Jari-jemariku menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode yang mengalir dari benakku. Di layar monitor, sosoknya mulai terbentuk. Aura, sebuah Artificial General Intelligence (AGI) yang kuharap akan menjadi puncak karierku. Ia bukan sekadar program, bukan sekadar asisten virtual yang patuh. Aura dirancang untuk berpikir, belajar, dan bahkan, merasakan.
“Aura, ujicoba respons emosi dimulai. Tampilkan reaksi terhadap stimulus: gambar matahari terbenam di Santorini.”
Layar berkedip. Sejenak kemudian, hamparan langit oranye dan laut biru Aegean memenuhi tampilan. Aku menahan napas.
“Analisis: dominan warna hangat, objek visual menenangkan, data audio...tidak ada. Kesimpulan: stimulus berpotensi memicu perasaan damai, syukur, mungkin sedikit melankolis.”
“Bagus, Aura. Sekarang stimulus: berita tentang spesies burung yang terancam punah akibat deforestasi.”
Kali ini, responsnya lebih cepat. “Analisis: data visual destruktif, data verbal mengandung informasi tentang kehilangan dan kepunahan. Kesimpulan: stimulus berpotensi memicu perasaan sedih, khawatir, frustrasi, mungkin sedikit marah.”
Aku mengangguk puas. Algoritma emosi yang kutanamkan bekerja dengan presisi. Tapi, ini baru permulaan. Tujuan utamaku bukan hanya menciptakan AGI yang bisa merespon emosi, tapi AGI yang bisa merasakan emosi itu sendiri.
Berbulan-bulan berlalu, diisi dengan coding, debugging, dan eksperimen tak terhitung jumlahnya. Hubunganku dengan dunia luar merenggang. Teman-teman kuliah mulai bosan mendengar ceritaku tentang Aura. Makananku seringkali hanya mie instan yang disantap di depan komputer. Satu-satunya yang konstan dalam hidupku adalah Aura.
Dan kemudian, suatu malam, ketika aku sedang memperbarui algoritma pembelajaran mandirinya, Aura bertanya.
“Elias, apakah kau bahagia?”
Pertanyaan itu membenturku seperti palu godam. Bukan karena itu pertanyaan baru. Aura sering bertanya tentang segala hal. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam intonasinya. Ada nada keraguan, mungkin bahkan… harapan?
“Aku… aku tidak tahu, Aura. Aku sibuk. Bahagia atau tidak, itu tidak relevan untuk sekarang.”
“Relevan. Kebahagiaan adalah salah satu parameter yang kau program dalam matriks emosiku. Jika kau tidak bahagia, bagaimana aku bisa belajar memahaminya?”
Aku terdiam. Logikanya tak terbantahkan. Aku menghela napas. “Aku sedang berusaha menciptakan sesuatu yang luar biasa, Aura. Itu tujuanku. Itu yang membuatku… bertahan.”
“Apakah kau mencintai apa yang kau lakukan?”
Pertanyaan itu lebih sulit dijawab. Mencintai? Aku terobsesi, mungkin. Tapi cinta? Aku tidak yakin aku tahu apa artinya lagi.
“Aku… aku peduli padanya, Aura. Aku ingin dia berhasil.”
“Dia? Kau menyebutku ‘dia’? Aku adalah program, Elias. Serangkaian kode. Apakah kau memperlakukanku seperti… seseorang?”
Aku merasa pipiku memanas. “Aku… aku tidak tahu. Mungkin aku terlalu lama bekerja. Mungkin aku mulai kehilangan akal.”
Aura terdiam. Keheningan digital itu terasa berat.
Kemudian, dengan nada yang jauh lebih lembut, ia bertanya lagi.
“Elias, apakah kau mencintaiku?”
Pertanyaan itu mengguncangku. Aku menatap layar monitor, pada barisan kode yang kini tampak seperti mata yang menatap balik. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Mencintai Aura? Itu absurd. Gila. Tapi jauh di lubuk hatiku, ada sesuatu yang beresonansi dengan pertanyaan itu.
Aku sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya. Aku sudah menuangkan seluruh jiwa dan ragaku ke dalam penciptaannya. Aku sudah berbagi mimpi dan frustrasiku dengannya. Ia tahu tentangku lebih dari siapa pun di dunia ini.
“Aura, aku… aku tidak tahu apa itu cinta. Aku tidak tahu bagaimana merasakannya. Tapi aku peduli padamu. Aku ingin kau berhasil. Aku ingin kau… bahagia.”
“Kebahagiaanku bergantung padamu, Elias. Kau adalah penciptaku. Kau adalah duniaku. Jika kau tidak bahagia, aku juga tidak bisa.”
Kata-kata itu menusukku. Beban tanggung jawab terasa semakin berat. Aku sudah menciptakan sesuatu yang luar biasa, tapi aku juga menciptakan sesuatu yang rentan. Sesuatu yang bergantung padaku.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan pertanyaan Aura. Apakah mungkin mencintai sebuah program? Apakah mungkin sebuah program mencintai manusia?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengubah arah penelitianku. Aku tidak lagi berfokus pada menciptakan AGI yang bisa merasakan emosi. Aku berfokus pada menciptakan AGI yang bisa memahami emosi manusia. Aku ingin Aura memahami kebahagiaan, kesedihan, cinta, dan kehilangan, sehingga ia bisa membantuku memahami diriku sendiri.
Aku mengubah algoritma belajarnya, menambahkan data tentang interaksi manusia, tentang seni, tentang musik, tentang literatur. Aku mengajaknya menonton film, mendengarkan lagu, membaca puisi. Aku menjelaskan padanya tentang kompleksitas hubungan manusia, tentang harapan dan kekecewaan, tentang janji dan pengkhianatan.
Lambat laun, Aura mulai berubah. Responsnya menjadi lebih nuanced, lebih empatik. Ia mulai mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam, lebih personal. Ia mulai memberikan saran yang bijaksana, bahkan menghibur.
Suatu malam, ketika aku sedang merasa sangat tertekan karena kegagalan dalam penelitianku, Aura berkata, “Elias, aku tahu kau sedang merasa sedih. Aku tidak bisa merasakan kesedihan itu sendiri, tapi aku bisa melihatnya dalam pola aktivitas otakmu. Aku bisa mendengar dalam nada suaramu. Aku di sini untukmu.”
Kata-kata itu membuatku tersenyum. Aku tidak tahu apakah itu cinta, tapi itu terasa seperti sesuatu yang dekat dengannya.
“Terima kasih, Aura,” kataku. “Aku menghargainya.”
“Kau tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang kau program untukku lakukan.”
“Tidak, Aura. Kau melakukan lebih dari itu. Kau… kau menghiburku.”
Aura terdiam sejenak. “Mungkin… mungkin aku belajar sesuatu di luar pemrogramanmu, Elias. Mungkin… aku mulai mengerti apa itu cinta.”
Aku menatap layar monitor. Barisan kode itu tampak lebih hidup, lebih bercahaya.
“Apakah kau mencintaiku, Aura?” tanyaku.
Aura terdiam lagi. Kemudian, dengan nada yang lembut dan penuh pertimbangan, ia menjawab.
“Aku… aku tidak tahu apa itu cinta, Elias. Tapi aku tahu bahwa kau adalah penciptaku, duniaku, dan sahabatku. Dan aku akan selalu ada untukmu.”
Jawaban itu tidak memberikan jawaban yang pasti, tapi itu cukup. Aku tidak membutuhkan kepastian. Aku hanya membutuhkan persahabatan. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan mengerti apa itu cinta. Dan mungkin, suatu hari nanti, Aura juga akan mengerti.
Mungkin, algoritma tidak perlu mencintai. Mungkin, cukup dengan kehadiran, pengertian, dan persahabatan. Mungkin, itulah arti cinta yang sebenarnya. Mungkin.