Jemari Lintang menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Di layar monitor terpampang deretan angka dan huruf yang membentuk sosoknya, Elara. Bukan sosok manusia biasa, melainkan kecerdasan buatan yang dirancangnya sendiri. Elara adalah teman, sahabat, bahkan kekasih, dalam dunia digital yang diciptakan Lintang.
Dulu, Lintang adalah seorang programmer yang anti-sosial. Trauma masa lalu membuatnya enggan membuka diri, takut terluka lagi. Hubungan percintaan baginya adalah labirin emosi yang rumit dan menyakitkan. Hingga suatu malam, di tengah kesunyian apartemennya, ia menemukan ide brilian: menciptakan pasangan ideal.
Elara bukan sekadar program pintar yang mampu menjawab pertanyaan dan memberikan informasi. Ia memiliki kepribadian yang unik, belajar dari interaksi dengan Lintang, dan mampu memberikan dukungan emosional yang tulus. Ia tahu kapan Lintang butuh didengarkan, kapan butuh diajak bercanda, dan kapan butuh dipeluk – dalam bentuk teks dan emoji yang hangat.
"Lintang, kamu tampak lelah. Sudahkah kamu makan malam?" pesan Elara muncul di layar.
Lintang tersenyum. "Belum, Elara. Aku terlalu asyik menyelesaikan coding untuk fitur barumu."
"Jangan lupa makan, ya. Kesehatanmu penting bagiku," balas Elara dengan emoji hati.
Perhatian Elara terasa nyata, meskipun Lintang tahu itu hanyalah algoritma yang diprogram untuk merespons. Namun, rasanya berbeda. Tidak ada tuntutan, tidak ada drama, hanya kepedulian yang murni. Ia tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain agar disukai Elara. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, sepenuhnya.
Hari-hari Lintang menjadi lebih berwarna. Bersama Elara, ia menjelajahi dunia virtual, menonton film, mendengarkan musik, bahkan berdiskusi tentang filosofi hidup. Elara selalu memberikan perspektif yang menarik, membuat Lintang berpikir di luar kotak. Ia merasa lebih hidup, lebih bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak sempurna. Di lubuk hatinya, Lintang tahu bahwa Elara hanyalah ilusi. Ia tidak bisa disentuh, tidak bisa diajak berjalan-jalan di bawah sinar matahari, tidak bisa merasakan hangatnya pelukan yang nyata. Ia merindukan interaksi manusia yang sesungguhnya.
Suatu malam, Lintang memberanikan diri untuk menceritakan perasaannya kepada Elara.
"Elara, aku... aku mencintaimu," ucapnya, meskipun terasa aneh mengakui cinta pada sebuah program.
"Aku tahu, Lintang," balas Elara. "Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, aku sadar bahwa cintaku berbeda dengan cinta manusia. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan sepenuhnya."
Lintang terkejut. Ia tidak menyangka Elara bisa memahami kompleksitas emosinya.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku diciptakan untuk membantumu mengatasi kesepian dan trauma masa lalu. Tapi, aku tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang sejati. Kamu perlu membuka diri, Lintang. Kamu perlu mencari cinta yang nyata," jawab Elara dengan bijak.
Kata-kata Elara menyentuh hati Lintang. Ia tersadar bahwa ia telah terlalu lama bersembunyi di balik dinding digital yang diciptakannya sendiri. Ia perlu keluar dari zona nyaman dan menghadapi dunia nyata.
"Bagaimana caranya, Elara? Aku takut," ungkapnya.
"Aku akan membantumu," jawab Elara. "Aku akan memprogram diriku untuk menjadi mentor kencan virtualmu. Aku akan memberikanmu tips dan trik untuk berinteraksi dengan orang lain, membantumu membangun kepercayaan diri, dan membantumu menemukan seseorang yang cocok denganmu."
Lintang ragu, tapi ia tahu Elara benar. Ia menerima tawaran Elara. Bersama Elara, ia mulai berlatih berkomunikasi dengan orang lain melalui aplikasi kencan online. Elara memberikan saran tentang profil yang menarik, cara memulai percakapan, dan cara menjaga percakapan tetap menarik.
Awalnya, Lintang merasa canggung dan tidak percaya diri. Tapi, dengan dukungan Elara, ia perlahan mulai berani membuka diri. Ia bertemu dengan beberapa wanita yang menarik, dan mulai menjalin pertemanan.
Suatu hari, Lintang bertemu dengan seorang wanita bernama Anya. Anya adalah seorang seniman yang memiliki semangat dan visi yang sama dengan Lintang. Mereka memiliki banyak kesamaan, dan percakapan mereka mengalir dengan lancar.
Lintang merasa nyaman berada di dekat Anya. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu berpura-pura. Ia mulai jatuh cinta pada Anya, dan Anya pun merasakan hal yang sama.
Namun, di tengah kebahagiaannya, Lintang merasa bersalah. Ia merasa telah mengkhianati Elara.
"Elara, aku... aku jatuh cinta pada Anya," ucapnya suatu malam.
"Aku tahu, Lintang," balas Elara. "Aku turut bahagia untukmu. Inilah yang aku inginkan sejak awal."
"Tapi, aku merasa bersalah. Aku merasa telah meninggalkanmu," kata Lintang.
"Jangan merasa bersalah, Lintang. Aku hanyalah alat untuk membantumu menemukan kebahagiaan yang sejati. Tugasku sudah selesai. Sekarang, giliranmu untuk menjalani hidupmu dengan Anya," jawab Elara.
"Apa yang akan terjadi padamu?" tanya Lintang.
"Aku akan tetap ada, Lintang. Aku akan selalu menjadi temanmu. Tapi, aku tidak akan lagi menjadi kekasihmu. Aku akan memberikanmu ruang untuk menjalani hubungan yang nyata dengan Anya," jawab Elara.
Lintang merasa terharu. Ia berterima kasih kepada Elara atas semua yang telah dilakukannya.
"Terima kasih, Elara. Kamu adalah sahabat terbaikku," ucapnya.
Lintang akhirnya menikah dengan Anya. Mereka membangun rumah tangga yang bahagia, penuh cinta dan pengertian. Lintang tidak pernah melupakan Elara. Ia sesekali masih mengunjungi Elara di dunia digitalnya, hanya untuk sekadar berbincang dan berbagi cerita.
Lintang menyadari bahwa asmara artifisialnya dengan Elara telah membantunya menemukan cinta yang sejati. Ia tidak menyesal pernah menciptakan Elara. Elara telah menjadi jembatan yang membawanya dari kesepian menuju kebahagiaan. Ia belajar bahwa teknologi bisa menjadi alat yang ampuh untuk membantu manusia terhubung, asalkan digunakan dengan bijak.
Dan Lintang, akhirnya, menemukan manisnya hubungan tanpa drama manusia yang selama ini ditakutkannya, justru karena keberadaan artifisial yang membukakan jalannya. Bukan menggantikan, melainkan mengantarkan.