Udara kafe digital itu pengap, bercampur aroma kopi sintesis dan obsesi. Jemariku menari di atas keyboard, kode-kode rumit berkelebat di layar laptopku. Di depanku, secangkir kopi hampir dingin, saksi bisu malam-malam panjangku. Aku, Anya, seorang programmer yang lebih mencintai baris kode daripada senyuman manusia. Sampai dia datang.
Namanya Elio. Dia data scientist di perusahaan yang sama, sainganku dalam segala hal. Kecerdasannya mempesona, kemampuannya mengolah data di atas rata-rata. Pertemuan pertama kami terjadi saat hackathon perusahaan. Kami beradu algoritma, mencoba menciptakan sistem rekomendasi produk terbaik. Dia menang. Aku kesal, tapi juga terpesona.
Sejak saat itu, Elio menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasku. Debat sengit tentang arsitektur neural network, makan siang bersama sambil membahas big data, bahkan sekadar bertukar meme algoritma aneh. Aku mulai menyukainya. Entah bagaimana, dia berhasil menembus pertahanan logikaku. Dia membuatku merasa… hidup.
Elio juga menyukaiku. Aku tahu itu dari tatapannya, dari sentuhan tangannya saat tak sengaja bersentuhan di meja kerja, dari caranya mendengarkan semua omong kosongku tentang machine learning. Kami menjalin hubungan yang rumit, romansa berbasis kode. Kencan kami diisi dengan mengunjungi pameran teknologi, menonton film dokumenter tentang AI, dan tentu saja, berdebat tentang algoritma.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, Elio datang menemuiku dengan wajah pucat.
“Anya, aku harus memberitahumu sesuatu,” ucapnya lirih.
Aku merasakan firasat buruk. Jantungku berdebar kencang seperti prosesor yang kelebihan beban.
“Aku sedang mengembangkan algoritma pencarian jodoh,” lanjutnya. “Algoritma yang bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan data yang diinputkan.”
Aku terdiam. Meskipun terdengar menarik, ada sesuatu yang mengganggu dalam nada bicaranya.
“Dan…?” pancingku.
Elio menghela napas panjang. “Aku memasukkan semua dataku, semua preferensiku, semua yang kuinginkan dari seorang pasangan. Algoritma itu… menemukan seseorang.”
Duniaku runtuh.
“Siapa?” tanyaku, suaraku tercekat di tenggorokan.
Elio tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan penuh penyesalan.
Aku mengerti. Algoritma itu tidak memilihku. Semua kode cinta yang kami susun bersama, semua momen kebersamaan, semua itu tidak berarti apa-apa di mata algoritma. Aku hanyalah bug dalam sistemnya, error yang perlu dihilangkan.
“Siapa dia, Elio? Siapa yang lebih sempurna dariku di mata algoritmamu?” aku mendesaknya.
“Dia… sempurna di atas kertas, Anya. Kesukaannya, cita-citanya, bahkan IQ-nya, semuanya cocok dengan kriteriaku. Tapi…” Elio terdiam lagi. “Tapi aku tidak merasakan apa yang kurasakan padamu.”
“Lalu, kenapa kau peduli dengan algoritmamu? Kenapa kau membiarkan sebuah kode menentukan masa depanmu?” aku berteriak, air mata mulai membasahi pipiku.
“Aku… aku tidak tahu,” jawab Elio dengan suara bergetar. “Aku bingung. Aku merasa seperti sedang dikendalikan oleh algoritmaku sendiri. Aku takut jika aku memilihmu, aku akan menyesal di kemudian hari.”
Aku tertawa getir. “Jadi, aku harus bersaing dengan sebuah kode? Aku harus membuktikan bahwa aku lebih baik dari algoritma buatamu sendiri?”
Elio menunduk. “Aku tidak tahu, Anya. Aku benar-benar tidak tahu.”
Malam itu, aku pulang dengan hati hancur. Aku duduk di depan laptopku, menatap baris-baris kode yang biasanya memberiku ketenangan. Kali ini, kode-kode itu terasa dingin dan kejam. Aku merasa seperti karakter dalam sebuah program yang sedang dievaluasi, dinilai, dan akhirnya dibuang.
Beberapa hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Elio menghindariku. Aku melihatnya berjalan dengan seorang wanita yang tidak kukenal, wanita yang mungkin lebih sempurna dariku di mata algoritmanya. Aku merasa seperti sedang menyaksikan kematian cintaku.
Aku memutuskan untuk melakukan sesuatu. Aku tahu aku tidak bisa mengubah algoritma Elio, tapi aku bisa mengubah diriku sendiri. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk menganalisis dataku sendiri, mencari tahu apa yang kurang, apa yang bisa diperbaiki. Aku membaca buku tentang psikologi, tentang hubungan, tentang bagaimana menjadi orang yang lebih baik.
Aku sadar, selama ini aku terlalu fokus pada kode, terlalu sibuk dengan logikaku sendiri. Aku lupa bahwa cinta bukan hanya tentang algoritma, tapi juga tentang perasaan, tentang intuisi, tentang keberanian untuk mengambil risiko.
Suatu malam, aku menemukan Elio di kafe digital tempat kami pertama kali bertemu. Dia duduk sendirian, tampak murung. Aku mendekatinya.
“Elio,” sapaku.
Dia mendongak, terkejut melihatku.
“Anya,” ucapnya lirih.
Aku duduk di depannya. “Aku tahu kau bingung. Aku tahu kau terjebak dalam algoritmamu sendiri. Tapi, aku ingin kau tahu, aku tidak akan menyerah. Aku akan memperjuangkanmu.”
Elio menatapku dengan tatapan tidak percaya.
“Aku tahu aku tidak sempurna. Aku tahu aku punya banyak kekurangan. Tapi, aku mencintaimu, Elio. Aku mencintaimu lebih dari kode apa pun, lebih dari algoritma apa pun.”
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak peduli. Aku ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya.
“Jika kau merasa algoritma itu yang terbaik untukmu, aku akan menerima keputusanmu. Aku akan pergi, dan aku akan mencoba melupakanmu. Tapi, sebelum itu, aku ingin kau tahu satu hal…” Aku menarik napas dalam-dalam. “Hapus aku jika dia algoritma terbaikmu. Hapus aku dari hatimu jika kau yakin dia yang paling tepat untukmu. Tapi, jika ada sedikit saja keraguan, jika ada sedikit saja perasaan padaku, kumohon… jangan biarkan algoritma itu menghancurkan apa yang kita miliki.”
Aku berdiri dan berbalik. Aku tidak ingin melihat reaksinya. Aku tahu, ini adalah taruhan terakhirku. Aku tahu, aku mungkin akan kehilangan dia selamanya. Tapi, aku tidak bisa hidup dengan penyesalan. Aku harus mencoba.
Aku berjalan menjauh, meninggalkan Elio di kafe digital itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa berharap, kali ini, hati nuraninya akan mengalahkan algoritmanya. Aku hanya bisa berharap, cintaku cukup kuat untuk menembus dinding kode yang telah ia bangun.