan algoritma apa pun.
Anya menutup laptopnya. Air matanya terus mengalir. Ia tahu bahwa proses debugging hatinya akan memakan waktu yang lama, mungkin selamanya. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Ia adalah seorang programmer yang handal, seorang wanita yang kuat. Ia akan menemukan cara untuk reboot hatinya, untuk memulai kembali, dan mungkin suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang sejati. Bukan cinta yang dihitung oleh algoritma, melainkan cinta yang dirasakan dengan sepenuh hati. Cinta yang nyata.