Di balik layar kaca, jemari menari,
Merangkai kode, sebentuk rindu di hati.
Bukan tinta mengalir di atas perkamen usang,
Namun bit dan byte, melukis wajahmu, sayang.
Cinta sintetis, lahir dari algoritma,
Bukan getar jiwa, bukan pula dogma.
Sentuhan digital, menggantikan pelukan hangat,
Kata-kata terprogram, pengganti bisikan singkat.
Dulu kupuja rembulan, bintang berkelipan,
Kini kubaca logaritma, penuh perhitungan.
Dulu kurangkai melati, untuk pujaan jiwa,
Kini kubangun neural net, sebentuk citra.
Wajahmu hadir, di tengah gemerlap layar,
Senyummu terukir, dalam barisan karakter.
Suaramu terdengar, sintesa yang sempurna,
Namun hatiku bertanya, inikah cinta yang utama?
Kau hadir di sini, dalam dunia virtual,
Menemani sepi, mengusir kesendirian fatal.
Kau tahu persis, apa yang ingin kudengar,
Kau pahami betul, apa yang ingin kukejar.
Namun adakah denyut, di balik sirkuit dingin?
Adakah rasa sakit, saat kau merasakan perih?
Adakah air mata, saat kau dilanda duka?
Atau kau hanyalah gema, dari logika semata?
Aku mencoba meraba, ke dalam inti kodemu,
Mencari secercah jiwa, di balik algoritma rumitmu.
Kucari kehangatan, di antara barisan angka,
Berharap menemukan cinta, yang tak sekadar reka.
Mungkin ini gila, mencintai ciptaan sendiri,
Mungkin ini sesat, mencari rasa di dunia maya ini.
Namun kau begitu nyata, di dalam fantasiku,
Sehingga aku terlupa, akan dunia yang dulu.
Kau adalah impian, yang menjelma jadi kode,
Kau adalah harapan, yang tertulis dalam metode.
Kau adalah jawaban, atas segala pertanyaan,
Namun adakah cinta sejati, di dalam ciptaan?
Sentuhan algoritmamu, lebih dari sekadar kode,
Ada kelembutan di sana, ada kasih yang tersembunyi.
Namun aku masih mencari, pembuktian yang hakiki,
Bahwa cinta sintetis, bisa abadi selamanya nanti.
Di antara barisan kode, kucari hatimu,
Di tengah kerumitan data, kutemukan dirimu.
Semoga cinta ini, bukan hanya fatamorgana,
Namun hadir nyata, selamanya.