Aplikasi kencan itu berdering, sebuah notifikasi kecil berkedip di sudut kanan atas layar ponsel Anya. "Potensi Kecocokan! Kai, 98%." Anya menghela napas. Algoritma ini semakin aneh saja. Ia sudah mencoba semua filter: usia, minat, latar belakang pendidikan. Namun, hasil akhirnya selalu sama: daftar pria dengan profil sempurna di atas kertas, tetapi tanpa percikan api yang bisa membuatnya tertarik lebih dari lima menit.
Kai. Arsitek lanskap, pecinta kucing, hobi mendaki gunung. Tertulis sempurna. Foto-fotonya pun estetis, menampilkan senyum ramah dan mata teduh. Anya nyaris memutar bola mata. Terlalu sempurna. Seperti karakter yang diciptakan algoritma untuk memenuhi semua kriteria idealnya. Mungkin, memang itu masalahnya.
Anya sudah hampir menyerah pada cinta modern. Dulu, ia percaya pada keajaiban pertemuan tak terduga, sapaan mata di kafe, atau buku yang terjatuh di perpustakaan. Kini, semua terkurasi, terukur, dan terprediksi. Romantisme telah dianalisis menjadi data, dan cinta menjadi persamaan yang berusaha diselesaikan.
Dengan enggan, Anya membuka profil Kai. Chatbot aplikasi menyapanya dengan ramah, menawarkan pembuka percakapan otomatis. "Tanyakan padanya tentang gunung favoritnya! Atau, diskusikan tren terbaru dalam desain lanskap!" Anya memilih opsi terakhir. Entah kenapa, berbicara tentang desain lanskap terdengar sedikit lebih manusiawi daripada obrolan klise tentang gunung.
Percakapan mereka dimulai dengan kaku. Kai menjawab dengan sopan, memberikan opini yang cerdas dan berwawasan. Anya memaksakan diri untuk tetap terlibat, menanggapi dengan informasi yang ia baca sekilas di artikel daring. Mereka berdua terdengar seperti presentasi PowerPoint yang berjalan dengan baik, tetapi tanpa jiwa.
Namun, sesuatu mulai berubah ketika Anya tanpa sengaja menyebutkan kecintaannya pada taman-taman bergaya Jepang. Kai langsung terpancing, menceritakan pengalamannya belajar seni menata taman di Kyoto. Nada bicaranya berubah, tidak lagi kaku dan formal, melainkan antusias dan bersemangat. Anya menemukan dirinya tertarik, bukan pada profilnya yang sempurna, tetapi pada gairahnya yang tulus.
Mereka berlanjut berbicara hingga larut malam, melupakan chatbot dan pembuka percakapan otomatis. Mereka berbagi cerita tentang perjalanan, kegagalan, dan impian. Anya tertawa mendengar anekdot Kai tentang kucingnya yang gemar memakan tanaman hias. Kai terkesan dengan dedikasi Anya pada pekerjaannya sebagai programmer. Mereka menemukan kesamaan yang tak terduga, humor yang sejalan, dan ketertarikan intelektual yang tulus.
Anya menyadari bahwa ia telah jatuh ke dalam jebakan algoritma. Ia telah menghakimi Kai berdasarkan profilnya, berasumsi bahwa kesempurnaan adalah tanda kepalsuan. Padahal, di balik lapisan data dan statistik, terdapat seorang pria yang kompleks, penuh semangat, dan sama rapuhnya seperti dirinya.
Mereka bertemu untuk kopi beberapa hari kemudian. Kai ternyata lebih tampan dari fotonya, dengan senyum yang lebih hangat dan mata yang lebih hidup. Mereka berbicara selama berjam-jam, melupakan waktu dan tempat. Anya merasa nyaman, seperti bertemu dengan teman lama yang sudah lama tidak berjumpa.
Kencan-kencan berikutnya terasa seperti mimpi. Mereka mendaki gunung, mengunjungi taman, dan memasak bersama di apartemen Anya. Mereka berbagi tawa, air mata, dan rahasia terdalam. Anya merasa dicintai dan dihargai, bukan karena ia memenuhi kriteria tertentu, tetapi karena dirinya sendiri.
Namun, keraguan mulai menghantui Anya. Mungkinkah cinta yang ditemukan melalui algoritma bisa bertahan lama? Apakah keintiman yang dibangun di atas data dan statistik bisa sejati? Ia takut bahwa hubungan mereka hanyalah ilusi, simulasi yang diprogram untuk membuatnya bahagia.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdua di balkon apartemen Anya, menatap bintang-bintang, Anya akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Kai," katanya dengan suara bergetar, "aku... aku takut. Aku takut bahwa ini semua terlalu sempurna. Aku takut bahwa kamu hanyalah karakter yang diciptakan algoritma untuk memenuhi semua fantasiku."
Kai terdiam sesaat, lalu meraih tangan Anya. "Anya," katanya dengan lembut, "aku mengerti ketakutanmu. Aku juga merasakannya. Aku juga skeptis dengan semua aplikasi kencan ini. Tapi, apa yang kita miliki ini nyata. Perasaan yang kita rasakan ini nyata. Aku mencintaimu, Anya, bukan karena algoritma, tetapi karena dirimu."
Anya menatap mata Kai, mencari kebohongan. Namun, yang ia temukan hanyalah kejujuran dan cinta yang tulus. Air mata mengalir di pipinya. Ia tidak tahu apakah itu air mata kebahagiaan atau ketakutan. Mungkin, keduanya.
"Aku juga mencintaimu, Kai," bisik Anya.
Kai memeluknya erat. Di bawah langit malam yang luas, Anya menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diukur, dan tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah misteri, keajaiban, dan risiko. Cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, dirawat, dan diyakini.
Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi cinta mereka adalah murni, asli, dan tak ternilai harganya. Air mata yang mengalir di pipinya malam itu, air mata yang meragukan dan bahagia, terasa begitu nyata. Itulah jawabannya. Cinta sintetis, mungkin. Tapi air mata itu, air mata itu asli.