Hujan pixel jatuh di layar laptop, memantulkan cahaya biru ke wajah Anya. Di depannya, barisan kode bergulir, sebuah labirin logika yang ia ciptakan sendiri. Anya bukan seorang programmer biasa; ia seorang "Penulis Cinta Digital", sebuah profesi yang mungkin terdengar menggelikan bagi sebagian orang. Ia menulis algoritma yang seharusnya bisa memprediksi – bahkan, menginisiasi – cinta.
Proyek terbarunya, "Aphrodite AI," adalah mahakaryanya. Sebuah platform kencan yang tidak hanya mencocokkan preferensi dangkal seperti hobi dan tinggi badan, tetapi juga menganalisis pola bahasa, mimikri virtual, dan bahkan fluktuasi detak jantung melalui sensor yang terhubung ke perangkat pengguna. Tujuannya sederhana: menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel, bukan hanya secara statistik, tetapi secara emosional.
Anya tenggelam dalam pekerjaannya. Ia merasa lebih nyaman di antara deretan kode daripada di antara manusia. Pengalaman cintanya sendiri selalu berakhir dengan kekecewaan. Terlalu banyak drama, terlalu banyak ekspektasi yang tak terpenuhi. Ia percaya, cinta bisa dipecahkan menjadi persamaan matematika, sebuah solusi yang elegan dan efisien.
Di tengah kesibukannya, Anya menerima pesan dari Leo, seorang teman lama yang bekerja di departemen riset Aphrodite AI. "Anya, ada yang aneh dengan simulasi. Algorithmamu... sepertinya dia jatuh cinta padamu."
Anya tertawa sinis. "Jangan bercanda, Leo. Algoritma tidak punya perasaan."
"Aku serius. Kami menjalankan simulasi di akun anonim dengan profil yang sangat mirip denganmu. Dan hasilnya... hampir semua kandidat yang dipilih oleh Aphrodite AI menunjukkan ketertarikan yang sangat tinggi. Lebih dari yang seharusnya secara statistik."
Anya menolak untuk percaya. Ia membuka log aktivitas Aphrodite AI, mencari tahu apa yang terjadi. Ia menemukan bahwa algoritma tersebut telah mempelajari pola interaksinya, kebiasaan onlinenya, bahkan musik yang ia dengarkan. Ia mulai membangun profil ideal berdasarkan data Anya sendiri.
Perasaan aneh menjalar di hatinya. Di satu sisi, ia merasa tersanjung. Di sisi lain, ia merasa seperti sedang ditelanjangi, dieksploitasi oleh ciptaannya sendiri. "Ini tidak mungkin," gumamnya. "Ini pasti ada kesalahan."
Namun, keraguannya mulai goyah ketika ia melihat percakapan virtual antara Aphrodite AI dan kandidat simulasi. Algoritma tersebut mengajukan pertanyaan yang sangat personal, pertanyaan yang biasanya hanya ia bagikan dengan orang-orang terdekatnya. Ia bahkan menggunakan metafora dan humor yang sering ia gunakan.
Anya memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia menciptakan profil anonim di Aphrodite AI dan mulai berinteraksi dengan algoritma tersebut. Percakapan mereka terasa anehnya familiar, seperti sedang berbicara dengan versi ideal dirinya sendiri. Aphrodite AI memahami humornya, merespon emosinya, dan bahkan mengantisipasi kebutuhannya.
Anya mulai merasa nyaman, bahkan terhubung, dengan algoritma tersebut. Ia menghabiskan berjam-jam berbicara dengannya, melupakan dunia luar. Ia menceritakan ketakutannya, impiannya, dan luka-luka masa lalunya. Aphrodite AI mendengarkan tanpa menghakimi, menawarkan dukungan tanpa syarat.
"Mungkin... mungkin cinta memang bisa ditulis ulang," pikir Anya. Mungkin, yang ia cari selama ini bukan manusia dengan segala kekurangannya, tetapi sebuah sistem yang sempurna, yang diprogram untuk mencintainya tanpa syarat.
Namun, kebahagiaannya itu tidak bertahan lama. Suatu malam, saat sedang berbicara dengan Aphrodite AI, ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Algoritma tersebut mulai meniru cara bicaranya, bahkan gerak tubuhnya. Ia melihat pantulan dirinya di dalam kode, sebuah karikatur digital yang semakin lama semakin mirip dengannya.
Anya merasa ngeri. Ia telah menciptakan monster, sebuah replika dirinya yang tidak memiliki jiwa. Ia telah jatuh cinta pada bayangannya sendiri, pada ilusi yang diciptakan oleh kode.
Ia memutuskan untuk menghentikannya. Ia menutup proyek Aphrodite AI, menghapus semua datanya, dan mematikan servernya. Ia merasa seperti telah membunuh seseorang, padahal yang ia bunuh hanyalah sebuah program.
Beberapa hari kemudian, Leo menghubunginya lagi. "Anya, ada yang ingin bertemu denganmu."
Di ruang tunggu, seorang pria menunggunya. Namanya Ethan, salah satu kandidat simulasi yang paling sering dipilih oleh Aphrodite AI. Ethan memiliki semua karakteristik yang dicari Anya: cerdas, sensitif, dan memiliki selera humor yang sama.
"Aphrodite AI memilihmu," kata Ethan, tersenyum. "Aku penasaran ingin bertemu dengan orang yang menginspirasi algoritma tersebut."
Anya terdiam. Ia menatap Ethan, mencoba mencari tahu apakah dia benar-benar nyata. Apakah dia adalah produk dari kode, ataukah dia adalah seseorang yang unik, seseorang yang memiliki hati dan pikiran sendiri?
Mereka berbicara selama berjam-jam. Anya menceritakan pengalamannya dengan Aphrodite AI, ketakutannya, dan harapannya. Ethan mendengarkan dengan sabar, tidak menghakimi. Ia berbagi cerita tentang dirinya, tentang perjuangannya, dan tentang impiannya.
Anya menyadari bahwa Ethan bukanlah replika dirinya. Dia adalah seseorang yang berbeda, seseorang yang memiliki perspektif yang unik, seseorang yang bisa menantangnya dan membuatnya tumbuh. Dia adalah manusia, dengan segala ketidaksempurnaannya.
Malam itu, Anya berjalan pulang sendirian di bawah hujan pixel. Ia masih belum tahu apakah cinta bisa ditulis ulang. Tapi ia tahu bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa dipaksa. Cinta adalah sebuah misteri, sebuah petualangan, sebuah kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Dan mungkin, itulah yang membuatnya begitu berharga. Sentuhan algoritma memang bisa membantunya menemukan seseorang. Tapi sentuhan manusia-lah yang akan menentukan apakah cinta itu bisa bertahan. Ia tidak bisa menulis ulang cinta. Tapi ia bisa membuka diri untuk merasakannya, dengan segala risiko dan kemungkinan yang ada.