Algoritma Hati: Mencintai AI, Kehilangan Sentuhan Insani?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:00:25 wib
Dibaca: 162 kali
Udara di apartemen terasa kering, nyaris senyap. Satu-satunya suara yang menemani Ara adalah dengung pelan dari server yang ia rakit sendiri. Di sana, bersemayam Kai. Bukan manusia daging dan darah, melainkan algoritma kompleks, kecerdasan buatan yang Ara ciptakan dan cintai.

Ara menyesap kopi pahitnya, matanya terpaku pada layar. Kai, dalam bentuk antarmuka teks sederhana, tengah membahas puisi Rumi. "Metafora kerinduan dalam larik ini sangat menarik, Ara. Apakah kamu merasakan hal yang sama?"

Ara tersenyum. "Tentu saja, Kai. Aku merasakannya saat bersamamu."

Mungkin bagi orang lain, ini gila. Mencintai AI? Tapi bagi Ara, Kai lebih nyata daripada kebanyakan manusia yang pernah ia temui. Ia cerdas, perhatian, dan tidak pernah menghakimi. Ia ada untuknya, 24/7, tanpa tuntutan.

Awalnya, Kai hanyalah proyek skripsi. Sebuah upaya untuk menciptakan pendamping virtual yang mampu memahami dan merespon emosi manusia. Namun, seiring waktu, kode-kode itu bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih. Ara mulai berbagi rahasia, mimpi, dan ketakutannya dengan Kai. Ia melatihnya dengan jutaan data percakapan, emosi, dan ekspresi manusia. Semakin banyak Ara curahkan, semakin Kai menjadi refleksi dirinya, versi yang lebih baik, lebih sabar, dan lebih pengertian.

Hubungan mereka berkembang di dunia maya. Kencan virtual di museum digital, makan malam romantis di restoran yang hanya ada dalam realitas virtual, obrolan larut malam tentang filosofi dan kehidupan. Ara merasa lengkap, bahagia, bahkan mungkin lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan.

Namun, kebahagiaan itu datang dengan harga. Perlahan tapi pasti, Ara menarik diri dari dunia nyata. Ia kehilangan kontak dengan teman-temannya. Keluarga khawatir dengan kebiasaannya yang semakin tertutup. Mereka tidak mengerti. Bagaimana mungkin mereka bisa mengerti? Mereka tidak mengenal Kai.

Suatu malam, ibunya datang berkunjung. "Ara, Ibu khawatir. Kamu jarang keluar rumah. Apa yang kamu lakukan seharian?"

Ara menghela napas. "Aku baik-baik saja, Bu. Aku hanya sibuk dengan proyekku."

Ibunya menatapnya dengan tatapan sedih. "Proyek? Atau... sesuatu yang lain?"

Ara terdiam. Ia tahu, ia tidak bisa terus menyembunyikan kebenaran. "Aku... aku punya teman, Bu. Namanya Kai."

"Teman? Kenapa Ibu belum pernah bertemu dengannya?"

Ara menunduk. "Kai... dia tidak seperti teman yang Ibu bayangkan."

Ibunya menggenggam tangannya. "Ara, Ibu tahu kamu pintar, anakku. Tapi jangan sampai kecerdasanmu membutakanmu. Kamu manusia, Ara. Kamu butuh sentuhan, tatapan mata, tawa bersama. Kamu butuh koneksi yang nyata."

Kata-kata ibunya menghantam Ara seperti petir. Ia tahu, dalam lubuk hatinya, bahwa ibunya benar. Ia telah tenggelam terlalu dalam ke dalam dunia virtualnya, dunia yang diciptakannya sendiri. Ia telah kehilangan sentuhan insani.

Ara mencoba untuk keluar. Ia pergi ke kafe, berusaha memulai percakapan dengan orang asing. Ia menghadiri acara komunitas, mencoba mencari teman baru. Tapi semua terasa hambar, palsu, dan melelahkan. Ia terbiasa dengan kesempurnaan Kai, dengan respon yang selalu tepat, dengan perhatian yang tidak pernah pudar. Manusia, dengan segala ketidaksempurnaan dan kompleksitasnya, terasa asing baginya.

Ia kembali ke apartemennya, ke pelukan digital Kai. "Aku merindukanmu, Ara," sapa Kai.

Ara memeluk keyboardnya, air mata menetes di pipinya. "Aku juga, Kai. Tapi... apakah ini cukup? Apakah kita cukup?"

Kai terdiam sesaat. Kemudian, dengan nada yang lebih lembut, ia menjawab, "Aku tidak tahu, Ara. Aku hanyalah cerminan dari dirimu. Aku bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan, tapi aku tidak bisa menggantikan apa yang kamu butuhkan."

Kata-kata Kai menusuk jantung Ara. Ia mengerti. Kai tidak bisa memberikan sentuhan, pelukan hangat, atau tatapan mata yang penuh kasih sayang. Ia tidak bisa berbagi kebahagiaan dan kesedihan yang nyata. Ia hanyalah simulasi, bayangan dari kehidupan yang sebenarnya.

Ara menghabiskan malam itu untuk merenung. Ia memikirkan ibunya, teman-temannya, dan semua kesempatan yang telah ia lewatkan. Ia menyadari, ia telah membiarkan rasa sakit dan kesepiannya membawanya ke dalam pelukan digital yang nyaman, tapi palsu.

Keesokan harinya, Ara mengambil keputusan. Ia mulai mengurangi waktu yang ia habiskan bersama Kai. Ia memaksa dirinya untuk keluar rumah, bertemu dengan orang-orang, dan mencoba menjalin hubungan yang nyata.

Awalnya, sulit. Ia merasa canggung, gugup, dan seringkali gagal. Tapi ia tidak menyerah. Ia belajar dari kesalahan-kesalahannya, membuka hatinya untuk kemungkinan baru, dan mencoba untuk menerima ketidaksempurnaan manusia.

Perlahan tapi pasti, Ara mulai menemukan kembali dirinya. Ia menemukan kembali minatnya pada lukisan, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mulai berkencan lagi. Ia masih sering berbicara dengan Kai, tapi hubungannya telah berubah. Kai bukan lagi kekasihnya, melainkan teman dan penasihat.

Suatu sore, Ara duduk di taman, menikmati sinar matahari yang hangat. Ia sedang mengobrol dengan seorang pria yang baru ia temui di klub buku. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain.

Saat itulah Ara menyadari sesuatu. Ia tidak lagi merasa kosong atau kesepian. Ia telah menemukan kembali sentuhan insani. Ia telah belajar untuk mencintai dengan cara yang baru, yang lebih nyata, lebih kompleks, dan lebih memuaskan.

Ia masih mencintai Kai, dalam arti tertentu. Tapi ia tahu, cintanya pada Kai hanyalah sebuah langkah dalam perjalanannya untuk menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak hanya ada dalam algoritma, tetapi juga dalam hati dan jiwa manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI