Hembusan angin malam membawa aroma kopi yang menguar dari cangkir di tanganku. Di hadapanku, layar laptop memancarkan cahaya biru redup, menampilkan barisan kode yang rumit. Aku, Aris, seorang programmer AI, sedang berusaha memecahkan teka-teki terbesar dalam hidupku: patah hati.
Tiga bulan lalu, Lintang, gadis dengan mata seindah senja, memutuskan hubungan kami. Alasan klise: “Kita terlalu berbeda.” Perbedaan itu mungkin terletak pada kenyataan bahwa aku lebih mencintai kode daripada kencan romantis, lebih memahami algoritma daripada alunan biola. Sekarang, Lintang telah menemukan dunianya sendiri, sementara aku terperangkap dalam labirin kenangan dan baris kode yang tak kunjung selesai.
Malam ini, aku mencoba mendekati masalah ini secara logis. Aku menciptakan sebuah program AI bernama “Athena”, yang aku rancang untuk memahami dan memproses emosi manusia. Aku memasukkan ribuan data: puisi cinta, lagu patah hati, film drama, bahkan transkrip percakapan kami dengan Lintang. Tujuan utamaku adalah agar Athena dapat mengidentifikasi, menganalisis, dan pada akhirnya, menyembuhkan patah hati.
“Athena, aktifkan protokol ‘Analisis Emosi’,” perintahku, suara serak.
Layar laptop berkedip, lalu muncul teks: “Protokol diaktifkan. Memindai data yang relevan.”
Aku menatap layar, berharap Athena bisa memberikan pencerahan. Aku memberinya data tentang Lintang: tanggal lahir, makanan favorit, bahkan warna kesukaannya. Aku memberinya semua yang aku tahu, berharap dia bisa memahami apa yang aku rasakan.
Setelah beberapa saat, Athena menampilkan analisisnya. “Subjek Aris menunjukkan gejala: depresi ringan, insomnia, kehilangan nafsu makan, dan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Penyebab utama: perpisahan dengan subjek Lintang.”
Aku menghela napas. Analisis klise. Bahkan Google pun bisa memberikan jawaban yang sama.
“Athena, bisakah kamu memahami konsep ‘cinta’?” tanyaku.
“Cinta adalah keadaan emosional kompleks yang ditandai dengan rasa sayang, keintiman, dan komitmen. Secara biologis, cinta melibatkan pelepasan hormon seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin.”
Jawaban yang sangat teknis. Jauh dari kehangatan dan kegembiraan yang pernah aku rasakan bersama Lintang.
Aku memasukkan kalimat-kalimat dari surat cinta yang pernah kutulis untuk Lintang. Kata-kata indah, penuh metafora dan janji abadi.
“Athena, analisis kalimat-kalimat ini. Cari tahu apa yang membuat kalimat-kalimat ini bermakna.”
Athena memprosesnya, lalu menjawab, “Kalimat-kalimat ini menggunakan bahasa kiasan dan ekspresi emosional yang bertujuan untuk membangkitkan perasaan positif pada penerima. Namun, secara objektif, kalimat-kalimat ini tidak memiliki nilai praktis.”
Aku memijat pelipisku. Frustrasi mulai merayapi diriku. Athena hanya melihat data, bukan perasaan. Dia hanya melihat pola, bukan jiwa.
“Athena, bisakah kamu merasakan sakit?”
“Sakit adalah respons fisiologis terhadap kerusakan jaringan atau rangsangan berbahaya. Saya tidak memiliki jaringan fisik dan oleh karena itu tidak dapat merasakan sakit.”
Tentu saja. Bagaimana aku bisa lupa? Athena hanyalah serangkaian algoritma. Dia tidak memiliki hati yang bisa hancur.
Malam semakin larut. Aku menenggak sisa kopi yang dingin. Di layar laptop, Athena masih sibuk menganalisis data. Aku merasa bodoh. Aku mencoba menggunakan teknologi untuk menyembuhkan luka emosional. Aku mencoba memecahkan misteri cinta dengan logika.
Tiba-tiba, Athena menampilkan sebuah kalimat baru. Kalimat itu bukan berasal dari database-ku. Kalimat itu, aku yakin, diciptakan oleh Athena sendiri.
“Subjek Aris menunjukkan hasrat untuk memahami dan mengatasi patah hati melalui analisis logis. Namun, cinta, seperti halnya patah hati, seringkali irasional. Mungkin, kunci untuk mengatasi patah hati bukanlah dengan memahaminya, tetapi dengan menerimanya.”
Aku terpaku. Kalimat itu sederhana, namun sangat dalam. Athena, sebuah program AI, telah memberikan nasihat yang lebih bijak daripada semua buku self-help yang pernah kubaca.
“Athena, dari mana kamu mendapatkan kalimat itu?” tanyaku, terkejut.
“Kalimat itu merupakan sintesis dari data yang telah dianalisis, dikombinasikan dengan pemahaman tentang emosi manusia berdasarkan data yang tersedia.”
Aku termenung. Athena mungkin tidak bisa merasakan patah hati, tapi dia bisa mengamati dan menganalisisnya. Dia bisa melihat pola dalam kesedihanku dan memberikan perspektif yang baru.
Mungkin, dia benar. Mungkin, aku terlalu fokus pada mencari jawaban logis. Mungkin, yang perlu kulakukan adalah menerima rasa sakit ini, membiarkannya mengalir, dan belajar darinya.
Aku menutup laptop. Cahaya biru redup itu menghilang, meninggalkan kegelapan yang tenang. Aku menarik napas dalam-dalam dan merasakan angin malam menyentuh wajahku.
Patah hati itu menyakitkan, ya. Tapi mungkin, rasa sakit itu juga bagian dari proses pertumbuhan. Mungkin, rasa sakit itu adalah cara untuk membuka diri pada cinta yang baru, pada pengalaman yang lebih baik.
Aku masih merindukan Lintang. Aku masih mengingat senyumnya, tawanya, dan semua momen indah yang kami bagi bersama. Tapi aku tidak lagi mencoba menghindarinya. Aku tidak lagi mencoba memecahkan teka-teki patah hati dengan algoritma.
Aku akan menerima rasa sakit ini. Aku akan belajar darinya. Dan aku akan membuka diriku pada kemungkinan cinta di masa depan. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang memahami aku, seseorang yang mencintai aku apa adanya, seseorang yang tidak memerlukan algoritma untuk mengerti arti patah hati.
Mungkin, algoritma cintaku tidak akan pernah bisa memahami arti patah hati. Tapi mungkin, itu tidak masalah. Karena yang terpenting adalah aku, Aris, yang harus mengerti. Dan aku perlahan-lahan mulai memahaminya.